MENILIK KESIAPAN INDONESIA LAYAK ANAK TAHUN 2030


Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) berupaya mewujudkan Indonesia Layak Anak pada tahun 2030 mendatang. Beberapa strategi sudah dilakukan. Diantaranya bekerja sama dengan Kementerian desa dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) untuk menyediakan infrastruktur ramah anak.

Bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dengan membuat pusat informasi sahabat anak. Mendirikan 45 ribu lebih satuan pendidikan ramah anak. Seperti sekolah ramah anak atau madrasah ramah anak. Secara bertahap, KemenPPPA juga sedang menginisiasikan lingkungan ramah anak di luar satuan pendidikan, seperti di keluarga, lingkungan sekitar rumah, serta lingkungan tempat ibadah. “Kita juga bekerjasama dengan lembaga keagamaan dan dewan masjid untuk mengembangkan masjid ramah anak, gereja ramah anak, dan pura ramah anak. Kita akan melanjutkan untuk agama-agama yang lain,” terang Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kemen PPPA, Lenny N. Rosalin.

KemenPPPA pun telah berupaya mewujudkan instansi kesehatan yang ramah anak. Di tahun 2020, tercatat sudah ada 2.000 puskesmas ramah anak. Di tahun 2021 bekerja sama dengan Kemenkes untuk menginisiasi rumah sakit ramah anak (merdeka.com, 12/2/2021). Menurut Lenny total sudah ada 435 kabupaten/kota yang ikut menginisiasi Indonesia Layak Anak.

Bahkan pada tahun 2019, 247 kabupaten/kota telah memperoleh award atau penghargaan kabupaten/kota layak anak. Beberapa MOU telah ditandatangani antara kemenPPPA dengan Menteri Desa, dalam rangka memperkuat desa ramah perempuan dan peduli anak.


Indonesia Layak Anak Hanya Proyek Kapitalisme

Indonesia layak anak adalah sebuah program yang patut diapresiasi, setidaknya terlihat upaya pemerintah untuk “meramaikan” banyak pelayanan kepada anak dan perempun. Sebab, tak bisa dipungkiri, keadaan anak dan perempuan semakin tahun semakin tak kondusif. Salah satunya semakin banyaknya kasus anak terlantar, sebagaimana yang terjadi di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan beberapa bulan lalu.

KemenPPPA prihatin atas terjadinya kasus penelantaran bayi di Banjarmasin, terlebih diduga akibat hubungan di luar pernikahan. Sepanjang Januari-April 2023 telah terjadi dua kasus bayi yang dibuang oleh orang tuanya di Kota Banjarmasin. Salah satunya adalah seorang balita yang sudah dikembalikan kepada orang tuanya yang belum berstatus menikah.

KemenPPPA berkomitmen terus memantau kasus ini agar hak korban sebagai anak tetap terpenuhi ke depannya. “Kasus ini memberikan gambaran nyata masih adanya pengasuhan tidak layak anak di Indonesia,” kata Plt. Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA, Rini Handayani (republika.co.id, 8/4/2023).

Terutama untuk pencapaian target 2030 Indonesia Layak anak maka Rini merasa perlu adanya penyelenggaraan program kesehatan reproduksi maupun program pencegahan perkawinan anak melalui satuan pendidikan, kelurahan, RT/RW. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) ada 4,59% bayi di Indonesia yang telantar pada 2022. Dengan Kalimantan Utara sebagai provinsi dengan proporsi balita telantar tertinggi di Indonesia, yakni 12,16% pada 2022, kemudian disusul Kalimantan Tengah dengan 11,36% (dataindonesia.id, 4/11/2022).

Sungguh, target Indonesia layak anak 2030 dengan masih menyeret segudang persoalan hanyalah slogan kosong, berakhir dengan kesia-siaan. Solusi yang ditawarkan samasekali tidak menyentuh persoalan mendasar. Definisi balita telantar menurut Permensos No. 8 Tahun 2012 adalah seorang anak berusia lima tahun ke bawah yang ditelantarkan orang tua dan/atau keluarga tidak mampu. Mereka tidak mendapatkan pengasuhan, perawatan, pembinaan dan perlindungan, sehingga hak-hak dasarnya tidak terpenuhi serta dieksploitasi untuk tujuan tertentu.

