TIGA HAL CATATAN PAMONG INSTITUTE TERKAIT MAKNA HIJRAH DALAM PERSPEKTIF PEMERINTAHAN


Oleh: Muhar
Jurnalis Lepas

Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky mencatat, ada tigal hal terkait makna hijrah dalam perspektif pemerintahan.

"Dalam perspektif pemerintahan, penulis mencatat sedikitnya ada tiga hal penting terkait makna hijrah menuju pemerintah yang amanah," ujarnya kepada Gudang Opini, Kamis (20/7/2023).

Dalam tulisannya yang berjudul "Makna Hijrah Bagi Pemerintah yang Amanah", ia menjelaskan, pertama, hijrah legal formal.

Menurutnya, makna hijrah dalam sistem hukum dan konstitusi adalah berpindahnya (hijrah) dari sistem hukum yang semula bersumber pada akal manusia, berpindah kepada hukum yang bersumber dari Wahyu ilLahi. Yakni, apa yang diturunkan oleh Allah ï·» Sang Pencipta manusia dan semesta alam beserta aturan dan hukum-Nya.

"Pendeknya, hijrah dari hukum jahiliah kepada hukum Allah (syariat Islam). Tonggak hijrah dalam sistem hukum itu diabadikan dalam sebuah konstitusi tertulis yang dikenal dengan Piagam Madinah" jelasnya.

Ia melanjutkan, melalui peristiwa hijrah inilah, masyarakat dan pemerintahan pertama kali mengenal Konstitusi Madinah atau Piagam Madinah (Sahifah Madinah).

"Adanya Konstitusi Madinah ini menjadi tonggak baru sebagai pembatas negara yang menerapkan hukum Islam dan negara yang tidak menerapkan hukum Islam," lanjutnya.

Ia lantas mengungkapkan, negara yang menerapkan hukum Allah ï·» secara kaffah (hukum Islam) inilah yang kemudian dikenal dengan Darul Islam (Negara Islam). Sebaliknya, Darul Kufur adalah wilayah (negara) yang tidak menerapkan syariah Islam dan keamanannya tidak di tangan kaum Muslim, sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam.

"Definisi hijrah semacam ini diambil dari fakta hijrah Nabi ï·º. Kala itu, hijrah dari Makkah (yang saat itu merupakan Darul Kufur), ke Madinah (yang kemudian menjadi Darul Islam)." sambungnya.

Kedua, hijrah dalam struktur kepemimpinan pemerintahan dan politik.

Wahyudi mengungkapkan, di masa hijrah Nabi Muhammad ï·º, masyarakat dunia kala itu sudah mengenal struktur kepemimpinan dan politik pemerintahan. Yang dikenal saat itu adalah Otokrasi dan Demokrasi. Otokrasi merupakan sistem kepemimpinan pemerintahan tertua yang meletakan semua kekuasaan pada satu orang, yakni raja. Ini kemudian dikenal dengan sistem kerajaan.

"Dalam sistem Otokrasi, yang menentukan hukum benar dan salah, baik dan buruk ada ditangan satu orang, yakni di tangan raja. Sistem ini kemudian dikoreksi oleh demokrasi tahun 508 SM di negara kota, Yunani Kuno," ungkapnya.

Ia pun menerangkan, lebih seribu tahun, kemudian sistem kepemimpinan Islam yang unik hadir untuk mengoreksi Otokrasi dan Demokrasi sekaligus. Jika Otokrasi meletakkan kedaulatan ditangan satu orang, maka dalam Demokrasi diletakkan ditangan rakyat (banyak orang).

"Islam hadir mengoreksi keduanya. Lalu meletakkan kedaulatan berada pada Sang Pencipta raja dan rakyat, yakni Allah. Kedaulatan dalam hal ini tunduk pada hukum Allah (syariah)," terangnya.

Sistem ini yang kemudian membuat Madinah cemerlang, sambungnya. Padahal sebelum hijrahnya Nabi ï·º, menurutnya secara politis bangsa Arab saat itu bukanlah bangsa yang diperhitungkan. Ada dua negara adidaya saat itu, Persia dan Kristen Byzantium, sama sekali tidak melihat Arab sebagai sebuah kekuatan politik yang patut diperhitungkan.

"Namun dengan sistem kepemimpinan Islam yang unik (bukan Otokrasi dan bukan Demokrasi) Negara Madinah menjadi negara yang besar dan sangat diperhitungkan secara politik." sambungnya.

Ketiga, hijrah kultural atau hijrah sosial budaya.

Wahyudi mengisahkan, budaya masyarakat Arab sebelum Nabi ï·º hijrah adalah masyarakat jahiliah. Untuk menyalurkan naluri memuja sesuatu (gharizah at-tadayun), kebanyakan masyarakat Arab memuja berhala, selebihnya memuja jin, roh nenek moyang, dan lain-lain.

Ia melanjutkan, sedangkan untuk menyalurkan naluri kepada lawan jenis/seksual (gharizah an-nau), kebanyakan dari mereka melakukan pelacuran dan perzinahan. Untuk menyalurkan naluri mempertahankan diri (gharizah al baqa’) mereka menjadi masyarakat kriminal, sehingga banyak terjadi pencurian, pembegalan dan perampokan serta pembunuhan, dan lain-lain.

"Semua tradisi buruk itu berubah setelah peristiwa hijrah. Tradisi judi dan riba pun ditinggalkan dan berhijrah menjadi masyarakat pedagang yang jujur. Demikian pula tradisi peminum arak (tukang mabuk) menjadi masyarakat pemikir yang waras," tulisnya mengisahkan.

Ia pun menyimpulkan, pendek kata, hijrah yang dilakukan Rasulullah ï·º adalah berpindah dari Makkah yang jahiliah ke Madinah yang beradab. Hijrah dari Daulah Jahiliah di Makkah ke Daulah Islamiah di Madinah. Hijrah secara kaffah. Hijrah dari pemerintahan jahiliyah ke pemerintahan yang amanah.

"Sehingga membentuk masyarakat beradab yang cemerlang. Rasulullah ï·º menggambarkan Madinah al-Munawwarah saat itu dengan sabdanya, Madinah itu seperti tungku (tukang besi) yang bisa membersihkan debu-debu yang kotor dan membuat cemerlang kebaikan-kebaikannya. (HR al-Bukhari)," kutipnya.

Walhasil catat Wahyudi menegaskan, makna hijrah bagi kita, kini adalah mencoba untuk mengikuti jejak Nabi ï·º dalam berhijrah. Jika masyarakat kita kini, kondisi akidah/ideologinya, sosial, ekonomi dan politiknya saat ini berada dalam cengkeraman ideologi Kapitalisme Sekular, sesungguhnya mirip dengan kondisi sebelum Rasulullah ï·º hijrah dari kota Makkah ke Madinah.

Maka menurutnya, kita perlu hijrah dari masyarakat jahiliyah modern, menuju masyarakat modern yang beradab.

"Ini akan terwujud jika pemerintah kita juga hijrah menjadi pemerintahan yang amanah, sebagaimana model pemerintahan yang telah dicontohkan Nabi ï·º di Madinah. Yang kemudian dilanjutkan dengan Kekhilafahan Islam setelahnya sebagaimana dicontohkan oleh Khulafaur Rasyidin," pungkasnya mengakhiri catatan.

Posting Komentar

0 Komentar