Oleh: Nasrudin Joha
Jurnalis Lepas
Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dr Abdullah Hehamahua, M.M. mengungkapkan, "kekuasaan itu cenderung korup".
"Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely. Jadi, kekuasaan itu cenderung kepada korupsi. Kekuasaan yang absolut pasti korupsinya tambah merajalela," ucapnya dalam Persprektif PKAD: 'Korupsi Era Jokowi Sistemik atau kasuistik?' di kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data, Kamis, 25 Mei 2023.
Quote ini berasal dari pepatah seorang profesor barat bernama Lord Acton. Abdullah mengaitkan pepatah itu dengan situasi politik saat Orde Baru. Menurutnya, kekuasaan eksekutif secara efektif berada di tangan presiden saat itu.
"Ketika Orde Baru disebut dengan executive heavy, jadi kekuasaan eksekutif," tegasnya.
Kondisi tersebut menjadikan lembaga legislatif seperti DPR tidak memiliki kuasa. Bahkan, saat Orde Baru, DPR lebih sering disebut sebagai tukang stempel. "Jadi, 4D: datang, duduk, dengar, dapat duit. Kenapa? Karena, kalau mereka macam-macam akan di-recall (diperingatkan) oleh partai melalui instruksi presiden," terang Abdullah.
Akibatnya, menurut dia, mayoritas kasus korupsi yang terjadi hanya berakhir pada ranah administrasi dan tidak ditangani di pengadilan. Contoh kasusnya adalah korupsi dan nepotisme (KKN) antara Soeharto dengan keluarganya atau antara Soeharto dengan kawan-kawan Tionghoanya sampai saat ini tidak dibawa ke pengadilan.
"Karena, baik peradilan mulai dari tingkat satu sampai atas, mahkamah agung, kemudian kepolisian, kejaksaan, berada di bawah kendali presiden, eksekutif," tuturnya.
Lalu ketika reformasi, yang justru terjadi adalah legislative heavy (kekuasaan legislatif). Kenapa begitu? Abdullah menjelaskan, waktu itu, tidak ada satu pimpinan lembaga negara di Indonesia yang tidak melalui proses DPR. Baik kapolri, jaksa agung, panglima TNI, pimpinan KPK, pimpinan MK, pimpinan komisi yudisial, mahkamah agung, hakim agung sampai ombudsman, semuanya ditentukan oleh DPR.
"Sehingga, kekuasaan DPR begitu luar biasa," tambah Abdullah.
Dalam proses menjadi anggota legislatif, baik DPR, DPRD kabupaten maupun kota membutuhkan biaya yang besar. Mereka akan membuat regulasi yang akan mempertahankan hegemoni mereka. Contohnya seperti aturan parliamentary threshold (ambang batas perolehan suara minimal partai politik) dan presidential threshold.
"Itu yang dinamakan political corruption atau korupsi politik. Jadi, seakan-akan itu dianggap baik tapi sesungguhnya untuk mencapai tujuan kelompok tertentu," pungkas Abdullah.
0 Komentar