Oleh: Titin Surtini
Muslimah Peduli Umat
Presiden Jokowi dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung terkait polusi udara Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya, tetapi ditolak. Atas putusan tersebut, pemerintah dinyatakan tetap melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana putusan pengadilan sebelumnya.
Penolakan atas kasasi ini dianggap sebagai kemenangan warga. Oleh karena itu, Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Kota dan Semesta (Ibukota) mendesak pemerintah yang menjadi tergugat melaksanakan putusan pengadilan atas gugatan warga negara yang sudah dijatuhkan sejak 16 September 2021.
Sebelumnya, Koalisi Ibukota melayangkan gugatan kepada pemerintah pada 4 Juli 2019. Sikap ini diambil lantaran kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya kian memburuk. Pada Agustus 2023 lalu, perusahaan teknologi Swiss IQAir merilis data bahwa Jakarta menduduki peringkat pertama sebagai kota paling tercemar di dunia.
Mengutip Katadata (17-11-2023), salah satu putusan yang harus dijalankan pemerintah dalam gugatan tersebut adalah pertama, Presiden Jokowi harus mengetatkan Baku Mutu Udara Ambien Nasional yang cukup untuk melindungi kesehatan manusia, lingkungan, dan ekosistem, termasuk kesehatan populasi yang sensitif berdasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kedua, Menteri KLHK melakukan supervisi terhadap Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat dalam melakukan inventarisasi emisi lintas batas provinsi.
Ketiga, Menteri Dalam Negeri melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap kinerja (Gubernur DKI Jakarta) dalam mengendalikan pencemaran udara.
Keempat, Menteri Kesehatan melakukan penghitungan penurunan dampak kesehatan akibat pencemaran udara di Provinsi DKI Jakarta.
Kelima, Gubernur DKI Jakarta harus melakukan pengawasan terhadap ketaatan setiap orang terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran udara atau ketentuan dokumen lingkungan hidup, serta menjatuhkan sanksi bagi siapa saja yang melakukan pencemaran udara.
Jika kita teliti, isi hukuman tersebut sebenarnya lebih cenderung pada mengingatkan kembali tugas, pokok, dan fungsi yang harus dijalankan pemerintah dan jajarannya. Putusan MA sepertinya lebih tepat sebagai pengingat tugas pemerintah dibandingkan hukuman untuk pemerintah.
Yang namanya hukuman pasti ada pertanggungjawaban dari pihak tergugat. Artinya, hukuman yang ditujukan kepada pemerintah selaku pihak tergugat belum bisa disebut “menghukum” atas kelalaian penguasa dalam menjalankan tugas pokoknya.
Kelalaian itu bisa terjadi karena kebijakan politik ekonomi yang berdampak buruk bagi masyarakat. Seperti mudahnya perizinan pembangunan industri manufaktur, eksploitasi batu bara secara besar-besaran, serta pembangunan infrastruktur yang mengalihfungsikan lahan hutan.
Jika sampai masyarakat menggugat pemerintah, ini mengindikasikan tingkat keparahan polusi udara sudah mengganggu aktivitas dan kesehatan masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari dampak kebijakan pemerintah yang tidak ramah lingkungan.
Contohnya, eksploitasi batu bara sebagai pembangkit listrik.
Berdasarkan penelitian, emisi yang dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga batu bara serta pabrik pengolahan yang menggunakan batu bara untuk membuat minyak sawit menyumbang 5-31% dari total polusi PM2.5, dengan rata-rata kontribusi sebesar 9%.
Contoh lainnya adalah dampak investasi dan liberalisasi menjadikan industri manufaktur makin menjamur. Industri ini adalah penyumbang emisi terbesar kedua dan ketiga di wilayah Jakarta. Sektor-sektor ini juga merupakan penyumbang polutan sekunder terbesar.
Kemudian jika kita kaitkan dengan pola serta gaya hidup masyarakat kapitalis. Transportasi publik seperti kereta, bus, serta kendaraan umum lainnya mulai ditinggalkan. Semua berlomba-lomba memiliki dan mengendarai kendaraan pribadi. Mereka memasuki Jakarta sehingga meningkatkan populasi dan jumlah mobil yang melintas.
Putusan pengadilan yang “menghukum” tergugat yang sebenarnya memang sudah tugas dan kewajiban mereka, tetapi mereka belum menunjukkan keseriusan dalam menyelesaikan persoalan polusi. Yang terjadi adalah kelalaian dan pengabaian amanah yang diberikan.
Pandangan Islam
Dalam Islam, penguasa adalah raa’in, yakni melayani dan mengurusi segala kepentingan rakyat dengan sepenuh hati. Ia akan menetapkan kebijakan yang senantiasa berpihak pada kemaslahatan rakyat, tidak membahayakan mereka, dan selalu melindungi mereka, terutama kebijakan di bidang politik, ekonomi, dan kesehatan.
Ada tiga prinsip yang harus dilakukan oleh negara sebagai raa’in/pengurus umat.
Pertama, kebijakan yang pro rakyat dengan tidak sembarang memberi izin perusahaan atau industri beroperasi tanpa disertai penanganan AMDAL dan limbah secara komprehensif. Apalagi jika berkaitan dengan perusahaan yang memproduksi SDA yang mestinya dikelola negara. Harta milik umum seperti tambang batu bara dan sebagainya harus dikelola secara mandiri oleh negara, tidak boleh diserahkan kepada individu, asing, maupun swasta.
Kedua, menerapkan pola hidup bersih dan sehat seperti yang dianjurkan dalam Islam. Di antara banyaknya polutan dan limbah adalah diterapkannya sistem hidup kapitalistik yang membuat konsumerisme terus membudaya. Pola hidup kapitalistiklah yang membuat manusia tidak memiliki kesadaran dalam menjaga lingkungan dan alam bersama-sama. Kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan menghilang seiring kerakusan dan ketamakan yang terpelihara dalam kehidupan sekuler kapitalisme.
Ketiga, memberi sanksi tegas yang berefek jera, termasuk kepada penguasa. Pemimpin yang melalaikan amanah atau melakukan pelanggaran harus diberi sanksi teguran hingga pemecatan oleh Qadhi Mazhalim. Pelanggaran berat terhadap syariat Islam tidak akan ditoleransi dalam bentuk apa pun, terutama menyangkut keselamatan rakyat.
Dengan tiga prinsip ini, tugas pokok negara akan terlaksana dengan baik melalui penerapan Islam secara Kaffah dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Yang tentunya dibawah pimpinan seorang Khalifah yang akan meriayyah umatnya secara sempurna.
Insya Alloh.
0 Komentar