KESERAKAHAN MANUSIA MENIMBULKAN BENCANA, ISLAM SOLUSINYA


Oleh: Titin Surtini
Muslimah Peduli Umat

Curah hujan yang besar dan terus menerus di kabupaten Bandung(14/1/2024) tepatnya diwilayah Dayeuhkolot dan sekitarnya menimbulkan banjir besar. Ini akibat sungai Citarum meluap dan jebolnya tanggul anak sungai Cikapundung.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat melaporkan bencana banjir terjadi di Desa Citereup yang menyebabkan jembatan rusak berat. Di Desa Pasawahan 300 rumah dan di Desa Cangkuang Wetan 177 rumah terendam banjir.

Di Kecamatan Dayeuhkolot, 500 rumah, di Desa Sumbersari. Di Kecamatan Ibun, Desa Tangulun jalan terendam banjir. Warga yang terdampak di Desa Pasawahan dan Cangkuang wetan sebanyak 635 kepala keluarga. Sedangkan di Desa Sumbersari 500 KK.

Bencana banjir juga terjadi di Kepulauan Riau, menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau mencatat sedikitnya 6.000 orang mengungsi akibat rumah, lahan dan tempat usaha mereka terdampak banjir.

"Mereka yang mengungsi berasal dari Kabupaten Rokan Hilir, Kepulauan Meranti dan Kota Dumai. Sedangkan warga dari kabupaten dan kota lain belum tercatat ada yang mengungsi," kata Kepala BPBD Riau M. Edy Afrizal dalam keterangannya di Pekanbaru.

Edya Afrizal mengatakan jumlah korban banjir di Provinsi Riau terus bertambah. Hingga tercatat jumlah warga yang mengungsi akibat banjir sudah mencapai 6.467 jiwa.

Banjir berulang di perkotaan menunjukkan gagalnya tata kelola ruang yang dilakukan oleh pemangku kebijakan. Seharusnya, pemerintah bisa memilih lahan atau area yang diperuntukkan untuk daerah industri, pusat perbelanjaan, perkantoran, perumahan; termasuk mana area yang diperuntukkan sebagai daerah resapan (recharge area) sehingga tercipta keseimbangan ekologis.

Namun, dengan adanya sistem desentralisasi, kebijakan pengelolaan tata ruang ini diserahkan kepada kepala daerah yang dituangkan dalamperaturan daerah (perda).

Misalnya ketentuan UU 26/2007 tentang Penataan Ruang yang menyebutkan proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30% luas wilayah kota.

Jika UU 26/2007 tersebut ditegakkan, kemungkinan besar bencana banjir di perkotaan akan sedikit berkurang. Namun, UU tersebut tidak berfungsi lagi.

Dengan sistem digitalisasi yang terintegrasi, pengusaha tidak perlu susah mengurus izin usaha. Bahkan, peta ruang wilayah yang ada bisa menjadi pundi-pundi uang.

Kebijakan pro pengusaha/oligarki adalah hal yang wajar dalam sistem demokrasi. Demokrasi yang membutuhkan biaya yang sangat mahal dalam meraih kekuasaan, dan kepentingan antara penyokong dana (oligarki) dan calon penguasa. Konsep itu melahirkan kebijakan sesuai pesanan dan kepentingan para oligarki.

Yang jadi korban adalah rakyat sabagai objek penderita. Saat pemilu, mereka sangat penting, suara mereka sangat dibutuhkan. Tetapi setelah pemilu rakyat diabaikan.

Keserakahan para oligarki yang dipayungi hukum menjadikan menjamurnya perumahan elite, mal-mal dan pusat pertokoan, serta puluhan apartemen. Rakyat hanya menyaksikan dan merasakan banjir akibat lahan resapan akhir yang berkurang.

Mereka terjebak di tempat tinggalnya. Kehidupan pun seolah berhenti, baik di sektor pendidikan, kesehatan, keamanan, begitu pun kerusakan lingkungan. Semuanya menjadi deretan derita yang harus rakyat rasakan.

Banjir dan kerusakan lingkungan lainnya merupakan ulah tangan manusia. Sistem kapitalisme terbukti melahirkan manusia serakah dan biadab, dalam mengelola lahan, mengantarkan berbagai penderitaan dan kerusakan.

Berbeda dengan Islam. Islam memandang bahwa segala sesuatu yang ada di langit dan bumi termasuk tanah hakikatnya adalah milik Allah Taala semata. Firman Allah Taala, “Dan kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allahlah kembali (semua makhluk).” (QS An-Nuur [24]: 42).

Juga firman-Nya, “Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Hadid [57]: 2).

Kemudian, Allah Taala sebagai pemilik hakiki, memberikan kuasa (istikhlaf) kepada manusia untuk mengelola milik-Nya sesuai dengan hukum-hukum-Nya.

Firman-Nya, “Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.” (QS Al-Hadid [57]: 7).

Dengan demikian, Islam telah menjelaskan soal filosofi kepemilikan tanah. Intinya ada dua poin, yaitu pertama, pemilik hakiki dari tanah adalah Allah Taala, kedua, Allah Taala sebagai pemilik hakiki telah memberikan kuasa kepada manusia untuk mengelola tanah menurut hukum-hukum-Nya.

Setiap individu umat berhak mendapatkan tanah (lahan), bukan hanya bagi yang bermodal saja. Islam yang mengatur kepemilikan ini.

Sejatinya jika Islam diterapkan, tidak akan ada penguasaan lahan atas segelintir orang. Tidak akan ada pembangunan liar dan brutal yang mengabaikan manusia di dalamnya. Hanya sistem Islamlah yang memanusiakan manusia.

Islam juga memberikan ruang nyaman dan aman dalam berusaha bagi tumbuh kembang generasi, yakni ruang yang menjamin kesehatan dan lingkungan sehat bahkan dalam berinvestasi tanpa mengabaikan berbagai kebutuhan manusia.

Dalam hal ini manusia butuh aturan yang bisa menjadi solusi bagi seluruh permasalahannya. Solusinya hanya Islam, dengan mengambil aturan Islam secara Kaffah umat akan terriayyah, karena Islam dari Allah ï·» yang menciptakan seluruh umat.

Maka sudah saatnya hukum jahiliah harus dicampakkan.

Sebagai mana firman Alloh yang artinya:

Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maidah: 50).

Waalahu a'lam bissowab.

Posting Komentar

0 Komentar