DISAAT HILIRISASI TERJEGAL KORPORASI


Oleh: Ela Nur laela
Muslimah Peduli Umat

PT Freeport Indonesia (PTFI) telah mengantongi izin perpanjangan relaksasi export konsentrat hingga 2024 yang seharusnya berakhir pada juni 2023 sesuai UU Minerba pada 2020. Dalam UU ini disebutkan bahwa export produk mineral yang belum dimurnikan berlaku maksimal 3 tahun sejak UU disahkan.

Sentak keputusan pemerintah ini menuai banyak protes dari berbagai kalangan. Hal tersebut karena kebijakan perpanjangan ekspor mineral mentah PTFI di anggap akan memporak porandakan program hilirisasi yang telah dicanangkan pemerintah. Selain itu, makin membuktikan bahwa hukum bisa diotak-atik sesuai kepentingan, bahkan pengelolaan SDA makin bercorak liberalisasi. Mentri ESDM Aripin Tasrif membeberkan tiga alasan mengapa pemerintah memberikan izin:

Pertama, ini adalah kondisi kahar alias force majeure pandemi covid 19 yang menjadikan pembangunan hilirisasi PTFI menjadi tersendat.

Kedua, mayoritas pemegang saham PTFI kini juga dimiliki Indonesia melalui MIND ID holding BUMN pertambangan, yakni 51% sehingga dampaknya akan lebih terasa pada pemerintah. Dipihak lain, PTFI juga menyebutkan terkait potensi kerugian bagi penerimaan negara yang mencapai Rp 57 triliun jika kegiatan export konsentrante tembaga PTFI dihentikan tahun ini.

Ketiga, adanya potensi PHK ribuan pekerja yang akan merembet pada dampak sosial. Ini karena PHK bisa meningkatkan jumlah keluarga miskin dan ini akan memicu tingkat kriminalitas.

Ketiga alasan tersebut dianggap klise alias sering digunakan dan jauh dari kenyataan. Jika pandemi covid 19 dijadikan alasan maka perusahaan lain pun kondisinya demikian. Belum lagi jika berbicara kebijakan hilirisasi yang masih dipertanyakan. Apakah efektif dalam pengelolaan SDA?

Pada faktanya, pembangunan smelter membutuhkan investor, terutama asing dalam pembangunananya. Bukankah pada akhirnya keuntungan besar mengalir pada investor? Selain itu, program hilirasasi di tengah posisi indonesia yang masih menjadi negara ketiga hanya akan memperkeruh kondisi perdagangan luar negeri.

Dari sini sudah terlihat bahwa program hilirisasi yang bertujuan menambah nilai, diduga kuat akan tersendat. Bahkan bukan mustahil hanya akan mengalirkan keuntungan pada investor asing saja, terlebih lagi program hilirisasi hanya berbicara keuntungan, lalu bagaimana dengan rakyat?

Dari kasus ini menunjukan bahwa pemegang kendali negeri ini adalah korporasi, sebagus apapun program yang tengah di bangun tanpa sepertujuan korporasi besar hal demikian tidak bisa berjalan dengan mulus.

Kondisi ini pun menunjukan pada kita bahwa pengelolaan SDA makin liberal. Alih-alih diurus negara, namun justru diserahkan kepada swasta, jika sudah swasta maka sudah pasti yang mendapatkan keuntungan besar adalah mereka.

Sistem kapitalis yang diemban negeri ini sejatinya hanya fokus pada keuntungan korporasi dan mengabaikan persoalan umat manusia. Oleh karenanya, wajar jika dalam sistem ini pengelolaan SDA diserahkan kepada swasta, walhasil kemiskin dan kesenjangan makin tinggi dan juga persoalan turunannya seperti kebodohan, kriminalisasi, kurang Gizi dan kelaparan semakin bertambah lantaran negara abai terhadap rakyatnya.

Bercokolnya perusahaan asing yang terus menambang di negeri ini tidak bisa dilepaskan dari penerapan sistem ekonomi kapitalis. Sistem ini membebaskan SDA dikelola siapa pun termasuk asing. Negara menjadikan penguasa dan pengusaha berkolaborasi untuk dapat mengeruk kekayaan alam negri ini.

Berbeda dengan cara pandang Islam terhadap barang tambang seperti emas dan tembaga yang merupakan kepemilikan umum sehingga tidak boleh dikuasai swasta.

"Kaun muslim beserikat dalam tiga hal yakni air, rumput dan api. Dan harganya haram" (H.R ibnu majah).

Pemerintah pun hanya berperan mengelola dan kemudian hasilnya harus dikembalikan lagi kepada rakyat sebagai pemilik sahnya, dengan pengaturan ini akan menghilangkan campur tangan korporasi, sebab hanya negara yang bisa mengelola bahan tambang. Keberadaan perusahaan milik negara pun adalah benar-benar milik negara tidak seperti BUMN hari ini yang sebagian pemiliknya adalah swasta.

Islam melarang swastanisasi barang tambang yang jumlahnya besar, hal tersebut berbanding terbalik dengan kebijakan relaksasi konsentrat bagi PTFI yang merupakan bukti bahwa negara kalah dengan korporasi. Untuk menghentikan semua jenis penjajahan itu hanya bisa dengan mengganti tata kelola ekonomi kapitalistik liberal dengan sistem Islam. Ini karena sistem ekonomi Islam yang diterapkan dalam khilafah akan menjamin pengelolaan SDA agar benar-benar untuk kesejahteraan rakyat.

Wallohu a'lam bisshowab.

Posting Komentar

0 Komentar