KENAIKAN HARGA TELUR, MENGAPA BISA TERJADI?


Oleh: Nurhayati
Muslimah Peduli Umat

Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (DPP IKAPPI) menyayangkan harga telur di pasaran terus melonjak. IKAPPI menyebut harga telur di wilayah Jabodetabek berada di kisaran Rp 31.000 hingga Rp 34.000 per kg, sedangkan di luar Pulau Jawa atau wilayah Timur Indonesia tembus Rp 38.000 per kg, bahkan lebih dari Rp 40.000 per kg. Dia mengatakan, harga telur mengalami kenaikan sejak beberapa minggu terakhir, di mana IKAPPI sendiri menemukan ada dua hal yang menjadi fokus perhatian pihaknya. Pertama adalah karena faktor produksi, yang disebabkan dari harga pakan yang tinggi. Kedua adalah akibat proses distribusi yang tidak sesuai dengan kebiasaan, yang biasanya di distribusikan ke pasar.

DPP IKAPPI mencatat terdapat beberapa permintaan yang cukup tinggi di sejumlah instansi, lembaga, elemen atau individu. Permintaan tersebut mengganggu arus pasok di pasar. Namun, mereka tak merinci lembaga atau instansi mana yang kerap meminta pengiriman telur di luar pasar.

Sementara itu, kita juga mendapati fenomena bahwa proses distribusi telur kali ini tidak dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Biasanya, telur ayam didistribusikan ke pasar. Namun, kali ini banyak pihak yang justru melakukan pendistribusian di luar pasar atau memenuhi permintaan di luar pasar.

DPP IKAPPI mencatat terdapat beberapa permintaan yang cukup tinggi di sejumlah instansi, lembaga, elemen, atau individu. Hanya saja, mereka tidak merinci lembaga atau instansi mana yang kerap meminta pengiriman telur di luar pasar. Namun yang pasti, permintaan tersebut jelas mengganggu arus pasok di pasar sehingga menyebabkan harga telur terus merangkak naik.

Kondisi ini sejatinya menunjukkan bahwa meroketnya harga telur adalah bagian dari arus besar liberalisasi pangan. Telur yang semestinya bisa disalurkan di pasar untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga rakyat, nyatanya stoknya tidak tersedia untuk mereka.

Namun, yang akhirnya turut menjadi masalah baru adalah lambatnya antisipasi penguasa perihal pengendalian harga telur tersebut. Padahal, pascalebaran biasanya banyak acara-acara seperti halal bi halal tidak terkecuali di berbagai instansi pemerintah yang biasanya diwarnai sesi makan bersama. Dalam hal ini, telur adalah makanan yang sering ada dalam menu yang disajikan. Tidak heran, permintaan telur pasti meningkat.

Ironisnya, meroketnya harga telur ini terjadi di tengah gencarnya penguasa menanggulangi angka stunting di masyarakat. Sebagaimana kita ketahui, telur adalah sumber protein hewani yang memiliki harga murah dan termudah dijangkau masyarakat. Protein hewani sendiri adalah salah satu zat gizi pembatas yang menjadi parameter dalam penentuan status stunting pada anak. Jika kebutuhan protein hewani tercukupi, maka stunting bisa dihindari. Masalahnya, jika harga telur menggila bahkan langka di pasaran, penanggulangan stunting tentu jadi lebih tampak seperti program setengah hati.

Demikian halnya dengan permasalahan kemiskinan. Menurut data BPS, tingkat kemiskinan masyarakat Indonesia per September 2022 tercatat sebesar 9,57% atau sebanyak 26,36 juta orang berada di bawah garis kemiskinan. Jika dirupiahkan, garis kemiskinan pada September 2022 tercatat sebesar Rp535.547,00/kapita/bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp397.125,00 (74,15%) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp138.422,00 (25,85%). Di samping itu, secara rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,34 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, besarnya Garis Kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp2.324.274,00/rumah tangga miskin/bulan.

Semua kondisi ini, baik stunting, kelaparan, maupun kemiskinan, tentu saja tidak bisa diabaikan, apalagi sampai terjadi kisruh lonjakan harga telur. Pada akhirnya lagi-lagi dompet rakyat yang harus tekor.

Oleh karenanya, sangat urgen bagi kita untuk mengganti paradigma pengelolaan pangan ini, dari kapitalisme menjadi Islam. Ini karena Islam sesuai fitrah manusia sehingga segala sesuatu yang berasal dari Islam pasti mampu menjadi solusi tuntas bagi problematik kehidupan manusia. Selain itu, hanya sistem Islam (Khilafah) yang mampu melaksanakan sabda Rasulullah ï·º, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Berdasarkan hadis ini, Khilafah akan memberikan hal-hal yang memang menjadi hak warganya, apalagi jika itu termasuk kebutuhan primer seperti pangan. Khilafah juga menjamin berbagai hal lain yang menyangkut hajat hidup rakyat, yakni berupa jaminan hak hidup (nyawa), harta (ekonomi), keamanan, maupun berbagai hak publik seperti kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan.

Jika persoalan harga telur disebabkan oleh bahan baku pakan ternak yang masih impor serta permasalahan distribusi di tengah masyarakat, maka Khilafah berperan penuh untuk mengendalikan harga telur sekaligus menjamin distribusi berdasarkan skala prioritas kebutuhan kalangan masyarakat. Khilafah memiliki data akurat mengenai kemiskinan serta kebutuhan pangan dan gizi setiap keluarga, sehingga penanggulangan stunting dan kelaparan bisa tepat sasaran.

Khilafah akan serius mengelola pertanian jagung karena jagung adalah bahan baku pakan ternak ayam. Khilafah juga memberikan fasilitas gratis, lengkap, dan modern bagi para peternak ayam petelur. Khilafah akan mengawasi perdagangan pakan dan obat-obatan ternak agar peternak tidak harus membayar mahal, bahkan bisa gratis dalam rangka memenuhi gizi dan menyehatkan ternaknya. Khilafah juga akan menutup celah monopoli oleh korporasi sehingga tidak memberi peluang terjadinya kelangkaan telur di pasaran.

Demikianlah pentingnya peran Khilafah sehingga persoalan harga telur tidak harus membuat tekor isi dompet rakyat. Khilafah menyadari pentingnya pemenuhan pangan sebagai kebutuhan primer individu rakyat. Ini karena Khilafah juga paham benar bahwa individu yang sehat dan kuat memiliki bekal terbaik untuk beribadah kepada Allah Taala.

Wallohu a'lam bisshowab.

Posting Komentar

0 Komentar