PROGRAM MINYAKITA BUKAN SOLUSI BUAT KITA


Oleh: Titin Surtini
Muslimah Peduli Umat

Belum lama ini, sejumlah distributor MinyaKita memberlakukan pembelian bersyarat, yaitu sistem bundling. Jika para penjual ingin membeli MinyaKita, mereka harus sekaligus membeli produk lainnya. Kondisi ini menyebabkan mereka malas untuk berjualan produk bersubsidi tersebut. Jadilah MinyaKita langka dan harganya mahal.

Di pihak lain, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mengatakan penjualan migor dengan sistem bundling merupakan tindakan pelanggaran karena sama dengan pemaksaan terhadap konsumen. Sanksinya bisa berujung hukuman penjara.

Tetapi dari sisi distributor, sistem bundling ini dianggap sebagai cara agar perusahaan tidak rugi. Karena hingga sekarang, utang pemerintah kepada distributor MinyaKita masih banyak yang tertunggak. Jadinya pengusaha menggunakan sistem bundling untuk menutupi tunggakan tersebut.

Adapun alasan pemerintah belum membayarkan utang migor itu kepada Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) karena ada perbedaan angka soal tagihan tersebut. Mendag Zulkifli Hasan mengatakan bahwa total tagihan dari pelaku usaha adalah sebesar Rp812 miliar, sedangkan hasil verifikasi oleh surveyor PT Sucofindo hanya mencapai Rp474 miliar. Artinya, terdapat perbedaan yang cukup besar, yaitu Rp338 miliar. (Kontan, 6-6-2023).

Mendag mengeklaim selisih Rp338 miliar ini disebabkan beberapa faktor, di antaranya penyaluran yang tidak dilengkapi bukti sampai pengecer, biaya distribusi, hingga penyaluran yang melebihi tenggat waktu.

KPK pun diminta segera mengusut hal ini sebab tahun lalu saja Menlu Indrasari Wisnu Wardhana terbukti korupsi pengadaan migor. Begitu pun dari sisi distributor, potensi kecurangannya juga tinggi sebab penimbunan migor saja bisa dilakukan, apalagi sekadar memanipulasi data.

Namun, terlepas siapa yang curang, penguasa ataukah pengusaha, yang jelas rakyatlah yang terzalimi. Rakyat diposisikan sebagai konsumen yang harus membayar harga mahal untuk sebuah kebutuhan dasar. Akibatnya orang-orang yang mampu saja yang dapat mengakses kebutuhan tersebut, sedangkan rakyat miskin harus menelan pil pahit yang kenyataannya mereka tengah diabaikan.

Oligarki rakus tidak akan pernah peduli rakyat di negeri ini. Begitu pun pengusaha, tidak akan peduli karena mereka hanya berfokus pada keuntungan melimpah.

Kebijakan migor bersubsidi MinyaKita sejatinya hanyalah kebijakan tambal sulam dan penuh pencitraan. Ini karena kebijakannya tidak menyentuh akar persoalan mahal dan langkanya minyak di masyarakat. Jika distribusi masih bertumpu pada swasta, aliran barang tentu bermuara pada individu kaya saja dan kendali harga bisa dimainkan oleh swasta.

Dan juga kebijakan ini sekadar hanya memoles wajah bopeng pengurusan negara terhadap rakyatnya.

Disini bukan hanya rakyat yang terzalimi, melainkan pedagang-pedagang kecil yang tidak memiliki koneksi juga terkena imbasnya.

Pemerintah tidak langsung memberikan subsidi kepada rakyatnya karena sistem ekonomi kapitalisme menganggap subsidi langsung kepada individu tidak produktif dan dapat memanjakan individu tersebut. Makanya subsidi kepada perusahaan dianggap akan menggerakkan perekonomian, padahal tidak semua individu mampu bekerja dan mengakses itu semua.

Dalam sistem ekonomi kapitalisme, tidak ada mekanisme lain dalam distribusi harta selain mekanisme pasar. Disini peran negara hanya sebagai regulator tempat bertemunya rakyat dengan pedagang.

Ini adalah pangkal tidak terselesaikannya persoalan umat, yaitu tidak hadirnya negara dalam mengatur distribusi harta.

Kekuatan kas negara pun turut hilang seiring tertancapnya liberalisasi kepemilikan sumber daya alam.

Sistem kapitalisme telah memandulkan peran negara dalam mengurusi umat. Kemudaratan bagi umat manusia makin besar seiring tertancapnya pemahaman kufur di dalam kehidupan umat.

Hal ini sangat jauh berbeda dengan Islam, sistem Islam, akan mampu menjawab seluruh persoalan, Islam memposisikan negara sebagai pihak sentral dalam setiap urusan umat. Fungsi negara adalah untuk mengatur umat manusia agar bisa hidup sejahtera dan bahagia yang dapat menjamin seluruh kebutuhan dasarnya sekaligus menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat.

Dalam masalah migor sejatinya jalur distribusi dilaksanakan oleh negara. Migor termasuk ke dalam sembako (sembilan bahan pokok), artinya pangan yang sangat dibutuhkan, disini negara harus benar-benar mengurusnya, tidak boleh menyerahkan kepengurusannya kepada swasta. Keberadaan swasta boleh saja ikut andil, tetapi sifatnya sekadar membantu negara. Tetap kendali penuh distribusi tetap ada di tangan negara.

Mekanisme distribusi harta ada dua, yaitu ekonomi dan non ekonomi. Mekanisme ekonomi adalah melalui aktivitas ekonomi yang bersifat produktif. Misalnya, larangan menimbun harta benda walaupun dikeluarkan zakatnya.

Kemudian mekanisme non ekonomi adalah aktivitas nonproduktif yang bertujuan agar di tengah masyarakat terwujud keseimbangan ekonomi. Misalnya, pemberian harta negara kepada warga yang membutuhkan, berupa zakat, infak, sedekah, wakaf, hibah, hadiah, warisan, dan sebagainya.

Disini hanya Khilafah yang memiliki kekuatan untuk mewujudkannya. Dan dengan dipimpin oleh seorang Khalifah dengan kekuatan baitulmal dan penguasanya yang amanah, disertai penerapan aturan Islam secara kaffah, keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya pun dapat terlaksana dengan sempurna.

Waalahu 'alam bissowab

Posting Komentar

0 Komentar