Oleh: Titin Surtini
Muslimah peduli Umat
Setiap tanggal 12 November masyarakat Indonesia memperingatinya sebagai Hari Kesehatan Nasional (HKN) yang tahun ini mengusung tema “Transformasi Kesehatan untuk Indonesia Maju”. Sebuah tema yang penuh harapan bisa membawa kesehatan Indonesia lebih maju dan berkualitas.
Setiap negara tentunya ingin rakyatnya hidup sehat dan pelayanan kesehatannya terjamin. Tentunya peringatan HKN selayaknya memberi banyak refleksi dan evaluasi agar transformasi kesehatan tidak terdengar seperti slogan tanpa makna.
Karena masih banyak persoalan kesehatan yang belum tuntas diantaranya adalah :
Pertama, kualitas SDM Indonesia. Merujuk pada standar WHO, yakni setiap 1.000 penduduk tersedia satu orang dokter, maka Indonesia membutuhkan setidaknya 275.000 dokter dengan jumlah penduduk saat ini sekitar 275 juta jiwa. Menurut data Kementerian Kesehatan yang dihimpun Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2022, jumlah dokter di Indonesia mencapai 176.110 orang. Angka tersebut merupakan gabungan dari dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis.
Meski jumlah dokter meningkat 60%, tetapi Indonesia masih kekurangan dokter. Untuk menutupi kekurangan ini, pemerintah meluncurkan Program Afirmasi Pendidikan Tinggi Tenaga Kesehatan (Padinakes) dalam rangka pemerataan SDM kesehatan. Program ini diharapkan mampu memberikan akses seluas-luasnya kepada lulusan SMA/sederajat yang berasal dari daerah terpencil, yang ingin mengabdi di bidang kesehatan.
Meski program tersebut berjalan, tetapi biaya sekolah kesehatan memang dikenal mahal dan belum mampu terjangkau masyarakat kecil. Belum lagi kemiskinan yang terus membayangi kehidupan ekonomi masyarakat.
Inilah yang mestinya menjadi perhatian utama dalam membahas SDM kesehatan. Harusnya seluruh rakyat dapat mengenyam pendidikan secara merata. Tetapi sistem pendidikan ala kapitalisme sulit mewujudkannya sebab sektor pendidikan sudah dikapitalisasi. Makin ke sini, biaya pendidikan kesehatan kian tinggi.
Saat ini, jumlah SDM kesehatan di Indonesia mencapai 1.182.024 orang, terdiri dari 73,13% tenaga kesehatan dan 26,87% tenaga penunjang kesehatan. Tentu saja jumlah ini masih jauh dari tersedianya kebutuhan tenaga kesehatan. Belum lagi jika kita dihadapkan dengan distribusi dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia yang belum merata hingga menjangkau pelosok desa.
Kedua, transformasi kesehatan harusnya dimulai dari kualitas pelayanan kesehatan. Contoh dalam menilai layanan kesehatan hari ini adalah BPJS Kesehatan. Karut-marut mewarnai perjalanan BPJS Kesehatan sebagai lembaga yang mengomersialisasi kesehatan seperti bisnis.
Masyarakat diharuskan membayar sejumlah premi, tetapi pelayanan yang diberikan sangat minimalis dan sebisanya atau ala kadarnya. Sedangkan layanan kesehatan adalah kebutuhan asasi publik. Tidak semestinya negara melakukan pelayanan kesehatan kepada rakyat dengan prinsip profit oriented.
Layanan kesehatan seharusnya diberikan secara gratis atau setidaknya berbiaya murah. Namun, paradigma kapitalisme tidak mau menerapkan pelayanan gratis, seperti ungkapan “Tidak ada makan siang gratis.”
Ketiga, transformasi kesehatan mengarah pada terselesaikannya persoalan dasar kesehatan, yakni jaminan kesehatan negara kepada rakyat, seperti infrastruktur memadai, layanan kesehatan gratis, serta pemenuhan kebutuhan pokok, sehingga tidak ada masalah stunting, gizi buruk atau dampak negatif akibat ekonomi yang buruk.
Bukan malah tersibukkan pada persoalan cabang seperti ekosistem digital kesehatan. Hal itu memang penting pada era digital. Namun, alangkah baiknya negara memprioritaskan jaminan kesehatan dahulu sebelum bicara digitalisasi.
Dalam Islam, kesehatan, pendidikan, sandang, pangan, dan papan adalah kebutuhan dasar masyarakat. Negara wajib memenuhinya tanpa kompensasi. Kebutuhan pokok ini akan menjadi perhatian utama. Kesehatan merupakan salah satu layanan yang wajib dipenuhi negara kepada rakyatnya. Ada lima prinsip jaminan kesehatan dalam Islam.
Pertama, negara wajib menjamin kesehatan rakyat. Artinya negara bertanggung jawab penuh memberi jaminan seluruhnya untuk rakyat. Negara tidak akan memungut biaya pada masyarakat untuk perkara yang sudah dijamin.
Kedua, kesehatan adalah kebutuhan dasar bagi rakyat. Oleh karenanya, layanan yang diberikan haruslah maksimal karena hal itu merupakan kewajiban negara sebagai raa’in (pengurus rakyat) dan hak warga negara mendapat kesehatan layak.
Ketiga, negara wajib memberi pelayanan, ketersediaan alat, hingga sistem gaji yang memadai pada tenaga kesehatan. Pelaksanaan layanan kesehatan adalah tanggung jawab negara. Ini karena sejatinya negaralah yang memiliki kendali penuh atas pelayanan dan penyediaan fasilitas kesehatan rakyat.
Keempat, pembiayaan sektor kesehatan. Semua pembiayaan di sektor ini bersumber dari pos-pos pendapatan negara, seperti hasil hutan, barang tambang, harta ganimah, fa‘i, kharaj, jizyah, ‘usyur, dan pengelolaan harta milik negara lainnya.
Kelima, kendali mutu sistem kesehatan berpedoman pada tiga strategi, yakni administrasi yang sederhana, segera dalam pelaksanaan, dan dilaksanakan oleh individu yang kapabel.
Transformasi kesehatan harusnya merujuk pada penerapan sistem kesehatan pada masa Islam. Rasulullah ﷺ pernah menerapkan layanan kesehatan gratis ketika rombongan dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Mereka lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah ﷺ selaku kepala negara lalu meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta di dekat Quba’. Mereka diperbolehkan minum air susunya secara gratis sampai sembuh.
Sistem kesehatan gratis dan berkualitas memang hanya mampu terwujud dalam sistem Khilafah, bukan kapitalisme.
Dengan penerapan aturan Islam secara Kaffah tentu akan menjamin seluruh kepentingan umat termasuk hal yang sangat penting yaitu kesehatan.
Wallahu alam bissowab.
0 Komentar