Oleh: Lathifa Rohmani
Muslimah Peduli Umat
Praktik korupsi semakin marak terjadi. Kali ini diduga terjadi pungutan liar atau pungli di rumah tahanan (rutan) KPK. Dewan Pengawas (Dewas) KPK menyatakan bahwa total nominal yang ditemukan dari pungli tersebut mencapai jumlah yang sangat besar yaitu Rp4 miliar.
Kasus ini terungkap setelah ketua Dewan Pengawas (Dewas) KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean melakukan penyelidikan. Pada penemuan Dewas KPK ini, terdapat dua unsur pelanggaran yang dapat diselidiki lebih lanjut yaitu dugaan pelanggaran etik dan unsur tindak pidana. Menurut anggota Dewas KPK, Albertina Ho menjelaskan praktik pungutan liar tersebut yang mencapai nominal 4 miliar rupiah itu terhitung sejak Desember 2021 hingga Maret 2022.
Selain itu, Juru Bicara Penindakan dan Kelembagaan KPK Ali Fikri, terdapat beberapa aduan dari masyarakat kepada KPK mengenai sejumlah modus korupsi di lapas. Modus tersebut antara lain dukungan penyalahgunaan wewenang hingga pengadaan barang dan jasa.
Dalam kasus ini, terlihat bahwan Dewas KPK bisa bertindak tegas. Namun, ketegasan yang dilakukan oleh Dewas dinilai telah tebang pilih. Menurut Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM) Yogyakarta, Zaenur Rohman, Dewas seperti tidak ada beban dalam menyampaikan kepada publik untuk melakukan pengusutan dari sisi etik dan disiplin jika kasus yang diungkap melibatkan pegawai di level rendah. Tetapi, jika dilihat dari kasus Lili Pintauli Siregar, sikap Dewas sangat berbeda. Dalam penindakan kasusnya seolah tidak ada ketegasan yang ditunjukan.
Semenjak KPK dibentuk, masyarakat telah menaruh harap pada lembaga pemberantas korupsi ini. Harapan tersebut salah satunya agar kasus korupsi di Indonesia dibabat habis tanpa sisa. Namun, masyarakat harus menelan pahit harapan tersebut karena faktanya KPK yang seharusnya paling bersih dari kasus korupsi malah terlibat kasus pungutan liar di dalam rutannya.
Integritas tinggi dalam memerangi korupsi yang seharusnya dimiliki oleh para pegawai dan penyidik KPK kembali dipertanyakan. Dugaan pungutan liar di dalam rutan dengan nominal Rp4 miliar telah membuat masyarakat kehilangan kepercayaan kepada lembaga pemberantas korupsi ini. Hal ini tak lain terjadi akibat sistem sekuler-demokrasi yang telah menyuburkan praktik korupsi di segala lini.
Sistem pemerintahan demokrasi yang khas dengan sistem kapitalisme-nya, telah membuat manusia di dalamnya lebih mementingkan materi. Sehingga, integritas dan kekuasaan yang seharusnya menjadi amanah malah tergadaikan demi cuan dan uang. Di lain sisi, sistem demokrasi ini juga khas dengan sekularisme yang cenderung tidak membentuk ketakwaan individu-individu di tengah masyarakat. Kemaksiatan dan kemungkaran tidak lagi menjadi suatu hal yang takut untuk dilakukan. Yang terjadi, mereka malah beramai-ramai melakukan kecurangan dan pengkhianatan terhadap rakyat tanpa rasa malu dengan perbuatannya.
Dalam Islam korupsi bisa diatasi hingga ke akarnya. Bahkan, jika Islam diterapkan sebagai sistem dalam bernegara dan berkehidupan, korupsi itu sendiri tidak akan muncul. Dalam Islam, mekanisme pencegahan dan pemberantasan korupsi ini, yaitu diantaranya dengan melibatkan peran negara, masyarakat dan individu yang memiliki integritas dalam memberangus setiap kejahatan, termasuk korupsi.
Pada sistem Islam, penanaman kepribadian Islam pada tiap individu akan menghasilkan individu yang beriman, taat dan baik. Dengan keimanan yang dimiliki tiap individu akan mencegahnya dari perbuatan maksiat dan dosa karena merasa malu dan takut kepada Allah ï·».
Berbeda halnya dengan sistem demokrasi-sekularisme yang memisahkan agama dari seluruh sektor kehidupan. Sistem kehidupan sekuler akan menghasilkan pemimpin tamak, tidak punya rasa malu, tidak takut akan dosa, dan tidak amanah dengan tanggung jawab kepemimpinannya.
Kemudian, dalam sistem Islam akan tercipta lingkungan kondusif yang senantiasa saling mengingatkan karena Allah ï·». Kewajiban yang diemban oleh tiap individu untuk ber-amar makruf nahi munkar, membuat tiap individunya menjadi penjaga, pengawas sekaligus pengingat atas syariat Islam yang harus senantiasa diterapkan. Saat ada seseorang yang akan melakukan maksiat, satu sama lain akan saling menasehati dan mengingatkan. Jika ada seseorang terindikasi berbuat kriminal atau korupsi, masyarakat akan dengan mudah melaporkannya pada pihak berwenang.
Tidak hanya masyarakat dan individunya, negara pun sangat berperan penting dalam pemberantasan korupsi. Dengan sistem sanksi Islam yang diterapkan oleh negara, akan memberikan efek jera bagi pelakunya dan menjadi pencegah bagi orang-orang yang akan melakukan korupsi. Berbeda halnya dalam sistem demokrasi, tindakan korup menjadi budaya di instansi pemerintah, bahkan dalam lembaga pemberantas korupsi sekalipun.
Seluruh lembaga dan perangkat hukum dalam negara Islam hanya menggunakan hukum Islam yang bersumber dari Sang Pencipta sebagai perundang-undangan negara. Celah untuk mempermainkan hukum atau tindakan jual beli hukum akan mustahil terjadi.
Sistem sanksi Islam ini memiliki dua fungsi, yaitu sebagai penembus dosa dan efek jera bagi pelakunya. Pada kasus korupsi sanksi yang diberlakukan adalah takzir, yaitu hanya sang khalifah-lah yang berwenang untuk menetapkannya. Takzir ini bisa berupa hukuman penjara, pengasingan, diarak dengan disanksikan seluruh rakyat, hingga hukuman mati. Hukuman takzir tersebut tergantung pada level perbuatan korupsi dan kerugian yang ditimbulkan.
Memberangus korupsi dalam sistem demokrasi itu hanyalah ilusi. Karena sistem demokrasi yang sekuler ini akan menggerus keimanan dan menjauhkan umat dari aturan Islam. Demikianlah, hanya Islam yang mampu mewujudkan sistem antikorup. Individu yang memiliki kepribadian taat, masyarakat yang saling mengingatkan, dan peran negara yang senantiasa menerapkan aturan Islam di segala lini kehidupan akan memberantas tindak korupsi hingga ke akar-akarnya.
Wallahu 'alam bish-shawwab.
0 Komentar