Oleh: Siti Aminah
Aktivis Muslimah
Menkopolhukam Mahfud MD memastikan temuan pungli di rutan KPK mencapai Rp4 miliar terus diproses secara hukum. Ia mengungkap pihak-pihak yang terlibat pun siap dipidana.
Menurut Mahfud, temuan pungli di KPK sangat ironis. Tapi, urusan pungli memang tak mengenal lembaga mana pun, dan bisa terjadi di mana saja.
"Ya semualah, pokoknya di mana aja sama ironis. Kan bukan hanya di KPK, pengadilan," kata Mahfud.
Lebih lanjut, Mahfud menegaskan KPK adalah lembaga independen yang tak bisa diintervensi. Sebab itu ia menyerahkan sepenuhnya penyelidikan kasus ini kepada Dewas KPK. (Dilansir dari KumparanNews, 26 Juni 2023)
Kalau yang dikatakan pak Mahfud MD terbukti kebenarannya, sungguh negeri ini sedang super darurat korupsi, korupsi yang sudah membudaya di tambah sekarang yang harusnya memberikan sanksi bagi para koruptor justru malah tersandung kasus korupsi.
Korupsi di KPK menunjukkan lemahnya integritas pegawai karena menghalalkan segala cara demi mendapatkan harta dunia. Selain karena lemahnya iman buah penerapan sekularisme. hal ini juga terjadi karena hukum tidak tegas dan tidak membuat efek jera.
Peristiwa ini telah memusnahkan harapan pemberantasan korupsi dengan tuntas. Kasus ini menguatkan bukti pemberantasan korupsi dalam sistem hidup sekuler mustahil terwujud.
Islam adalah satu-satunya agama yang memberikan rincian keharaman hukum seputar harta yang didapat dengan kecurangan.
Khusus untuk para pejabat, Islam telah menetapkan sejumlah aturan yang melarang mereka mendapatkan harta di luar gaji/pendapatan mereka dari negara. Itulah yang disebut sebagai kekayaan gelap menurut pandangan Islam.
Islam telah mengharamkan segala bentuk suap (risywah) untuk tujuan apapun. Suap adalah memberikan harta kepada seorang pejabat untuk menguasai hak dengan cara yang batil, atau membatalkan hak orang, atau agar haknya didahulukan dari orang lain. Nabi ﷺ telah melaknat para pelaku suap, baik yang menerima maupun yang memberi suap:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
Rasulullah ﷺ telah melaknat penyuap dan penerima suap (HR at-Tirmidzi dan Abu Dawud).
Dalam Islam, pejabat negara juga dilarang menerima hadiah (gratifikasi). Nabi ﷺ pernah menegur seorang amil zakat yang beliau angkat karena terbukti menerima hadiah saat bertugas dari pihak yang dipungut zakatnya. Beliau bersabda:
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
Siapa saja yang kami angkat sebagai pegawai atas suatu pekerjaan, kemudian kami beri dia upahnya, maka apa yang dia ambil selain itu adalah kecurangan (HR Abu Dawud).
Dalam hadis lain beliau bersabda:
هَدَايَا الأُمَرَاءِ غُلُولٌ
Hadiah yang diterima oleh penguasa adalah kecurangan (HR al-Baihaqi).
Termasuk dalam kategori kekayaan gelap pejabat menurut Islam adalah yang didapatkan dari komisi/makelar dengan kedudukannya sebagai pejabat negara. Komisi sebenarnya adalah hal yang halal dalam muamalah.
Namun, jika seorang pejabat menggunakan kedudukannya/kekuasaannya untuk memuluskan suatu transaksi bisnis, atau ia mendapatkan fee/komisi dari suatu proyek, maka itu adalah cara kepemilikan harta yang haram.
Sayangnya, dalam dunia bisnis kapitalis, seperti sudah menjadi kemestian jika pengusaha harus memberikan komisi sebagai upeti kepada para pejabat agar mereka mendapatkan proyek atau ketika dana proyek sudah cair.
Islam menetapkan bahwa korupsi adalah salah satu cara kepemilikan harta haram. Korupsi termasuk tindakan kha’in (pengkhianatan). Korupsi dilakukan dengan memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki seorang pejabat negara dengan sewenang-wenang, baik dengan memanipulasi ataupun melakukan tekanan kepada pihak lain untuk menyerahkan sejumlah harta yang bukan haknya; apakah itu harta milik negara, milik umum, atau milik orang lain.
