Oleh: Nurhayati
Muslimah Peduli Umat
Survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan tren kepercayaan publik terhadap sembilan lembaga negara. Dua terendah dari sembilan lembaga tersebut adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan partai politik. Kepercayaan publik terhadap DPR sebesar 68,5 persen, terbagi sangat percaya (7,1 persen) dan cukup percaya (61,4 persen). Sedangkan yang kurang percaya (26,6 persen) dan tidak percaya sama sekali 3,1 persen).
“Dari konteks lembaga DPR ini terdiri dari orang per orang, kerja orang per orang. Ada 575 orang yang memang kita kerjanya independen satu sama lain, walaupun kita produknya sama,” ujar Habiburokhman dalam diskusi yang digelar Indikator Politik Indonesia, Ahad (2/7/2023).
DPR sebagai lembaga legislatif berbeda dari institusi lain seperti Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polri, dan Kejaksaan Agung (Kejagung). Diketahui, tiga lembaga tersebut berada di posisi teratas yang paling dipercaya publik.
Bahkan 34 negara yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), kepercayaan publik terhadap parlemennya berada di kisaran 30 sampai 40 persen. Jerman, Belanda, Inggris, hingga Jepang diketahui merupakan anggota dari OECD.
Namun, ia menegaskan bahwa data tersebut bukanlah pembelaan DPR ketika tingkat kepercayaan publiknya termasuk yang terendah di Indonesia. Tegasnya, data tersebut menunjukkan bahwa parlemen yang dipilih oleh rakyat memang notabenenya tidak disukai oleh rakyat.
Faktor utama yang menjadi penyebab rendahnya kepercayaan publik kepada DPR adalah karena lembaga tersebut kerap menetapkan kebijakan yang dianggap merugikan rakyat. Sebagai contoh, UU Omnibus Law Cipta Kerja yang sangat kental dengan kepentingan oligarki dan asing. UU tersebut disahkan di tengah demonstrasi penolakan warga yang berjilid-jilid. UU yang dianggap cacat secara formil dan materiel tersebut telah berdampak buruk terhadap kesejahteraan rakyat, khususnya para buruh dan UMKM.
Contoh lain adalah UU IKN (Ibu Kota Negara) yang dianggap penuh dengan kepentingan oligarki, disahkan saat publik masih mempertanyakan urgensitas pembangunanya. Dana besar yang digelontorkan pada proyek ambisius tersebut telah melukai rasa keadilan rakyat yang kebutuhan hidupnya tidak terpenuhi. Anggaran dana yang fantastis untuk pembangunan infrastruktur penunjang investasi di perkotaan tidak dibarengi dengan pembangunan dan perbaikan fasilitas umum yang sangat dibutuhkan warga. Seperti jembatan antardesa, jalan utama desa, sekolah, rumah sakit, dan masih banyak lagi.
Belum lagi jika berbicara gaya hidup mewah para pejabat, termasuk anggota parlemen, telah benar-benar mengusik rakyat yang untuk makan sehari tiga kali saja masih sulit. Anggaran untuk fasilitas hidup para pejabat jumlahnya “gila-gilaan”. Mulai dari tunjangan kendaraan listrik yang mencapai Rp1 miliar per orang hingga anggaran gorden dan kalender yang mencapai miliaran rupiah, menjadikan rakyat makin tidak percaya kepada DPR.
Individu dalam parpol pun kebanyakan memiliki visi yang hanya dinisbahkan pada materi sehingga wajar saja anggota parpol banyak yang terlibat korupsi. Sebut saja Lutfi Hasan Ishaaq, anggota DPR yang juga menjabat sebagai Ketum PKS, ia dibekuk karena terlibat korupsi impor daging sapi. Anas Urbaningrum, Ketum Partai Demokrat juga masuk jeruji besi lantaran menerima suap kasus Hambalang.
Bahkan, Menteri Agama sekaligus Ketum PPP Suryadarma Ali dan Romahurmuzy, mereka masuk bui juga karena korupsi. Bayangkan, kementerian yang mengurusi agama malah terlibat aktivitas yang di haramkan agama. Wajar saja kepercayaan publik terhadap individu partai sangat rendah. Inilah politik ala demokrasi yang melahirkan individu yang tidak amanah dan kapabel. Sebab terpilihnya ia sebagai kandidat bukan karena kapabilitasnya, tetapi karena dana politik yang dikuasai. Biaya kontestasi yang begitu tinggi dalam sistem demokrasi akan menarik para cukong politik untuk terlibat. Inilah yang akhirnya mengantarkan kepada kebijakan yang tidak independen.
Dalam surah Ali Imran ayat 104, Allah ﷻ telah mewajibkan kaum muslim untuk membentuk sebuah partai politik yang berideologikan Islam sehingga bergabungnya seseorang menjadi bagian dari parpol tersebut merupakan wujud taatnya ia pada syariat. Bahkan, Allah ﷻ menyebutkan orang-orang yang tergabung di dalam parpol tersebut adalah orang yang beruntung.
وَلۡتَكُنۡ مِّنۡكُمۡ اُمَّةٌ يَّدۡعُوۡنَ اِلَى الۡخَيۡرِ وَيَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡكَرِؕ وَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa aktivitas parpol adalah berdakwah. Akidah Islam harus menjadi kaidah berpikirnya, bukan sekularisme. Ikatan antaranggota partainya pun harus ikatan akidah, bukan ikatan materi. Sebabnya, akidah akan menjadi tali yang kuat untuk parpol tersebut bergerak.
Wallohu a'lam bisshowab.
0 Komentar