Oleh: Titin Surtini
Muslimah Peduli Umat
Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) makin dikenal masyarakat setelah Ketua Komite Nasional Koordinator Pencegahan dan Pemberantasan TPPU (KNK-PP-TPPU) Mahfud MD membahas adanya dugaan TPPU yang melibatkan 491 ASN Kemenkeu dengan total transaksi mencapai sekitar Rp349 triliun. (BBC Indonesia, 29-3-2023).
Meski Menkeu Sri Mulyani membantahnya dengan menyebutkan bahwa transaksi mencurigakan TPPU yang berhubungan dengan pegawai Kemenkeu yang mencapai Rp3,3 triliun.
Pencegahan dan pemberantasan TPPU telah diatur dalam UU 8/2010. Dikatakan dalam draft tersebut bahwa harta yang dijerat TPPU merupakan harta yang sudah diyakini merupakan hasil tindak pidana lain, seperti korupsi, pencurian, penggelapan, atau tindakan kriminal lainnya. Adapun sanksi bagi pelaku TPPU mengacu pada Pasal 3 UU 8/2010, yakni pelaku TPPU bisa dipidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar.
Tetapi penerapan Pasal TPPU ini tidak akan mampu menyetop adanya korupsi di tubuh pemerintah, khususnya Kemenkeu.
Penerapan UU TPPU digembar-gemborkan sebagai satu solusi untuk bisa menjerakan pelaku korupsi sebab selain penjara dan denda, para koruptor pun akan dimiskinkan dan itu katanya yang akan membantu menyelamatkan keuangan negara.
Namun demikian, publik mempertanyakan akan komitmen dan keseriusan negara dalam menyelesaikan TPPU. KPK sendiri menyampaikan bahwa sebenarnya kasus seperti ini sudah ada sejak 2003, tapi baru sekarang terungkap. Ini membuktikan bahwa negara seolah kalah melawan para koruptor yang makin canggih dalam melakukan tindak pidana pencucian uang
Mirisnya KPK juga penuh skandal. Ditambah bukan sekadar rumor bahwa KPK sering kali tebang pilih kasus sehingga politik kepentingan pun terlihat terjadi di tubuh KPK.
Sejatinya permasalahan korupsi sebenarnya bisa dikembalikan pada persoalan hulunya, yaitu sistem sekuler. Selama sistem politik dan hukum negeri ini berpijak pada sekularisme, jangan harap kasus korupsi bisa selesai. Sistem sekuler tidak menjadikan agama sebagai pijakan. Seluruh aturannya adalah hasil dari akal manusia yang terbatas yang pada akhirnya menimbulkan perselisihan.
Sistem sekuler akan melemahkan pengawasan, baik internal maupun eksternal. Internal lemah karena setiap individu yang memegang amanah bukan berlandaskan akidah dan semangat takwa, melainkan berasaskan manfaat dan semangat dalam memperoleh harta.
Sudah tentu yang terjadi adalah berlomba mengumpulkan harta, bukan pahala.
Dan juga pengawasan eksternal yang lemah, sebab politik demokrasi yang transaksional akan menciptakan politik yang saling sandera. Daripada saling membongkar, ini lebih dilakukan bukan hanya antarindividu, tetapi juga antardepartemen. Yang para pejabat perjuangkan pun bukan hanya kepentingan individu dan partainya, melainkan juga kepentingan para elit politik .
Sistem politik demokrasi memang menjadikan kekuasaan tertinggi ada di tangan penguasa. Wajar jika aturan bisa berubah-ubah sesuai kepentingan mereka. Sistem sanksinya juga tidak menjerakan. Hukuman koruptor sungguh terlalu ringan. Koruptor yang terbukti melakukan TPPU, hukumannya paling lama 20 tahun dan denda paling besar Rp10 miliar.
Kenyataannya pula, jarang ada koruptor yang dihukum hingga 20 tahun. Belum lagi fasilitas mewah di penjara yang sama sekali tidak akan menjerakan pelaku. Terlebih negeri ini tidak memiliki sanksi sosial. Wajar jika pelaku korupsi masih bisa berkeliaran dengan bebas.
Islam menjadikan akidah sebagai landasan perbuatan seseorang. Keyakinannya sebagai hamba Allah Taala akan melahirkan ketaatan yang kuat pada setiap perintah dan larangan-Nya. Para pejabat akan senantiasa menjaga dirinya dari harta milik umat. Dari sini lahirlah kontrol internal karena para pejabat akan paham atas balasan orang yang korupsi, yaitu neraka.
Kontrol eksternal pun akan kuat dengan hadirnya sistem politik Islam yang jauh dari kepentingan para elite politik. Begitu pun sistem kekuasaannya yang tunggal, menjadikan pengangkatan kepala daerah dan kepala bidang (seperti keuangan atau baitulmal) ditunjuk oleh khalifah sendiri sehingga akan menghilangkan politik transaksional yang membuka celah potensi korupsi.
Sistem sanksi dalam hukum Islam pun sangat menjerakan. Hukuman bagi para koruptor termasuk takzir, yaitu bentuk dan kadarnya ditentukan oleh khalifah. Bisa berupa penjara, bahkan hukuman mati jika terbukti menyebabkan dharar pada umat. Hukuman yang menjerakan seperti inilah yang bisa menghentikan tindak korupsi.
Ketika kehidupan diatur oleh sistem Islam (khilafah). Sistem ini tegak di atas landasan akidah yang terwujud dalam seluruh amal perbuatan. Halal haram benar-benar menjadi patokan sehingga celah keburukan tertutup rapat karena kukuhnya keimanan menjadikan individu tersebut merasa diawasi, baik pada individu pegawai dan pejabat, maupun seluruh rakyat.
Selain itu, masyarakat yang menegakkan sistem Islam sangat kental dengan budaya amar makruf nahi mungkar. Bahkan budaya ini menjadi pilar kedua untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum syarak. Jika pun ada penyelewengan, dipastikan tidak akan menjadi fenomena.
Terlebih sistem Islam punya pilar ketiga dalam pencegahan kerusakan di tengah masyarakat. Yakni penegakan aturan Islam secara konsisten oleh negara dan perangkatnya, berupa sistem ekonomi, politik, sosial atau pergaulan, pendidikan, media massa, dan lain-lain. Aturan Islam inilah yang akan menjaga fitrah kebaikan dan menjamin berbagai kemaslahatan yang didambakan oleh manusia, termasuk diraihnya kesejahteraan dan kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat.
Wallahu alam bissowab
0 Komentar