KONFLIK LAHAN AKAN TUNTAS DENGAN ATURAN ISLAM KAFFAH


Oleh: Titin Surtini
Muslimah Peduli Umat

Masalah lahan menjadi persoalan yang sangat penting dan sedang membelenggu Indonesia. Presiden Jokowi menyampaikan bahwa pada 2015—2016, banyak warga yang memintanya untuk segera menyelesaikan masalah sengketa lahan yaitu dengan mengeluarkan sertifikat tanah/lahan.

Pemerintah menilai bahwa perkara sertifikat telah memicu banyaknya kasus sengketa lahan, baik antarwarga, warga dengan pemerintah, atau warga dengan perusahaan. Oleh karenanya, untuk menyelesaikan konflik lahan, pemerintah mempercepat penerbitan sertifikat.

Namun, kebijakan pemerintah ini dinilai tidak tepat. Karena penerbitan sertifikat tanah masyarakat tidak dapat menyelesaikan konflik agraria.

Pembagian sertifikat tanah kepada masyarakat merupakan kewajiban pemerintah untuk mengakui secara hukum hubungan antara masyarakat dengan tanah yang dia miliki.

Tanah-tanah yang disertifikasi oleh pemerintah saat ini bukanlah tanah berkonflik, melainkan tanah masyarakat yang memang belum disertifikasi karena berbagai faktor. Sementara itu, banyak konflik agraria belum terselesaikan karena sejumlah proyek strategis nasional (PSN) merampas lahan masyarakat seperti yang terjadi di desa Wadas, Jawa Tengah; Pulau Rempang, Riau; dan Pulau Obi, Halmahera Selatan.

Negara seharusnya hadir menyelesaikan konflik lahan, bukan malah yang menjadi penyebab persoalan.

Setelah adanya UU Cipta Kerja, terjadi pemutihan terhadap lahan sawit secara besar-besaran di kawasan hutan. Tampak bahwa kebijakan pemerintah tidak berpihak pada rakyat, tetapi pada pemilik modal.

Dengan adanya konflik lahan yang terjadi, pemerintah justru membuat aturan yang memudahkan perampasan terhadap lahan masyarakat dengan dalih proyek pembangunan nasional.

Pada tanggal 21 Desember 2023 presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Percepatan Perampasan Tanah Rakyat atau Perpres 78/2023.

Perpres tersebut memperlihatkan kesesatan logika hukum pemerintah karena :

Pertama, presiden gagal memahami makna Hak Menguasai Negara (HMN).

Kedua, presiden menganggap rakyat tidak memiliki hak atas tanah yang dikuasainya.

Ketiga, pemberian serifikat ini mengaburkan posisi keberadaan dan hak masyarakat yang seharusnya mendapat jaminan perlindungan dari negara dalam menguasai dan mengelola tanah.

Keempat, solusi yang disebut dengan penanganan dampak sosial kemasyarakatan dalam rangka penyediaan tanah untuk pembangunan nasional melalui uang dan/atau pemukiman kembali justru melahirkan konflik yang berkepanjangan.

Kelima, dengan Perpres 78/2023, maka dengan dalih pembangunan nasional, masyarakat yang mengelola tanah bisa diusir dari tanah tersebut dengan santunan yang alakadarnya.

Konflik lahan merupakan sebuah keniscayaan dalam sistem kapitalisme demokrasi yang melahirkan politik oligarki. Di dalam sistem kapitalisme demokrasi, penguasa dituntut oleh kekuatan global untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan banyak melakukan pembangunan. Ini dilakukan untuk melayani kepentingan para pengusaha yang menjadi cukong politik sehingga penguasa tersebut bisa berada di kursi kekuasaannya.

Terjadi simbiosis mutualisme ada penguasa dan pengusaha. Penguasa butuh untuk berkuasa dan pencitraan dengan melakukan pembangunan sehingga butuh investor, sedangkan pengusaha butuh memperbesar bisnisnya dengan melakukan investasi. Keduanya lalu bekerja sama dengan menghalalkan segala cara demi melancarkan ambisinya.

Keadaan ini tidak akan terjadi dalam sistem Islam karena Islam memiliki konsep yang jelas tentang kepemilikan lahan. Islam mengakui tiga jenis kepemilikan, yaitu individu, umum, dan negara.

Lahan yang menjadi milik individu rakyat akan dilindungi dan dijamin keamanannya sehingga tidak akan ada pihak mana pun yang merampasnya. Individu pemilik tersebut wajib mengelola lahan tersebut dan tidak boleh menelantarkannya.

Sedangkan kepemilikan umum, seperti hutan, padang rumput, pertambangan, dsb., tidak boleh dikuasai individu (swasta). Yang berhak mengelolanya adalah negara dan hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat.

Dengan demikian, meski pengusaha punya modal besar, tidak boleh menguasai lahan milik umum. Penguasa (khalifah) tidak boleh memihak pada pengusaha dalam hal konflik lahan. Hal ini karena penguasa di dalam Islam berposisi sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) rakyat, termasuk pelindung dalam hal kepemilikan lahan.

Dan arah pembangunan negara di dalam sistem Islam (Khilafah) adalah menjadikan proyek pembangunan apa pun dilaksanakan untuk kepentingan rakyat, yaitu mewujudkan kesejahteraan rakyat orang per orang, bukan untuk kepentingan segelintir pemilik modal.

Dengan demikian, kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah adalah kebijakan yang melindungi rakyat dan membawa kemaslahatan umat seluruhnya.

Tentu saja dengan penerapan aturan Islam secara sempurna.

Wallahualam bissawab.

Posting Komentar

0 Komentar