Oleh: Nasrudin Joha
Aktivis Dakwah dan Politik Islam
Umat Islam sebetulnya kangen melakukan Puasa dan merayakan Idul Fitri bersama-sama seperti ketika kepemimpinan Rasulullah ï·º dan para Khalifah penerusnya. Yang dengannya akan terjalin ikatan ukhuwah Islam yang kuat.
Namun, tanpa satu otoritas pemerintahan Islam, kaum muslimin terpecah belah dan lemah di segala bidang. Bahkan, ketika menentukan Ramadhan dan Idul Fitri, umat Islam terpecah belah.
Masalah ijtihadiyah memutuskan kapan berpuasa dan kapan merayakan Idul Fitri tidak bisa disatukan karena tidak ada kewenangan seorang Imam yang mempersatukan ummat, seperti Amirul Mukminin. Oleh karena itu sulit untuk menerapkan aturan syara 'Amrul Imamu Yarfa'ul Khilaf' (terjemahan: Perintah imam meniadakan perbedaan).
Selain itu, ketika ada seorang khalifah yang memimpin umat Islam, umat Islam akan dapat menyatukan tanggal Ramadhan dan Idul Fitri karena beberapa alasan:
Pertama, jika Ru'yat yang dilakukan oleh seorang Imam (Khalifah) di seluruh wilayah (negara), maka metode Hisab dan Ru'yat pada akhirnya akan serempak dan meniadakan perbedaan.
Kedua, penyebab Hisab dan Ru'yat memiliki hasil yang berbeda, salah satunya adalah Ru'yat yang bersifat lokal dan dilakukan hanya pada satu wilayah (negara), tidak ada koordinasi Ru'yat dengan negara lain di berbagai belahan dunia.
Ketiga, ketika Muhammadiyah mengumumkan bahwa 1 Syawal 1444 H jatuh pada hari Jumat tanggal 21 April 2023, maka hasil Ru'yat di Indonesia bisa saja berbeda dengan hari raya Idul Fitri yang ditentukan dengan metode ekstrapolasi. Pasalnya, hilal kemungkinan tidak terlihat dari Indonesia karena letaknya di timur dan tertutup awan.
Keempat, lain halnya kalau Ru'yat dilakukan secara global dan diperintahkan oleh khalifah. Khalifah akan menerima laporan pemantauan Ru'yat dari seluruh negeri, dari umat Islam di Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina dan Australia.
Khalifah juga akan melakukan pemantauan bulan sabit terhadap Arab Saudi, Yaman, Iran, Irak, Lebanon dan negara-negara di Jazirah Arab.
Selain itu, Khalifah akan mengawasi Ru'yat melalui umat Islam yang tinggal di Eropa, Afrika, dan Amerika.
Kelima, ketika ada kesaksian seorang muslim melihat hilal, maka kesaksian tersebut akan dijadikan sebagai cara isbat (mengatur) Idul Fitri bagi seluruh umat Islam di dunia. Waktu Greenwich bisa dijadikan sebagai batas akhir terlama untuk menetapkan hari raya Idul Fitri di suatu wilayah.
Kesimpulan
Jika cara ini ditempuh, maka melalui cara Hisab dan Ru'yat Khalifah akan menentukan ketetapan kapan Puasa Ramadhan dan Idul Fitri berlangsung dan ketetapan ini akan mengikat seluruh muslim untuk mengikutinya, maka seluruh umat Islam dapat merayakan Idul Fitri serentak.
Misalnya pada Idul Fitri 1444 H. Meskipun Muhammadiyah telah menetapkan 1 Syawal 1444 H sebagai hari Jumat tanggal 21 April 2023, namun bukan tidak mungkin banyak jamaah atau umat Islam lainnya yang merayakan Idul Fitri bersama Muhammadiyah pada hari Jumat walaupun mereka menggunakan Ru'yat global.
Karenanya kaum Muslimin sangat membutuhkan Khilafah untuk mempersatukan umat Islam agar mereka dapat mengadopsi kalender global dan Ru'yat global sehingga kita umat Islam dapat berpuasa dan merayakan Idul Fitri bersama umat Islam lainnya.
Meski begitu, perbedaan waktu Idul Fitri adalah soal ijtihadiyah. Umat Islam tetap diwajibkan untuk bersatu dan mencintai sesama Muslim dan saling berbahagia di hari-hari raya, meskipun melaksanakan shalat Idul Fitri pada waktu yang berbeda.
0 Komentar