Oleh: Lia Herasusanti
Jurnalis Lepas
Dulu, pernah membicarakan masalah poligami dengan suami. Waktu itu bersamaan dengan berita heboh poligaminya seorang ustadz kondang. Alhamdulillah tuntas, sehingga saat ada berita viral lagi tentang poligami, rasanya tak ada lagi yang perlu dibahas. Toh semuanya sudah jelas.
Jadi ingat saat membicarakan poligami dulu. Tangan dan kaki terasa dingin. Ucapan pun bergetar. Mulut mengatakan silahkan saja, tapi hati dag dig dug tak karuan.
Namun itu hanya dirasakan saat awal perbincangan. Semakin lama berbincang, hati semakin tenang. Ada beberapa poin yang menjadi hasil pembicaraan kami diantaranya,
- Bahwa jika ada proses menuju pernikahan kedua dan seterusnya, akan sama seperti pernikahan pertama. Ada proses ta'aruf, khitbah, hingga nikah. Artinya bukan pernikahan yang terjadi karena dimulai dengan aktifitas yang melanggar hukum Allah ï·», seperti perselingkuhan dan yang sejenisnya. Sehingga sangat memungkinkan istri pertama ikut terlibat dalam prosesnya.
- Pernikahan kedua dan seterusnya, dilakukan ketika suami sudah mengetahui kondisi dirinya mampu baik secara mental maupun materil untuk melaksanakannya. Karena tujuan membangun rumah tangga kedua adalah menambah amal salih untuk seluruh keluarga, bukan malah menambah dosa. Demikian juga istri pertama dan anak-anak, pun harus sudah dalam kondisi siap.
- Jodoh adalah sesuatu yang sudah menjadi ketentuan Allah ï·». Allah ï·» juga yang menentukan seseorang beristri satu, dua, tiga atau empat. Maka jika itu sudah menjadi ketentuan Allah ï·», maka manusia tak memiliki kuasa untuk menolaknya.
Apa yang dijelaskan suami, cukup memberi ketenangan. Walaupun kita tak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, namun sebagai sesama muslim yang terikat pada aturan Allah ï·», tak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Toh apa yang dilakukannya, kelak akan dipertanggungjawabkannya di hadapan Allah ï·».
Jika saat ini banyak kasus poligami yang tak sesuai syariat, semua ini tak lepas dari kondisi sistem sekuler yang meliputi. Mulai dari proses awal yang kadang diawali dengan maksiat, hingga saat menjalani poligami tercipta keadaan yang jauh dari adil dan jauh dari rumah tangga sakinah mawaddah wa rahmah.
Walau pun demikian, hukum poligami tak berubah. Yang mubah tetap mubah. Tinggal para pelaku dan yang terlibat didalamnya, berusaha menjalankan aktifitas mubah itu agar menjadi lahan pahala, bukan malah menjadi lahan dosa. Wallahu'alam.
Dalam surat Al Maidah ayat 87 Allah ï·» menerangkan,
ÙŠَا Ø£َÙŠُّÙ‡َا الَّØ°ِينَ آمَÙ†ُوا Ù„َا تُØَرِّÙ…ُوا Ø·َÙŠِّبَاتِ Ù…َا Ø£َØَÙ„َّ اللَّÙ‡ُ Ù„َÙƒُÙ…ْ ÙˆَÙ„َا تَعْتَدُوا ۚ Ø¥ِÙ†َّ اللَّÙ‡َ Ù„َا ÙŠُØِبُّ الْÙ…ُعْتَدِينَ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas."
0 Komentar