MARAKNYA KONFLIK AGRARIA, RAKYAT SEMAKIN MENDERITA


Oleh: Lathifa Rohmani
Muslimah Peduli Umat

Pada bulan Desember 2023, Presiden Joko Widodo menetapkan target penyelesaian sertifikasi tanah masyarakat di seluruh Indonesia pada tahun 2024. Namun, sejumlah pihak meragukan bahwa upaya pemerintah ini akan mampu mengatasi sepenuhnya konflik agraria yang melibatkan tanah di seluruh negeri. Mereka berpendapat bahwa pemberian sertifikat tanah sendiri tidak akan mencukupi untuk menyelesaikan sengketa dan konflik lahan yang lebih kompleks. (VOA Indonesia, 28/12/2023)

Di sisi lain, pada bulan yang sama, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional (Perpres 78/2023).

Salah satu isi regulasi ini mencerminkan pandangan bahwa presiden menganggap rakyat tidak memiliki hak atas tanah yang dikuasainya. Terutama, Pasal 4 huruf b Perpres 62/2018 menunjukkan sikap negara yang tampak tidak mendukung rakyat di tengah meluasnya konflik agraria dengan ragam kompleksitas. Sebagai contoh, dalam konflik agraria di Pulau Rempang, rakyat sebenarnya memiliki hak atas tanah secara turun temurun. Namun, negara dianggap abai terhadap pengakuan dan perlindungan hak tersebut. (Walhi.or.id, 21/12/2023)

Lebih lanjut, pada konflik agraria yang melibatkan entitas badan pemerintahan atau badan usaha milik negara, Perpres 78/2023 diindikasikan dapat mengakibatkan pencabutan hak atas tanah rakyat. Hal ini menimbulkan keprihatinan mengenai potensi ketidaksetaraan perlindungan hak tanah dalam berbagai konflik agraria di Indonesia.


Konflik Lahan Buah Oligarki

Konflik lahan menjadi persoalan serius yang dihadapi oleh banyak masyarakat. Ironisnya, negara terkadang malah merancang aturan yang mempermudah perampasan tanah rakyat dengan alasan pembangunan, tanpa memberikan keuntungan yang nyata bagi masyarakat.

Salah satu konflik agraria yang masih berlangsung dan belum tuntas adalah perselisihan di Pulau Rempang-Galah. Sengketa ini berakar dari penolakan keras warga terhadap pelaksanaan proyek Rempang Eco-City yang mengancam kediaman mereka yang telah dihuni secara turun temurun. Penolakan ini dipicu oleh ketidaksetujuan terhadap janji-janji manis terkait penyiapan hunian tetap untuk masyarakat yang terkena dampak proyek. Konflik mencapai puncaknya dengan terjadinya bentrokan, di mana aparat keamanan terlibat dalam tindakan kekerasan dan bahkan menangkap beberapa warga yang tengah berdemonstrasi. Situasi ini mencerminkan ketegangan yang tinggi antara kebijakan pembangunan dan hak-hak masyarakat lokal terhadap tanah yang mereka huni.

Kemudian, konflik agraria terjadi juga pada pembangunan Sirkuit Mandalika di NTB beberapa tahun lalu. Meskipun Sirkuit Mandalika ini telah digunakan, namun pada proses pembangunannya telah menimbulkan dampak pilu yang terasa bagi sebagian warga yang terdampak langsung. Proses pembangunannya tidak terhindar dari catatan kelam, dengan banyak laporan intimidasi terhadap warga yang berada di wilayah proyek. Pakar hak asasi manusia dari PBB pada saat itu menyoroti sejumlah indikasi perampasan tanah masyarakat dalam pelaksanaan proyek Mandalika di NTB.

Masih banyak konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Sebagian besar dari konflik tersebut masih belum mendapatkan penyelesaian dan solusi yang memuaskan. Dinamika hubungan antara masyarakat dan pemerintah semakin memanas. Contohnya, konflik terkait penambangan di daerah Wadas, food estate di Sumatera Utara, dan masih banyak konflik lainnya yang masih menyisakan pedih di tengah masyarakat.

