PENGABULAN NIKAH BEDA AGAMA YANG BERKEDOK SOSIOLOGIS


Oleh: Shalsha Baharrizqi
Muslimah Peduli Umat

Pernikahan beda agama bukanlah praktik pernikahan yang baru di dunia. Dulu hingga saat ini, banyak pasangan yang berbeda keyakinan memutuskan untuk menikah, karena alasan cinta dan berdalih jika diantara mereka memiliki toleransi yang tinggi. Bagi sebagian masyarakat yang pro terhadap pernikahan beda agama ini, menanggapi bahwa hal tersebut sah saja, karena urusan dosa dan masuk surga adalah urusan Tuhan. Hingga, MUI pun bersuara dengan mengeluarkan fatwa tentang larangan pernikahan beda agama yang tercatat dalam keputusan MUI nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005.

Namun sangat disayangkan, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membuat keputusan yang berseberangan dengan fatwa MUI soal nikah beda agama. Pengadilan tersebut membolehkan nikah beda agama yang diminta oleh pemohon JEA yang beragama Kristen yang berencana menikah dengan SW seorang Muslimah.

Putusan yang mengabulkan keduanya menikah tertuang dalam nomor 155/Pdt.P/2023/PN.Jkt.Pst. Pernikahan dilakukan antara perempuan muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim dan sebaliknya laki-laki muslim menikah dengan perempuan non-muslim. Selain berdasarkan UU Adminduk, hakim juga mendasarkan putusannya pada alasan sosiologis yaitu keberagaman masyarakat.

Dikabulkannya nikah beda agama ini sudah menunjukan pelanggaran terhadap agama. Sudah tidak dapat dibendung lagi saat ini arus masuknya sekularisme dan liberalisme. Negara sudah mengabaikan penerapan agama dalam kehidupan, yang hanya di anggap sebagai sesuatu yang sifatnya vertikal, dan agama kini tidak lagi diperbolehkan dalam mengatur bagaimana dia bekerja, berpakaian hingga dengan siapa dia menikah.

Liberalisasi agama yang mengatasnamakan Hak Asasi Manusia telah “melegalkan” pernikahan beda agama. Telah sangat jelas program tersebut merupakan agenda global. Fenomena ini pun ditengarai bertujuan untuk terus mengharuskan pluralisme dan moderasi beragama. Menganggap bahwa keberagaman bukanlah pemisah antar umat beragama. Dan menganggap bahwa saling terbuka dengan pemeluk agama lain adalah salah satu kunci persatuan. Tanpa memperhatikan “kondisi” akidah dalam diri. Tentu saja, pemahaman seperti ini adalah pemahaman keliru dan melanggar syariat Islam.

Apabila pengkabulan pernikahan beda agama dianggap persoalan yang biasa maka permasalahan yang ditimbulkan akibat pernikahan beda agama tersebut harus siap ditanggung dan diselesaikan oleh negara, dari ketidakjelasan nasab anak yang dilahirkan, menjamurnya permintaan persetujuan pernikahan pasangan beda agama lainnya serta permasalahan rumit lain.

Bagaikan peribahasa, mati satu tumbuh seribu, tidak mau ikut aturan agama, bersiap semakin banyak masalah yang diterima.

Selain akan banyak kemudharatan didapatkan oleh anak keturunan hasil perkawinan yang tidak sah baik secara agama maupun negara. Sudah menjadi keharusan pemerintahan dan aparatur negara tegas pada hukum yang telah dibuat. Bukan berdasar opini pribadi yang terus mengacu pada hukum sekuler dan liberalisme yang hanya melahirkan kemaksiatan saja.

Karena sangat penting peradaban dunia ini harus melahirkan generasi yang memiliki kejelasan nasab dan wali. Islam tentu sangat memuliakan dan menjaga nasab keturunan manusia.

Pernikahan dalam Islam tidak hanya berdasarkan cinta sepasang laki-laki dan perempuan tanpa memperdulikan aturan agama. Namun juga berdasarkan ketaatan kepada Sang pencipta dan pemilik alam semesta ini.

Sebagai seorang muslim kita harus memahami bahwa haram hukumnya wanita muslimah menikah dengan non muslim (kafir), pernikahan seperti ini tidak sah dan hubungan yang terjadi didalamnya masuk dalam kategori zina.

Allah ﷻ berfirman :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةٗ وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٞ ٢٠٨
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kalian turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu” (QS Al-Baqarah: 208).

Cinta memang fitrah yang ada pada manusia, namun janganlah menjadikan cinta itu sebagai alat untuk menerobos perbedaan yang melanggar syariat Islam.

Ingatlah bagi setiap kaum muslimin menikah adalah ibadah untuk menggapai ridho Allah ﷻ. Apabila pernikahan beda agama yang dijalani, maka ibadah seperti apa yang diharapkan? Justru hal ini hanya menciderai aqidah dan sama sekali tidak menghadirkan ridho Allah ﷻ.

Maka hanya dengan Syariat Islam-lah, segala persoalan di muka bumi ini dapat teratasi. Karena Islam-lah yang mengatur segala tingkah laku manusia secara sempurna, termasuk di dalamnya aturan interaksi antara pria dan wanita dalam menjaga kemuliaan keduanya di hadapan Allah ﷻ.

Dan penjagaan akidah umat hanya dapat terlaksana jika syariat Islam diterapkan menyeluruh. Dan syariat Islam dapat sempurna terwujud dalam wadah Khilafah manhaj An Nubuwwah, teladan yang telah dicontohkan Rasulullah ﷺ satu-satunya institusi yang dapat merealisasikan syariat Islam dengan sempurna.

Wallahu a'lam bish-shawabi

Posting Komentar

0 Komentar