LAHIRNYA GENERASI EMAS DARI BONUS DEMOGRAFI, ILUSI ATAU SOLUSI?


Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban

Indonesia merupakan negara peringkat keempat yang memiliki jumlah penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk Indonesia mencapai 275,36 juta jiwa pada Juni 2022. Dari jumlah tersebut, ada 190,83 juta jiwa (69,3%) penduduk Indonesia yang masuk kategori usia produktif, 67,16 juta jiwa (24,39%) penduduk usia belum produktif dan sebanyak 17,38 juta jiwa (6,31%) merupakan kelompok usia sudah tidak produktif. Dengan komposisi jumlah penduduk tersebut, maka rasio ketergantungan/beban tanggungan (depency ratio) sebesar 44,3%. (opendata.jabarprov.go.id, 27/7/2023).

Founder Gerakan Gadget Sehat Indonesia (GGSI) Prof.Dr.dr. Ridha Dharmajaya Sp BS (K) mengingatkan pentingnya penggunaan gadget sehat untuk mendukung lahirnya generasi emas sekaligus memanfaatkan bonus demografi pada 2045. "Jadikan gadget sebagai alat yang bermanfaat. Sampaikanlah informasi yang penting dan positif sehingga keinginan kita melahirkan generasi berkualitas yakni generasi sehat, pintar dan bermoralitas yang baik bisa diraih dan kunci generasi emas menuju 2045 bisa terwujud," (republika.co.id, 5/11/2023).

Menurut Ridha, yang juga berprofesi sebagai Guru besar Fakultas Kedokteran USU, terdapat dua faktor yang berdampak buruk dalam penggunaan gadget yang berpotensi mengganggu generasi muda yakni posisi dan durasi. Posisi penggunaan gadget yang kurang tepat dan juga durasi yang berlebih, akan mengakibatkan banyak generasi muda mengalami saraf kejepit pada bagian leher.

Jika perilaku penggunaan gadget yang salah terus menerus, bisa jadi bonus demografi yang dinantikan justru akan menjadi bencana demografi dengan melahirkan generasi cacat. Memang ada benarnya, generasi emas tentulah bukan generasi yang bobrok apalagi sakit-sakitan. Namun, ada sikap pragmatis dari pernyataan ini, sebagai ahli kesehatan pendapatnya bisa diterima, namun mencetak generasi emas sebagai bentuk pemanfaatan bonus demokrasi tentulah tidak cukup. Ada banyak faktor yang harus diperhatikan. Terutama paradigma penguasa sendiri terkait makna generasi emas bonus demografi.

Faktanya hari ini, generasi muda usia produktif, hanya diposisikan sebagai mesin keuangan, penyangga ekonomi negara, pekerja murah dan terampil, kantong suara demi kesuksesan pemilu dan bahkan penyebar ide-ide batil hasil dari pendidikan yang berbasis liberal sekuler. Sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo yang menyebut generasi muda sudah saatnya diberikan panggung politik. Alasannya, enam tahun kedepan atau tepatnya 2030, Indonesia akan mengalami bonus demografi (tempo.co, 7/11/2023).

Bonus demografi itu, kata Jokowi, akan didominasi oleh generasi muda berusia dibawah 40 tahun. "Bonus demografi yang akan mencapai puncak di tahun 2030-an adalah peluang besar kita untuk meraih Indonesia Emas 2045. 68 persen adalah penduduk usia produktif. Di sinilah kunci peningkatan produktivitas nasional kita," kata Jokowi. Hanya "kunci produktivitas nasional". Bukankah produktivitas yang dimaksud adalah penyangga ekonomi bahkan penyedia suara pemilih dalam pesta demokrasi yang akan digelar tahun 2024 mendatang.

Secara pemikiran, generasi muda kita dicekoki dengan pemahaman liberal, melalui kurikulum merdeka dan program moderasi beragama, sehingga mereka diharapkan bisa lebih terbuka, toleran dan jika muslim, akan lebih menerima ide di luar Islam. Di sinilah bahayanya, sebab jika tanpa penjelasan berimbang justru akan semakin menjauhkan ghiroh (semangat juang) anak muda dari memperjuangkan agamanya, dekat dengan umat, memahami persoalan umat kemudian bersama-sama umat membuat perubahan. Bahkan akan melakukan kerusakan di muka bumi.

Dan perubahan yang dimaksud bukan parsial, ekonominya saja misalnya. Melainkan keseluruhan. Dan itu butuh support sistem yang mumpuni, bukan berlandaskan manfaat semata dan juga bukan bentuk pemisahan agama dari kehidupan.

Sebab, meski bonus demografi sangat menguntungkan kita, jika dihadapi dengan asal-asalan, bahkan hanya melanjutkan program lama, meski kelak berganti pemimpin tentulah tidak akan mencapai tujuannya. Terlebih ketika penguasa hanya membidik potensi politik pemuda ala demokrasi yang hanya menambah kuantitas suara untuk mencapai kemenangan sangatlah mubazir, sebab, peran politik pemuda jika dilihat dari kacamata Islam sangatlah luarbiasa.


Generasi Emas Hanya Lahir Dari Sistem Islam

Potensi politik pemuda dalam Islam yang paling utama adalah agen of change atau motor penggerak perubahan. Maka, pendidikan menjadi fokus negara untuk membentuk setiap pemuda atau pemudi muslim memiliki kepribadian Islam yang kuat. Di sisi lain, negara juga menjamin pemenuhan kebutuhan pokok lainnya bagi individu rakyat seperti sandang, pangan, papan, kesehatan dan keamanan.

Para pemuda juga akan dibimbing untuk memahami politik dalam Islam, suara mereka bukan bonus bagi kemenangan satu partai, meski ada partai dalam Islam. Namun justru mereka tampil di garda terdepan memastikan keilmuan dan ketrampilan mereka terus memahamkan umat akan pentingnya keterikatan dengan hukum syara. Wajib bagi setiap muslim untuk berlaku taat setelah mereka beriman kepada Allah ï·». Maka, bonus demografi menjadi solusi jika menggunakan cara pandang Islam, yaitu diterapkan syariat Islam di seluruh lini kehidupan. Sebaliknya menjadi ilusi bagi perubahan jika tetap berkubang dalam sistem demokrasi. Wallahualam bissawab.

Posting Komentar

0 Komentar