Beberapa konflik lahan yang telah disebut sebelumnya merupakan hasil dari sistem demokrasi kapitalisme. Dalam sistem ini, negara terlihat membuka pintu untuk investor lokal maupun asing yang datang berinvestasi di Indonesia. Dengan dalih proyek strategi nasional (PSN), perampasan hak tanah dan lahan rakyat dijadikan alasan untuk melegitimasi tindakan penguasa yang bertujuan memenuhi kepentingan oligarki.

Konflik agraria yang terus berkecamuk sebagian besar dipicu oleh praktik serakah sistem kapitalisme. Penguasa dan pengusaha terlihat kurang mempedulikan penderitaan rakyat yang menjadi korban demi keuntungan pribadi mereka. Prioritas utamanya hanyalah menjaga kelancaran keuntungan bagi kalangan oligarki, bahkan jika hal tersebut berarti rakyat akan terus merasakan penderitaan.


Islam Sebagai Solusi Hakiki

Dalam sistem Islam, negara memiliki kewajiban untuk merancang kebijakan dan regulasi ekonomi yang memastikan pemenuhan kebutuhan rakyatnya. Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, negara diharapkan dapat menjamin pemenuhan semua kebutuhan dasar (primer) masyarakat, termasuk kebutuhan akan tanah dan lahan. Prinsip-prinsip keadilan dan keberlanjutan ekonomi dalam Islam memandang bahwa hak-hak masyarakat, termasuk hak atas tanah, harus dilindungi dan dipenuhi untuk mencapai kesejahteraan yang merata.

Syariat Islam menetapkan adanya kepemilikan individu dan umum. Pada dasarnya, Islam mengakui hak kepemilikan individu atas tanah, yang mencakup hak milik, hak pakai, dan hak untuk diwariskan. Dengan kepemilikan tanah ini, individu diberikan kemudahan untuk membangun rumah atau struktur lainnya sebagai tempat tinggal bagi keluarga Muslim dan sebagai sumber ekonomi untuk mencari nafkah.

Di sisi lain, kepemilikan umum (publik) dalam Islam mencakup hutan, pulau, atau daerah pertambangan. Kepemilikan umum ini dapat dimanfaatkan oleh negara untuk kepentingan bersama, di mana hasil dari tanah milik umum digunakan untuk kepentingan masyarakat secara menyeluruh. Prinsip ini menekankan pentingnya pemanfaatan sumber daya alam demi kesejahteraan kolektif, sejalan dengan nilai-nilai keadilan dan keberlanjutan dalam ajaran Islam.

Islam juga mengatur pengelolaan tanah mati, yaitu tanah yang tidak memiliki pemilik. Warga diberikan hak untuk memiliki tanah mati tersebut dengan cara mengelolanya secara baik. Prinsip ini menegaskan pentingnya tanggung jawab dalam pengelolaan tanah mati.

Sebagaimana disampaikan dalam sabda Rasulullah ï·º,

"Barang siapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu menjadi miliknya, dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim (yang merampas tanah orang lain)." (Hadis Riwayat At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad)

Dengan demikian, hanya sistem Islam yang mampu memberikan keadilan atas status kepemilikan tanah dan pengaturannya. Dalam Islam, negara bukan hanya menjadi pelindung, tetapi juga pengurus dan bertanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan masyarakat serta segala aspek yang diurusnya. Kedzaliman yang timbul dari penerapan ideologi kapitalisme harus segera dienyahkan. Sudah saatnya sistem Islam menggantikan sistem kapitalisme yang telah terbukti merusak. Karena hanya dengan Islam, keadilan dan kesejahteraan masyarakat akan terwujud, sebagaimana Islam telah memberikan kesejahteraan selama kurang lebih 13 abad lamanya.

Wallahu 'alam bish-shawwab.

Posting Komentar

0 Komentar