Bukankah semestinya diperbaiki sebab dasar mengapa terdapat keluarga tidak mampu sehingga harus terjadi penelantaran anak? Diikutkannya berbagai daerah untuk menginisiasi kita ramah anak sekaligus dengan pelayanannya cenderung malah bergeser ke tujuan kompetitif saja, terutama karena iming-iming penghargaan yang bakal menjadi nilai plus wilayah tersebut dimana selanjutnya mampu mendongkrak nilai jual pariwisata kota tersebut di mata para wisatawan. Nilai keuntungan materi lagi yang menjadi acuan, nasib rakyat yang terbengkalai justru menjadi komoditas.


Islam Solusi Terbaik Bagi Masa Depan Anak dan Perempuan

Kita prihatin atas bayi hasil perzinaan namun jangan malah abai pada akar persoalannya. Selama ini semua daerah hanya fokus pada peraihan status kota ramah anak semata dan hadiahnya. Padahal jika lebih dalam menggali, bisa jadi tidak hanya ada kasus penelantaran bayi namun juga masih banyak pola pengasuhan anak yang tidak layak, terlebih diduga akibat hubungan di luar pernikahan.

Penelantaran anak dimungkinkan juga banyak terjadi mengingat banyak kasus dispensasi menikah yang disebabkan karena hamil di luar nikah. Hal tersebut menunjukan bahwa penanganan Indonesia Layak Anak hanya berfokus terhadap masalah cabang saja dan bukan pada akar masalah, yaitu pergauan bebas remaja, yang memicu kehamilan tak diinginkan.

Inilah bukti betapa merugikannya cara pandang terhadap kehidupan yang berlandaskan sekulerisme. Melindas habis ketakwaan individu dan masyarakat. Mereka lebih malu kepada tudingan manusia daripada azab Allah ﷻ. Pun negara, lebih memilih solusi yang mendatangkan manfaat materi saja dengan terus menyenangkan para korporasi dengan memanfaatkan semua potensi negeri ini. Urusan kesejahteraan tak perlu dikompetisikan dalam frasa 'ramah' sebab hal itu murni ada pada jaminan negara.

Padahal semestinya negaralah pihak yang paling kompeten memberi sanksi dan hukum atas kebebasan berperilaku di negeri ini dan bukan membiarkan. Semua yang ramah anak mulai dari infrastruktur, puskesmas, rumah sakit, sekolah hingga tempat ibadah (masjid) dibuat untuk apa? Keramahan yang mubazir ketika pengaturan sistem ekonominya masih kapitalisme. Tidak bersandar pada halal-haram. Pendidikannya pun tidak berbasis akidah Islam.

Pengaturan Islam atas tata pergaulan dan menjadikan akidah Islam sebagai asas kehidupan mampu mencegah terjadinya seks bebas dan penelantaran anak. Syariat sejatinya berlaku bagi setiap orang, agar tak ada yang terlewat, maka negara harus hadir mewakili umat. Hal pertama yang harus dipastikan, negara menjamin kebutuhan pokok rakyat terpenuhi, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Artian menjamin adalah tidak diserahkan kepada asing atau swasta dan rakyat mudah mengakses serta murah.

Ketika beban kebutuhan pokok telah beralih kepada negara, maka setiap kepala keluarga atau lelaki baligh yang mampu bekerja tidak kesulitan menafkahi keluarganya. Kewajiban pengasuhan menjadi mudah, terlebih dengan terus-menerus disuasanakan oleh negara ketakwaan individual dan komunal melalui pendidikan formal dan informal maka pemenuhan kewajiban menjadi ibadah yang ringan.

Bagi setiap tindakan kriminal, maka negara menetapkan sanksi hukum yang tegas, hal ini sebagai bentuk penebusan dosa dan efek jera, terutama yang berkaitan dengan muamalah dan Ijtima (pergaulan sosial). Tak ada ruang sedikitpun bagi kapitalisme, liberalisme, hedonisme dan faham-faham lainnya untuk berkembang. Sebab selain Islam, hanya mendatangkan kepedihan dan kesengsaraan. Sebagaimana firman Allah ﷻ :

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS. Al-Maidah: 50).

Wallahu a’lam bish showab.

Posting Komentar

0 Komentar