PRODUK BIOETANOL, APAKAH SOLUSI ATAU ILUSI?


Oleh: Titin Surtini
Muslimah Peduli Umat

Rencana pemerintah akan meluncurkan BBM jenis baru yang bernama Bioetanol. Produk BBM tersebut berbahan Pertamax dicampur dengan etanol yang berasal dari produk samping tebu.

Untuk mempercepat pemenuhan bioethanol berbasis tebu, Presiden RI Joko Widodo telah meluncurkan program bioetanol tebu November 2022 lalu, saat kunjungan kerja di pabrik bioetanol PT Energi Agro Nusantara (Enero), Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Jokowi mengharapkan program bioetanol agar terus dilaksanakan, mulai dari bioetanol 5% (E5) pada BBM kemudian meningkat E10, E20 dan seterusnya.

Menurut Jokowi Program Bioetanol Tebu dapat menjadi solusi peningkatan jumlah produksi bioetanol nasional dari 40 ribu kiloliter di tahun 2022 menjadi 1,2 juta kiloliter di tahun 2030 dan menjadi potensi campuran BBM jenis minyak bensin. Hal ini didasarkan pada studi yang dilakukan di Brazil, energi yang dihasilkan dari satu ton tebu setara dengan 1,2 barel crude oil.

Mencermati hal ini, pengamat kebijakan publik Emilda Tanjung, M.Si. menyatakan, kebijakan tersebut tidak layak karena menimbulkan problem besar.

Karena kebijakan bioenergi, termasuk bioetanol, tidak layak untuk dijadikan sumber energi utama Sebab banyak paradoks dan kompleksitas persoalan, selain dijalankan dengan konsep kapitalisme neoliberal.

Begitu pula dengan kebijakan bioetanol, seperti persoalan bahan baku. Jika pemerintah menggunakan produk samping tebu sebagai sumber bioetanol saat ini, justru ini sangat ironis karena hingga hari ini Indonesia masih menjadi negara importir gula terbesar di dunia untuk konsumsi dalam negeri dan kebutuhan industri.

Padahal produksi tebu di dalam negeri masih sangat rendah sehingga akhirnya lebih dari 90% kebutuhan gula didapatkan dari impor.

Ketika program bioetanol digencarkan oleh pemerintah, di sisi lain pemenuhan pangan, khususnya gula masih kurang. Karena hingga awal 2023 Indonesia baru bisa memproduksi bioetanol 40 ribu kiloliter dengan angka yang diestimasikan 696 ribu.

Kemudian dari sisi teknologi yang dibutuhkan, tentu berdampak pada anggaran berjumlah besar yang harus disediakan, mulai dari produksinya hingga stasiun pendistribusian bioetanol, dan kebutuhan dana lainnya.

Terlebih harga jual bioetanol ini masih sangat tinggi sebagaimana energi baru terbarukan lainnya.

Pengelolaan dan pengadaan energi ini masih menggunakan prinsip kapitalisme neoliberal, yaitu oleh swasta, juga korporasi plat merah atau BUMN.

Pengelolaan konsep korporatisasi ini hanya berorientasi kepada mencari keuntungan atau asas manfaat, sedangkan layanan kepada masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan energi menjadi persoalan yang tidak diperhatikan oleh korporasi tersebut.

Agenda transisi energi ini sendiri tidak terlepas dari hegemoni kapitalisme sebab jika diperhatikan, solusi energi bersih melalui program energi baru terbarukan bagi Indonesia sebenarnya jauh panggang dari api.

Karena penyebab peningkatan jumlah produksi gas rumah kaca atau CO2 di negeri kita ini bukan berasal dari penggunaan energi fosil, melainkan dari perubahan tata guna lahan, yaitu dengan terjadinya deforestasi yang sangat besar karena didorong oleh pembukaan lahan hutan untuk kebutuhan perkebunan kelapa sawit ataupun tanaman perkebunan lainnya. Untuk pemenuhan kebutuhan tersebut, mereka melakukan pembakaran hutan atau membuka kawasan kehutanan sekitar 60% dari hutan bakau dan 40% dari lahan.

Sejatinya, untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri, pemerintah tidak bergantung kepada konsep-konsep yang dilancarkan para kapitalis global.

Seharusnya kembali kepada cara Islam untuk mengatasi persoalan energi dalam negeri. Mulai dari memanfaatkan sepenuhnya sumber daya energi yang telah diciptakan Allah, termasuk migas. Ketika migas dinilai menimbulkan emisi CO2 yang tinggi, maka negara berkewajiban menggunakan teknologi yang paling baik sehingga kemudian tidak dihasilkan emisi CO2 yang tinggi.

Sekalipun Islam juga membolehkan pengembangan energi alternatif, seperti bioenergi, tetapi tentu tidak boleh menimbulkan dharar (mudarat) yang lebih besar bagi rakyat, seperti kesulitan pangan yang menyebabkan importasi atau bahkan menimbulkan kerusakan lingkungan.

Selanjutnya, sumber daya energi tadi dikelola dengan sistem ekonomi Islam. Aturan Islam memandang energi adalah harta milik umum sehingga pengelolaannya harus dilakukan oleh negara dan hasilnya dikembalikan sepenuhnya kepada rakyat.

Jadi, prinsip Islam dalam pengelolaan energi ini adalah semata-mata bentuk pelayanan kepada rakyat, bukan dalam rangka berbisnis.

Untuk bisa menyelenggarakan itu semua, tentu harus diawali dengan berjalannya peran politik negara yang sahih sesuai dengan pandangan Islam, yaitu negara sepenuhnya berperan sebagai pelayan, pengurus, juga pelindung bagi rakyat. Negara sama sekali tidak boleh hanya menjadi regulator ataupun berbisnis kepada rakyatnya. Negara juga harus memiliki kemandirian sikap dan tidak boleh “membebek” kepada agenda-agenda global kapitalisme.

Negara harus bisa berdiri sendiri dengan menerapkan konsep Islam secara Kaffah yang insya Alloh akan membawa keberkahan bagi seluruh umat.

Wallahu alam bissowab.

Posting Komentar

0 Komentar