Oleh: Nasrudin Joha
Jurnalis Lepas
Dalam Politik Demokrasi kita mengenal istilah “Tidak ada teman abadi, hanya kepentingan yang abadi.” “Tidak ada lawan abadi, yang ada hanya kepentingan yang tidak sejalan.” Persahabatan atau perlawanan, hanya berdasarkan kepentingan yang diperjuangkan.
Jadi tidak perlu “mati-matian” untuk mempertahankan Capres maupun Partai. Sebab, sejatinya mereka tidak pernah memikirkan kepentingan rakyat. Mereka hanya meminjam kata “rakyat” untuk kepentingan individu, kelompok dan golongan.
Setidaknya, hal itu juga berlaku bagi PDIP maupun Demokrat. Meski Megawati sering dijuluki sebagai “Musuh Abadi” SBY, bukan berarti keduanya tidak bisa berdamai demi kepentingan politik masing-masing.
Sebanyak apapun Anda berkata “SBY adalah seorang yang tidak konsisten”, secara politik normal saja untuk mengubah arah politik demi keuntungan politik. Selalu ada dalih untuk memuluskan target politik dan mengatas namakan “untuk kepentingan rakyat.”
Dilansir dari berbagai media, Sekjen Partai Demokrat Teuku Riefky dan Sekjen PDIP telah melakukan pertemuan pada Minggu, 11 Juni 2023. Adanya pertemuan tersebut juga telah diakui oleh Kepala Badan Komunikasi Strategis Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra.
Pertemuan itu adalah tindak lanjut dari tawaran kerjasama antara Ketua DPP PDIP Puan Maharani dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Meski, tanggal pastinya belum bisa dikonfirmasi.
Analisis politik yang dapat ditarik untuk menilai latar belakang dan tujuan pertemuan tersebut, yaitu:
Pertama, meski Danny Indrayana tidak mengatasnamakan Partai Demokrat, upayanya membongkar rencana kudeta Partai Demokrat serta menggunakan kekuatan penyidik Partai Demokrat untuk membangun opini publik atas pemakzulan Jokowi tidak terlepas dari kepentingan politik dari partai Demokrat.
Alasannya sederhana, pergerakan yang dilakukan Danny Indrayana menguntungkan Demokrat. Banyak kader Demokrat, terutama Beny K Harman, yang selalu memberikan tanggapan politik yang sejalan dengan wacana yang dilontarkan Deny Indrayana.
Bahkan, saat Deny Indrayana dipanggil ke polisi, Beny K Harman juga maju terdepan dalam membelanya.
Kedua, persoalan yang dihadapi Partai Demokrat memang sangat kritis. Yakni ancaman kehilangan partai, kehilangan instrumen kekuasaan, kehilangan sarana untuk merebut kembali kekuasaan, seperti dahulu mengantarkan SBY berkuasa selama dua priode.
Secara pribadi, SBY memandang kudeta Moeldoko sama saja dengan memutus keturunan Cikeas dari kancah politik Indonesia. Hal tersebut memperjelas bahwa kasus kudeta Partai Demokrat adalah soal “hidup dan mati” untuk SBY.
Ketiga, posisi Partai Demokrat di Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) dengan PKS dan NasDem masih belum aman. Sebab hingga saat ini, NasDem belum bersedia memasangkan Anies Baswedan dengan Wapres AHY. Padahal PKS jauh lebih fleksibel ketimbang NasDem soal cawapres.
NasDem tetap keberatan jika AHY mendampingi Anies dan berdalih “menyerahkan urusan wakil presiden kepada Anies”. Konfrontasi antara Andy Arif dan Ahmad Ali yang mereka lakukan secara terbuka menjadi penegasannya.
Keempat, Demokrat merasa tidak aman dan tidak nyaman di KPP berdampingan dengan NasDem. Selain dari posisi AHY yang tidak jelas, di sisi lain Partai Demokrat masih terancam dikudeta oleh KSP Moeldoko.
Kelima, jika ada usulan untuk mengamankan posisi Partai Demokrat dari kudeta KSP Moeldoko sekaligus memberikan kejelasan posisi AHY sebagai Calon Wakil Presiden, Partai Demokrat tentu akan sangat bersedia menerima usulan PDIP, apalagi jika maharnya adalah perlindungan dari kudeta Demokrat dan Honorable mention untuk AHY.
Keenam, PDIP bisa memberikan jaminan untuk mengamankan Demokrat melalui menterinya, Yasonna Laoly. Sebab kunci sukses dari kudeta partai yang dilakukan KSP Moeldoko ada di Menkumham.
Ketujuh, jika disandingkan dengan pendulum politik Partai Demokrat, PDIP agak repot jika harus menghadapi gerakan oposisi dari rakyat melalui gerakan Ormas dan kaum intelektual. Meski PDIP tidak sepenuhnya setuju dengan pandangan Jokowi dan ada konflik internal dengan Jokowi, isu pemakzulan Jokowi jelas berdampak pada merosotnya wibawa politik PDIP.
Kedelapan, PDIP menggunakan konstelasi politik untuk menekan gerakan perlawanan oposisi dengan memberikan jalan bagi Partai Demokrat untuk berkoalisi. Itu bisa terjadi, dan bisa membuat Demokrat keluar dari KPP, sehingga tidak lagi membersamai opini rakyat, bahkan bisa menjadi musuh rakyat.
Kesembilan, jaminan eksistensi partai akan menjadi harga mati dalam proses negosiasi politik Partai Demokrat saat bertemu dengan PDIP. Pada saat yang sama, posisi wakil presiden untuk AHY hanyalah keuntungan tambahan yang juga tersedia.
Kesepuluh, jika ini terjadi, maka masa depan Anies Baswedan akan semakin suram. Pencalonan Annis akan dipastikan gagal karena NasDem dan PKS tidak memiliki kursi yang cukup untuk lolos PT sesuai aturan pada pasal 222 UU Pemilu.
Sejauh ini, NasDem hanya mengunci 3 partai (NasDem, PKS, Demokrat) untuk mendukung Anies Baswedan. Padahal, pembentukan koalisi seperti ini sangat beresiko, karena jika salah satu partai keluar dari koalisi, maka seluruh koalisi akan berantakan.
Lalu bagaimana prospek rencana pencalonan presiden Anies Baswedan? Kita akan lihat nanti.
0 Komentar