Oleh: Elis Sa'adah
Muslimah Peduli Umat
Memasuki musim penghujan, beberapa wilayah di Indonesia pun terdampak banjir. Seperti di Bandung, banjir merendam ribuan rumah warga Kampung Bojongasih, Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, pada Minggu (14/1/2024). Di kota lain, seperti Kalimantan Tengah, juga terdampak bencana banjir ini dikarenakan perampasan ruang hidup yang dilegalkan. Dan masih banyak wilayah di Indonesia lainnya yang menjadi langganan banjir ketika mulai masuk musim penghujan.
Bencana banjir yang melanda tanah air erat kaitannya dengan pembangunan wilayah yang tidak direncanakan secara komprehensif dan mendalam. Salah satu contohnya seperti di Bandung, wilayah bagian utara yang mestinya menjadi daerah serapan, ternyata sudah dipenuhi permukiman. Pesatnya pembangunan wisata di Bandung Selatan juga menyebabkan alih fungsi kawasan yang memiliki fungsi konservasi.
Sama halnya seperti yang terjadi di Kalteng, mengutip apa yang disampaikan oleh Direktur eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI Kalteng), Dimas Novian Hartono mengatakan bahwa,
“hutan Kalteng mengalami kerusakan yang sangat parah, bahkan hampir 80 persen wilayah Kalteng sudah diselimuti izin-izin industri ekstraktif seperti perkebunan, pertambangan, dan industri kehutanan, serta proyek food estate yang makin memperparah luasan bencana banjir,” ujarnya.
Belum lagi industri ekstraktif yang ugal-ugalan di Kalteng tidak lepas dari legalisasi yang dilakukan oleh pemerintah melalui undang-undang. Maka tak heran jika sungai yang harusnya mampu membawa keberkahan dengan aneka ragam jenis ikan serta dapat dimanfaatkan masyarakat, tetapi dengan adanya banjir, kehidupan masyarakat justru menjadi terganggu.
Dapat dilihat bahwa akar masalahnya adalah penerapan sistem kapitalisme, dimana negara memberikan kebebasan kepada individu atau sekelompok pemodal untuk memiliki akses terhadap sumber-sumber daya alam. Juga model pembangunan ala kapitalisme yang hanya mengutamakan keuntungan dan abai atas dampak terhadap lingkungan serta tata kota secara keseluruhan.
Berbeda dengan Islam, aspek keuntungan materi tidak menjadi tujuan satu-satunya dalam paradigma pembangunan Islam. Acuan dalam kebijakan pembangunan adalah kesesuaian dengan syariat Islam dan terwujudnya kemaslahatan rakyat.
Terlebih, Islam telah mengatur bahwa fungsi negara sebagai pengurus (raa’in) dan penjaga (junnah) rakyat, melindungi dan memastikan rakyat mendapat kehidupan yang sejahtera. Kesejahteraan dalam Islam bukan mimpi, karena Islam telah memetakan bagaimana harta di dunia yang berlimpah, yang telah Allah ciptakan ini diserahkan kepada manusia untuk memilikinya.
Dalam Islam pun kepemilikan di bagi tiga, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan masyarakat, dan kepemilikan negara. Dan dalam Islam, hutan masuk dalam kategori kepemilikan umum atau masyarakat, sehingga negara tidak bisa menyerahkan kepemilikan hutan kepada individu atau korporasi. Wallahualam bissawab.
0 Komentar