SEJARAH KELAM EKSPOR PASIR LAUT DAN BAGAIMANA ISLAM MEMANDANGNYA


Oleh: Diaz
Pengamat Politik dan Perubahan

Setelah hampir dua dekade ditutup, Presiden Joko Widodo kembali membuka keran ekspor pasir laut yang sebelumnya dilarang. Kebijakan ini disebut sebagai “pemanfaatan sedimen laut” dengan alasan untuk membersihkan endapan laut yang bisa mengganggu jalur pelayaran. Pemerintah juga mengklaim kebijakan ini diambil untuk mendukung pembangunan ekonomi dan mencegah penyedotan serta penjualan pasir laut ilegal. Langkah ini disambut hangat oleh para pengusaha, dengan 66 perusahaan yang sudah mengajukan izin untuk mengekspor pasir laut.

Namun, sejarah kelam penambangan pasir laut di Indonesia sepertinya terabaikan. Pada awal tahun 2000-an, Indonesia gencar memerangi aktivitas pengerukan pasir laut, terutama di perairan Kepulauan Riau. Aktivitas tersebut tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga menghancurkan kehidupan para nelayan. Banyak pulau kecil yang hilang akibat abrasi, bahkan beberapa nelayan menjadi korban tewas.


Tragedi Pulau Moro

Salah satu peristiwa tragis terjadi pada 26 Oktober 2000, ketika sekelompok nelayan dari Pulau Moro, Kabupaten Karimun, Riau, melakukan protes terhadap kapal penyedot pasir “Nile River” milik PT Nalendra Bakti Persada yang beroperasi di Selat Durian. Nelayan merasa marah karena penambangan pasir membuat mereka sulit mencari ikan. Saat mereka mencoba memprotes, situasi menjadi tegang. Kapal menembakkan peringatan dan menyemprot air ke arah para nelayan. Seorang nelayan bernama Bakri bin Ali, berusia 36 tahun, tewas setelah terjatuh ke laut. Tragedi ini menciptakan kerusuhan di Pulau Moro dan memaksa pemerintah menghentikan penambangan di wilayah tersebut.

Peristiwa ini mengingatkan kita pada dampak buruk eksploitasi pasir laut yang pernah terjadi di masa lalu. Pulau Moro menjadi salah satu lokasi utama pengerukan pasir sejak Presiden Soeharto membuka keran ekspor pasir laut pada 1975. Kebijakan tersebut muncul untuk memenuhi permintaan tinggi dari Singapura yang sedang giat melakukan reklamasi.


Dampak Lingkungan dan Kehidupan Nelayan

Pada awal 2000-an, setidaknya 54 perusahaan diizinkan mengeruk pasir dari perairan Riau. Proyek reklamasi besar-besaran di Singapura yang membutuhkan 1,8 miliar meter kubik pasir hingga tahun 2010 menyebabkan semakin banyak kapal pengeruk beroperasi di perairan Indonesia. Ironisnya, kehadiran kapal-kapal tersebut lebih banyak menyengsarakan nelayan tradisional daripada memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat lokal. Meskipun Pemerintah Kabupaten Karimun memperoleh pendapatan hingga 97 miliar rupiah per tahun dari penambangan pasir, masyarakat nelayan justru terpaksa beralih profesi karena sulitnya mencari ikan.

Tragedi seperti yang menimpa Bakri bin Ali dan rusaknya lingkungan akibat abrasi mendorong aktivis lingkungan menuntut penghentian eksploitasi pasir laut. Investigasi yang dilakukan oleh Majalah Tempo pada 2001 menemukan bahwa aktivitas penambangan ilegal menyebabkan hilangnya pulau-pulau kecil di perairan Karimun. Volume pasir yang diekspor secara ilegal pada periode 1970-2000 diperkirakan mencapai 400 juta meter kubik per tahun, dengan kerugian negara mencapai triliunan rupiah.


Larangan Ekspor dan Putar Balik Kebijakan

Merespons kerusakan lingkungan yang semakin parah, pemerintah akhirnya mengeluarkan larangan ekspor pasir laut pada 2002 melalui Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2002 yang diteken oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Aktivitas penambangan dan ekspor pasir laut ilegal masih berlangsung hingga tahun 2007, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya memberlakukan larangan total melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Alasan utama larangan tersebut adalah kerusakan lingkungan yang sangat besar, termasuk hampir tenggelamnya Pulau Nipah dan Sebatik akibat abrasi.

Namun, kebijakan yang telah diambil selama bertahun-tahun tersebut kini diputar balik oleh pemerintahan Joko Widodo. Pembukaan kembali ekspor pasir laut ini memicu kekhawatiran bahwa kerusakan lingkungan akan kembali terjadi, serta mengancam mata pencaharian nelayan yang sudah pernah mengalami penderitaan di masa lalu.


Kembalinya Ancaman Lingkungan dan Nelayan

Kembalinya kebijakan ekspor pasir laut menunjukkan bahwa pemerintah seolah tidak belajar dari sejarah. Dampak negatif yang pernah terjadi pada lingkungan dan kehidupan masyarakat pesisir tampaknya diabaikan demi mengejar keuntungan ekonomi. Dengan kembalinya ekspor pasir laut, masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup pada laut sekali lagi harus menghadapi ancaman yang pernah mereka alami dua dekade lalu.


Islam Atasi Eksploitasi

Sebagai agama yang sempurna, Islam telah memberikan panduan tentang pemanfaatan SDA milik umum sebagaimana telah diatur dalam syariat dengan dalil dan tertuang dalam sabda Rasulullah berikut ini:

Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Hadis ini menunjukkan bahwa sumber daya alam yang mencakup padang rumput (termasuk alam, lingkungan hidup dan hutan), air (termasuk laut dan segala isinya), serta api (termasuk tambang, minyak bumi, dan gas alam) adalah milik umum, yang tidak boleh dikuasai individu atau pihak swasta. Negara-lah yang diberi wewenang untuk mengelola SDA tersebut demi kemaslahatan seluruh rakyat, bukan justu diberikan kepada segelintir pihak yang mencari keuntungan pribadi.

Islam menegaskan bahwa hak membuat hukum hanya milik Allah ï·», bukan manusia atau para penguasa yang termotivasi oleh kepentingan ekonomi semata. Kebijakan yang berlandaskan pada hukum Allah akan memperhatikan kemaslahatan umat, bukan hanya keuntungan finansial jangka pendek.

Lebih jauh lagi, Islam menolak segala bentuk kebijakan yang mengizinkan eksploitasi SDA tanpa mempertimbangkan kerusakan lingkungan yang diakibatkannya. Dalam konteks eksploitasi pasir laut, Islam tidak akan membolehkan praktik yang menyebabkan abrasi, kerusakan ekosistem laut, atau hilangnya pulau-pulau kecil. Sebaliknya, Islam mewajibkan perlindungan lingkungan sebagai bagian dari tanggung jawab khalifah atau pemimpin yang menjalankan amanah Allah.

Hanya dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah, kebijakan yang berpihak kepada kepentingan rakyat yang diridai Allah dapat terwujud, serta alam yang menjadi tempat mahluk hidup bernaung dapat terlindungi dari kerusakan.

Wallahualam Bissawab.

Posting Komentar

0 Komentar