SISTEM SEKULER DEMOKRASI BIANG LAHIRNYA BUDAYA KORUPSI


Oleh: Titin Surtini
Muslimah Peduli Umat

Korupsi berasal dari Bahasa latin, “corruption” atau “corruptus” yang artinya ‘merusak atau menghancurkan’. Secara singkat, korupsi merupakan tindakan kriminal yang memiliki dampak negatif. Seluruh dunia mengakui bahwa korupsi adalah tindakan buruk yang tidak beradab sehingga harus dihilangkan demi kemajuan bangsa.

Setiap tanggal 9 Desember, dunia memperingati Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia). Seluruh negara berharap agar pemerintahannya terbebas dari tikus-tikus berdasi yang kian rakus mengerat uang rakyat. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas mereka, dari mulai kadar sanksi yang dinaikkan, hingga pembentukan lembaga antirasuah. Namun, alih-alih hilang, praktik korupsi malah kian subur.

Ironisnya, di Indonesia, peringatan tersebut diselenggarakan tatkala Ketua KPK nonaktif Firli Bahuri baru saja ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Ketua KPK yang semestinya terdepan dalam aksi pemberantasan korupsi, kini malah ada di jeruji akibat korupsi.

Sayangnya, tikus-tikus berdasi pun banyak yang menduduki jabatan tinggi. Mereka berkhidmat pada Hari Antikorupsi, padahal tega menerima gratifikasi.

Adapun sejumlah pejabat negara yang tidak terseret kasus korupsi, bukan berarti mereka bersih. Para pengamat biasa menyebut mereka dengan sebutan “the lucky man”, tidak terciduk lantaran kuatnya “perlindungan” pada diri mereka. Oleh karena itu, memberantas tikus-tikus berdasi memang sangat sulit di sistem hari ini. Mereka ada di setiap sudut jabatan, mulai dari daerah hingga pusat.

Oleh karenanya, peringatan hari Antikorupsi seharusnya bukan hanya mengajak masyarakat untuk bersinergi memberantas korupsi. Lebih dari itu, momen ini seharusnya dipakai untuk mengevaluasi ulang apa yang menjadi akar persoalan korupsi agar penyelesaiannya bisa tuntas hingga ke akarnya.


Akar Persoalan korupsi

Jika kita meneliti lebih dalam, persoalan korupsi bukan hanya berbicara perilaku individu, melainkan sistemis. Buktinya, dari mulai negara ini berdiri, praktik tersebut telah ada, bahkan keberadaannya kian banyak saja.

Adapun faktor yang menjadi penyebab korupsi kian marak adalah :

Pertama, makin tertancapnya pemahaman sekularisme. Paham ini telah menghilangkan nilai-nilai ketakwaan dari politik dan pemerintahan. Akibatnya, tidak ada kontrol internal dalam diri para pejabat.

Kedua, sistem politik demokrasi yang mahal meniscayakan adanya praktik korupsi. Butuh biaya besar untuk menjadi kepala daerah, apalagi presiden. Alhasil, politik transaksional tidak bisa dihindari, para cukong politik pun bermain, mensponsori kontestan agar bisnisnya lancar. Saat menjabat, alih-alih politisi itu fokus pada umat, mereka malah sibuk melayani para cukong politik. Dan juga ada partai pendukung yang harus diberi suntikan agar mesin partai terus berjalan.

Ketiga, sanksi bagi koruptor yang tidak menciptakan efek jera. Bukan lagi satu rahasia jika penjara para koruptor “mewah”. Menurut riset Indonesia Corruption Watch (ICW), sebagian besar koruptor hanya dihukum dua tahun oleh pengadilan. Wacana hukuman mati pada koruptor kakap yang merugikan negara dan menzalimi rakyat, malah terjegal HAM. Wajar saja pada akhirnya para koruptor kian menjamur tersebab hukumannya tidak menjerakan.

Keempat, sebagian besar koruptor yang tertangkap berada dalam link kekuasaan. Ini jelas menunjukkan bahwa koruptor yang “terbabat” lebih karena tebang pilih.

Keempat faktor di atas sesungguhnya telah menunjukkan pada kita bahwa budaya korup memang diciptakan oleh sistem hari ini, baik sekularisme, sistem politik demokrasi transaksional, juga sistem sanksi yang buruk dan tidak menjerakan.

Sistem sekuler demokrasi telah terbukti menjadi biang lahirnya budaya korup. Sudah saatnya kita membuangnya dan menggantinya dengan sistem Islam.

Dalam aturan Islam terdapat poin-poin yang akan menghindarkan umat dari korupsi, yaitu :

Pertama, dasar akidah Islam akan melahirkan kesadaran penuh bahwa dirinya tengah diawasi oleh Allah Taala. Penerapan akidah Islam di tengah umat akan menjadikan para politisi bertakwa dan senantiasa takut melakukan dosa. Inilah yang menjadi kontrol internal yang menyatu dalam diri pemimpin sehingga bisa mencegah dirinya untuk korupsi.

Kedua, sistem politik islam sangat sederhana, tidak mahal. Kepemimpinan Islam bersifat tunggal, pengangkatan dan pencopotan pejabat negara menjadi kewenangan khalifah. Alhasil, tidak akan muncul persekongkolan mengembalikan modal dan keuntungan kepada cukong politik.

Ketiga, politisi dan proses politik tidak bergantung kepada parpol. Peran parpol dalam Islam adalah fokus mendakwahkan Islam, amar makruf nahi mungkar dalam mengoreksi dan mengontrol penguasa. Jika seorang anggota partai sudah terpilih menjadi pejabat, ia harus melepaskan dirinya dari partai.

Keempat, seluruh struktur dalam sistem Islam berada dalam satu kepemimpinan khalifah. Sistem Islam tidak mengenal pembagian atau pemisahan kekuasaan, semua atas kontrol khalifah. Inilah yang menutup celah adanya konflik kelembagaan dan mafia anggaran.

Kelima, praktik korupsi yang mungkin terjadi akan diberantas dengan sanksi Islam dan dicegah agar tidak terjadi. Harta ghulul telah jelas, yaitu harta yang diambil atau ditilap di luar imbalan legal. Harta yang diperoleh karena faktor jabatan, tugas, posisi, kekuasaan, dan sebagainya. Sekalipun mereka menamakan hadiah, haram hukumnya diambil.

Adapun untuk membuktikannya, bisa menggunakan pembuktian terbalik sebagaimana dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab. Khalifah Umar akan mencatat harta pejabat awal dan akhir masa jabatan. Jika ada kelebihan yang tidak wajar, pejabat tersebut wajib membuktikan perolehan hartanya secara legal. Jika tidak bisa dibuktikan, hartanya akan disita dan dimasukkan ke baitulmal.

Keenam, sanksi bagi pelaku akan memberikan efek pencegahan dan menjerakan. Hukum sanksi bagi koruptor berbentuk takzir, yaitu sanksi yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada ijtihad khalifah atau kadi (hakim). Bisa disita seperti dilakukan Khalifah Umar. Bisa juga dengan tasyhir (diekspose), dipenjara, hingga hukuman mati. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menetapkan sanksi kepada koruptor dengan hukuman cambuk dan ditahan dalam waktu yang sangat lama.

Sudah selayaknya kita menyampaikan pada umat atas pentingnya penerapan syariat Islam secara Kaffah dalam bingkai Khilafah. Ini karena Islamlah satu-satunya solusi atas seluruh persoalan umat manusia, baik itu muslim ataupun non muslim diseluruh alam jagat raya ini

Wallahu 'alam bissowab

Posting Komentar

0 Komentar