Islam memberikan sejumlah hukuman yang berat kepada pelaku korupsi, suap dan penerima komisi haram. Pada masa Rasulullah ﷺ pelaku kecurangan seperti korupsi, selain harta curangnya disita, pelakunya di-tasyhir atau diumumkan kepada khalayak.
Dalam Perang Khaibar ada seorang budak dari Bani Judzam bernama Rifa’ah bin Zaid dari Bani adh-Dhubaib. Ketika mereka singgah di satu lembah, budak tersebut dipanah (oleh musuh) sehingga menjadi sebab kematiannya. Serta-merta mereka berkata, "Berbahagialah dia dengan pahala syahid, wahai Rasulullah."
Namun, dengan tegas Rasulullah ﷺ mengatakan:
كَلاَّ، وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، إِنَّ الشَّمْلَةَ لَتَلْتَهِبُ عَلَيْهِ نَارًا أَخَذَهَا مِنَ الْغَنَائِمِ يَوْمَ خَيْبَرَ لَمْ تُصِبْهَا
Sekali-kali tidak! Demi Zat Yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh sehelai kain yang ia ambil dari rampasan perang yang belum dibagi pada Perang Khaibar akan menyalakan api padanya (HR Muslim).
Abu Hurairah berkata: (Mendengar itu) para sahabat sangat ketakutan sehingga ada seorang yang menyerahkan satu atau dua tali sandal seraya mengatakan, "Wahai Rasulullah, kami mendapatkan ini pada Perang Khaibar." Rasulullah ﷺ pun bersabda, "Ketahuilah, sungguh itu adalah satu atau dua tali sandal dari api neraka."
Pada masa Khulafaur Rasyidin ada kebijakan yang dibuat oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. untuk mencatat harta kekayaan para pejabatnya saat sebelum dan setelah menjadi pejabat. Jika Khalifah Umar merasa ragu dengan kelebihan harta pejabatnya, ia akan membagi dua hartanya dan memasukan harta itu ke Baitul Mal.
Khalifah Umar ra. juga tak segan merampas harta yang diberikan oleh para pejabatnya kepada karib kerabat mereka. Umar pernah merampas separuh harta Abu Bakrah ra. karena kerabatnya bekerja sebagai pejabat Baitul Mal dan pengurusan tanah di Irak. Harta Abu Bakrah sebesar 10 ribu dinar (lebih dari Rp 25 miliar) dibagi dua oleh Khalifah Umar. Separuh diberikan kepada Abu Bakrah. Separuh lagi dimasukkan ke Baitul Mal (Syahid al-Mihrab, hlm. 284).
Amirul Mukminin Umar ra. juga pernah merampas harta Abu Sufyan setelah ia pulang dari Syam, menjenguk putranya, Muawiyah. Harta itu adalah oleh-oleh dari putranya. Beliau merampas uangnya sebesar 10 ribu dirham (lebih dari Rp 700 juta) untuk disimpan di Baitul Mal.
Pelaku suap, korupsi atau penerima gratifikasi juga bisa diberi sanksi penjara hingga hukuman mati sesuai keputusan qadhi sebagai ta’zir dalam sistem pidana Islam.
Pemberantasan korupsi dalam Islam menjadi lebih mudah dan tegas karena negara dan masyarakatnya dibangun di atas dasar ketakwaan. Hukumnya pun berasal dari wahyu, bukan dari hawa nafsu manusia sebagaimana dalam sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi, hukuman untuk para koruptor dan upaya penindakannya bisa diubah sesuai kepentingan.
Korupsi marak di Tanah Air Antara lain karena keserakahan para pelaku, lemahnya hukum, juga mahalnya ongkos politik dalam sistem demokrasi. Untuk menjadi kepala daerah saja seorang calon harus punya dana minimal Rp20-30 miliar. Padahal gaji yang mereka terima setelah menjabat kepala daerah hanya puluhan juta rupiah. Pemilihan caleg di berbagai tingkat juga berbiaya tinggi. Inilah yang mendorong sejumlah kepala daerah dan anggota dewan ramai-ramai melakukan korupsi.
Karena itu sudah saatnya umat kembali pada syariah Islam yang datang dari Allah Mahasempurna.
Islam menetapkan Negara memiliki peran penting dalam mewujudkan sistem hukum dan sanksi yang tegas dan menjerakan, juga dalam mencetak individu yang berkepribadian islam.
0 Komentar