PEMILU DALAM DEMOKRASI, AJANG ADU BERBAGAI KEPENTINGAN


Oleh: Lathifa Rohmani
Muslimah Peduli Umat

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan adanya tren peningkatan pembukaan rekening baru menjelang Pemilihan Umum atau Pemilu 2024. Tak tanggung-tanggung, tercatat ada 704 juta pembukaan rekening baru, menciptakan dinamika keuangan yang patut diperhatikan dalam konteks pesta demokrasi. (Liputan6.com, 11/01/2024)

Fakta yang lebih mengejutkan pun terungkap oleh PPATK. Ditemukan adanya aliran dana sebesar Rp 195 miliar yang masuk dari luar negeri ke 21 rekening bendahara partai politik (parpol). Informasi ini menggambarkan potensi risiko dan kecurangan dalam mengelola dana politik. (CNBC Indonesia, 12/01/2024)

Aliran dana lainnya yang masih belum terungkap pun masih banyak. Keberlanjutan dari hal ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi kecurangan dalam hal keuangan pada pemilu.

Aliran dana Pemilu yang berasal dari berbagai pihak, termasuk pihak asing, menimbulkan kekhawatiran serius akan potensi terjadinya penumpukan kepentingan, intervensi dari luar negeri, dan konflik kepentingan dalam pelaksanaan Pemilu. Dinamika ini membuka potensi bahaya yang perlu diwaspadai, yakni tergadaikannya kedaulatan negara. Dalam konteks ini, harus diperhatikan sejauh mana campur tangan pihak asing dapat memengaruhi proses Pemilu ini.

Kenyataan bahwa politik demokrasi membutuhkan biaya tinggi membuka peluang bagi berbagai pihak untuk mengucurkan dana dengan harapan mendapatkan keuntungan. Fenomena ini menimbulkan rawan terjadinya kucuran dana dari berbagai sumber, yang pada akhirnya dapat menyebabkan partai politik dalam sistem demokrasi kehilangan idealismenya. Ancaman lebih lanjut adalah potensi pembajakan oleh kepentingan pemodal, yang dapat memutar arah partai politik dari misi awalnya untuk melayani kepentingan masyarakat.

Dampak dari situasi ini adalah oligarki menjadi pemenang utama, tanpa memandang siapa pun yang terpilih. Kesenjangan keuangan yang muncul dapat memberikan keuntungan tidak proporsional kepada pihak yang memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya keuangan. Sementara, di sini rakyat yang selalu menjadi korban.

Dalam sistem pemerintahan Islam, pemilihan seorang pemimpin dilakukan dengan cara yang sederhana, efektif, dan efisien, sehingga dapat menghemat biaya secara signifikan. Pendekatan ini membantu mencegah pemborosan dana hanya untuk proses pemilihan semata, dan juga mengurangi peluang keterlibatan pihak asing yang dapat meningkatkan risiko oligarki dalam mengatur pemerintahan. Sistem ini berfokus pada prinsip keadilan dan partisipasi aktif warga negara, menciptakan lingkungan yang transparan dan meminimalkan potensi penyalahgunaan aliran dana selama proses pemilihan.

Dalam Islam, kekuasaan seorang khalifah diperoleh melalui pemilihan (al-intikhab) yang dilakukan oleh umat. Pangkal kekuasaan ini sebenarnya dimiliki oleh umat, dan umat memiliki wewenang untuk mewakilkan kekuasaan tersebut kepada siapa pun yang diinginkannya. Agar pemilihan berjalan dengan sempurna, dapat dilakukan melalui tiga cara: pemilihan langsung oleh umat (pemilihan umum), melibatkan ahlul halli wal aqdi yang dipilih oleh umat, atau melalui majelis syura yang mewakili aspirasi umat.

Pada saat proses pemilihan pemimpinnya pun dilaksanakan dengan cara yang sederhana, efektif, dan efisien, sehingga dapat menghemat biaya secara signifikan. Pendekatan ini membantu mencegah pemborosan dana hanya untuk proses pemilihan semata, dan juga mengurangi peluang keterlibatan pihak asing yang dapat meningkatkan risiko oligarki dalam mengatur pemerintahan. Sistem ini berfokus pada prinsip keadilan dan partisipasi aktif warga negara, menciptakan lingkungan yang transparan dan meminimalkan potensi penyalahgunaan aliran dana selama proses pemilihan.

Kemudian, saat seorang pemimpin (khalifah) terpilih, sudah menjadi tanggungjawabnya memelihara segala urusan rakyatnya. Rakyat wajib taat selama khalifah mempertahankan komitmen terhadap hukum syara. Dalam konteks ini, khalifah bertanggung jawab untuk memberlakukan keadilan, menjaga keamanan, dan memastikan kesejahteraan rakyat. Seiring dengan itu, penting bagi khalifah untuk berperan sebagai pemimpin yang adil dan bijaksana, mengutamakan kepentingan umat dan memastikan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan syariat Islam, yaitu sesuai dengan tuntunan Allah ï·» dan Rasul-Nya.

Telah bersabda Rasulullah ï·º, “Barang siapa yang menaati amir (pemimpin), sungguh ia telah menaatiku, dan barang siapa yang bermaksiat pada seorang amir, maka sungguh ia telah bermaksiat terhadapku.” (HR. Bukhari)

Meskipun demikian, haram bagi umat untuk menaati khalifah dalam kemaksiatan yang jelas atau perkara yang haram. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah ï·º, “Wajib bagi seorang muslim untuk mendengarkan dan menaati setiap perkara yang ia sukai dan ia benci, Kecuali jika ia diperintahkan untuk maksiat. Apabila ia diperintahkan untuk maksiat, maka tidak ada kewajiban untuk mendengarkan dan menaati.” (Mutafaq 'alaih)

Wallahu 'alam bish-shawwab.

Posting Komentar

0 Komentar