Oleh: Annisa Putri Firdaus
Muslimah Peduli Umat
Terungkapnya gaya hidup mewah yang mencolok dari para pejabat pajak dan bea cukai beserta keluarga mereka, telah memicu tanda tanya besar dari semua lini masyarakat. Bahkan hal tersebut merusak reputasi Dirjen Pajak (DJP) Kementrian Keuangan sebagai lembaga tinggi negara karena memunculkan skandal berupa kejanggalan Rp 349 triliun yang melibatkan 460 pegawai yang mengindikasikan adanya mafia di dalam lembaga negara itu.
Kasus di atas membuat RUU Perampasan Aset kembali menjadi isu panas ketika Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Mahmodin (MD) meminta permohonan khusus kepada Komisi III DPR saat membahas transaksi janggal di Kementerian Keuangan senilai Rp 349 triliun.
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengaku menyetujui pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Menurutnya, kehadiran RUU ini diperlukan agar proses pengembalian kerugian negara bisa dilakukan lebih cepat dan lebih baik.
Lain Arsul, lain pula Bambang Pacul. Menanggapi permintaan Mahfud MD, Bambang Pacul selaku Ketua Komisi III DPR mengatakan pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana tergantung pada “bos” partai. Menurutnya, semua anggota DPR patuh dan nurut pada ketum partainya sehingga tidak bisa mengambil keputusan sendiri perihal pengesahan RUU tersebut.
Meski begitu, pertanyaan pentingnya adalah jika RUU Perampasan Aset Tindak Pidana disahkan menjadi UU, akankah efektif memberantas korupsi dengan tuntas?
Nyatanya hal tersebut tetap tidak mungkin dilakukan sebab ada banyak celah bagi tikus berdasi meringankan hukumannya mengingat sistem hukum saat ini tidak tegas dan pengawasan negara terhadap pejabat juga sangat lemah.
Belum lagi budaya korupsi makin menggila di lembaga pemerintahan. Sebagai contoh, KPK telah mencekal 10 tersangka kasus dugaan korupsi tunjangan kinerja pegawai di Kementerian ESDM agar tidak keluar Negeri pada tahun anggaran 2020 – 2022. Terbaru, Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah, Ben Brahim S. Bahat dan anggota DPR RI Fraksi Nasdem Ary Egahni ditetapkan sebagai tersangka terkait dugaan korupsi berupa pemotongan anggaran seolah-olah sebagai utang kepada penyelenggara disertai dengan penerimaan suap di lingkungan pemerintah daerah Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Pasangan suami istri tersebut diduga menerima uang sebesar Rp 8,7 miliar.
Jelas bukan? Korupsi sudah membudaya dan mengakar kuat menjadi kebiasaan pejabat dan politisi yang duduk di lembaga pemerintahan sehingga akan sulit untuk diberantas hanya dengan pengesahan UU Perampasan Aset.
Berbeda dengan Islam sebagai sistem hidup yang memiliki aturan super lengkap dalam menata kehidupan bermasyarakat dan bernegara, Islam memiliki sejumlah tindakan preventif dan kuratif dalam mengatasi kasus korupsi. Dalam aspek preventif, Islam melakukan langkah berikut:
Pertama, penanaman akidah Islam setiap individu. Dengan akidah yang kuat akan terbentuk kepribadian Islam yang khas. Pembentukan akidah ini dilakukan secara berkesinambungan melalui sistem pendidikan Islam yang akan menghasilkan individu-individu beriman dan bertakwa. Kesadaran iman dan ketaatan inilah yang akan mencegah seseorang berbuat maksiat.
Kedua, penerapan sistem sosial masyarakat berdasarkan syariat secara kaffah. Dengan penerapan ini, pembiasaan amar makruf nahi mungkar akan terbentuk. Jika ada anggota masyarakat yang terindikasi berbuat kriminal atau korupsi, masyarakat dengan mudah bisa melaporkannya pada pihak berwenang. Tradisi saling menasihati dan berbuat amal saleh akan tercipta seiring ditegakkannya hukum Islam di tengah mereka.
Ketiga, mengaudit harta kekayaan pejabat secara berkala. Hal ini dilakukan sebagai bentuk pengontrolan dan pengawasan negara agar mereka tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk meraup pundi-pundi uang ke kantong pribadinya. Khalifah Umar bin Khaththab ra. selalu mengaudit jumlah kekayaan pejabatnya sebelum dan sesudah menjabat.
Jika terdapat peningkatan harta yang tidak wajar, mereka diminta membuktikan bahwa hasil kekayaan yang mereka dapat bukanlah hasil korupsi atau hal haram lainnya. Bahkan, khalifah Umar beberapa kali membuat kebijakan mencopot jabatan atau menyita harta bawahannya hanya karena hartanya bertambah. Apalagi, jika diketahui bahwa hartanya itu didapat bukan dari gaji yang diberikan oleh negara.
Keempat, sistem kerja dalam lembaga Khilafah yang tidak rentan korupsi. Dalam sistem Khilafah, ada lembaga yang bertugas memeriksa dan mengawasi kekayaan para pejabat, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan.
Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al Amwal fi Daulah Khilafah menyebutkan, untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak, maka ada pengawasan yang ketat dari Badan Pengawasan/Pemeriksa Keuangan. Hal itu pernah dilakukan Khalifah Umar bin Khaththab ra. Beliau mengangkat Muhammad bin Maslamah sebagai pengawas keuangan. Tugasnya adalah mengawasi kekayaan para pejabat negara.
Dalam aspek kuratif, penegakan sanksi hukum Islam adalah langkah terakhir jika masih terjadi pelanggaran seperti korupsi. Sistem sanksi yang tegas memiliki dua fungsi, yaitu sebagai jawabir (penebus dosa) dan zawajir (pencegah dan efek jera).
Sebagai jawabir (penebus) dikarenakan uqubat dapat menebus sanksi akhirat. Sanksi akhirat bagi seorang muslim akan gugur oleh sanksi yang dijatuhkan negara ketika di dunia.
Sementara zawajir, yaitu mencegah manusia berbuat jahat karena hukumannya mengandung efek jera. Para pelaku dan masyarakat yang punya niatan untuk korupsi akan berpikir seribu kali untuk mengulangi perbuatan yang sama. Untuk kasus korupsi, dikenai sanksi takzir, yakni khalifah yang berwenang menetapkannya. Sanksi takzir bisa berupa penjara, pengasingan, hingga hukuman mati.
Demikianlah tahapan Islam memberantas korupsi secara tuntas. Dengan penerapan hukum Islam, korupsi dapat dicegah dan ditindak secara efektif.
Wallahu'alam bii ashawab.
0 Komentar