ISLAM TERUS DINISTA, DIMANA PERAN NEGARA?


Oleh: Ai Siti
Muslimah peduli umat

Penistaan terhadap agama Islam terjadi lagi. Baru-baru ini viral video di media sosial tentang seorang bule yang meludahi imam Masjid Jami Al-Muhajir, Bandung, pada Jumat, 28 April 2023 lalu. Warga negara Australia berinisial BCAA (43) tersebut kini telah ditetapkan sebagai tersangka dan dikenai Pasal 335 dan 315 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan dan penghinaan dengan ancaman hukuman pidana 1 tahun 2 bulan kurungan penjara.

Saat itu, pelaku tengah menginap di salah satu hotel dekat Masjid Jami Al-Muhajir, Bandung. Ketika imam masjid, M. Basri Anwar, sedang memutar rekaman muratal Al-Qur’an, pelaku tiba-tiba datang dan meludahi wajah sang imam, mengeluarkan kata kasar, dan hendak memukulnya. Diduga bule tersebut terganggu oleh suara muratal yang diputar di masjid tersebut.

Kita tentu miris dengan kejadian ini. Islam merupakan agama mayoritas di negeri ini, tetapi penistaan terhadapnya sering sekali terjadi. Tidak hanya orang asing dan kafir yang melakukannya, orang yang muslim pun turut menistakan agamanya sendiri.

Masih hangat dalam pemberitaan, tentang penistaan agama oleh Lina Mukherjee. Demi konten, selebgram yang mengaku muslimah ini melakukan aksi makan babi (yang jelas-jelas diharamkan dalam Islam) dengan diawali mengucapkan basmalah.

Jika kita melihat ke belakang, telah banyak kejadian penistaan agama Islam terjadi. Pada 2022, kafe Holywings di Jakarta mengunggah promosi minuman beralkohol gratis untuk pengunjung yang mempunyai nama “Muhammad” dan “Maria”.

Pada 2021 juga terjadi kasus penistaan agama Islam oleh M Kace. Ia telah menghina Nabi Muhammad ï·º dengan menyebut Rasulullah sebagai pengikut jin. Kace juga mengubah ucapan-ucapan dalam Islam, misalnya mengubah salam yang seharusnya lafaz Allah diganti Yesus.

Yang paling fenomenal tentu saja penistaan agama oleh Ahok pada tahun 2016, yaitu terkait dengan pernyataannya yang menyinggung QS Al-Maidah: 51. Akibat perbuatannya itu, umat Islam melakukan aksi massa besar-besaran untuk menuntut pengusutan tuntas kasus tersebut.

Melihat rentetan kasus-kasus yang terus berulang, tampak bahwa tindakan pemerintah tidak berefek jera terhadap pelaku penistaan agama. Memang betul bahwa para pelaku akhirnya mendapatkan hukuman. Namun, hukuman yang diberikan tidak mewujudkan efek jera karena hukumannya ringan. Bahkan, ada yang mendapatkan pengurangan hukuman seperti Kace yang awalnya divonis hukuman 10 tahun penjara, lalu menjadi 6 tahun penjara ketika melakukan banding.

Sudah rahasia umum pula bahwa kasus penistaan agama baru diusut jika ada tekanan dari umat Islam. Ketika umat Islam resah dan bergerak melakukan aksi penolakan, baik dengan melaporkan ke Kepolisian, turun ke jalan, atau meramaikan media sosial, barulah kasus tersebut ditangani. Jika umat Islam diam, bisa diprediksi kasus tersebut akan dibiarkan meski benar-benar terjadi penistaan.

Selain itu, setelah bebas dari hukuman, pelaku penistaan tidak merasa jera dan bersalah atas perbuatannya, lantas bertobat. Mereka tetap pada sikapnya selama ini. Apalagi sikap pemerintah juga sangat lunak terhadap para penista agama.

Sikap pemerintah yang demikian lunak pada penista agama merupakan sebuah keniscayaan dalam sistem sekuler. Padahal, negara ini mayoritas penduduknya muslim, mayoritas pejabatnya juga muslim. Namun, akibat sekularisme, urusan membela agama dan melindunginya dari para penista tidak dianggap penting. Agama diposisikan sebagai urusan individu dan berada di ranah privat.

Ditambah lagi dengan paham kebebasan berpendapat yang sangat didewakan dalam kehidupan sekuler. Setiap orang boleh menyampaikan pendapat sesukanya. Kebebasan ini bahkan dijamin undang-undang. Akhirnya, para penista agama berlindung di balik jargon kebebasan berpendapat.

Prinsip kebebasan dalam sistem demokrasi telah memberi panggung bagi para pembenci Islam untuk berekspresi menghinakan Islam. Mereka terus merancang aksi-aksi untuk menghina Islam.

Walhasil, jika sistem hidup di negara ini masih sekuler, penistaan agama akan terjadi lagi pada masa mendatang. Umat Islam terus disakiti hatinya, agamanya terus dihina. Sementara itu, umat Islam disuruh menjadi umat yang ramah dan moderat. Tidak marah ketika Allah dan Rasulullah dihina, diam saja ketika agamanya dinista. Sungguh menyedihkan.

Kita tentu tidak menginginkan Islam terus dihina. Memang betul bahwa Islam itu mulia, Rasulullah itu mulia, dan Allah Maha Mulia sehingga tidak akan menjadi hina karena penistaan manusia. Namun, akidah kita menuntun untuk mencintai Allah, Rasulullah, dan din Islam. Keimanan kita menuntut kita untuk membela Allah, Rasul-Nya, dan Islam. Jadi, umat Islam wajib membela agamanya ketika ada yang menistakan.

Ketika terjadi penistaan terhadap Islam, umat Islam tidak boleh diam. Umat Islam harus bersuara dan bergerak untuk menghentikan penistaan tersebut. Umat Islam harus melakukan nahi mungkar. Hal ini merupakan bukti kecintaannya pada Islam, yakni pada Allah Taala dan Rasul-Nya.

Sabda Rasulullah ï·º, “Ada tiga perkara yang bila seseorang memilikinya, niscaya akan merasakan manisnya iman, yaitu kecintaannya pada Allah dan Rasul-Nya lebih dari cintanya kepada selain keduanya.” (HR Bukhari).

Jangan sampai, demi mendapatkan predikat “umat yang ramah dan moderat” lantas umat Islam diam saja ketika agamanya dihina. Sikap kita terhadap penistaan agama Islam akan kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah Taala pada Hari Perhitungan kelak.

Berbeda dengan sistem sekuler yang gagal membela Islam, sistem Khilafah Islamiah memiliki mekanisme untuk membela dan melindungi agama Islam. Khalifah akan bertindak tegas ketika ada pihak yang menistakan Islam sehingga para penista agama akan kapok karena mendapatkan sanksi yang tegas. Mereka akan jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya

Wallahualam.

Posting Komentar

0 Komentar