Oleh: Nasrudin Joha
Pengamat Politik dan HAM
Kita patut mengapresiasi pernyataan jujur Bambang Pacul (Bambang Wuryanto) bahwa sebagai anggota DPR, dia tidak punya kuasa mewakili rakyat. Entah polos atau ceroboh, Bambang Pacul menegaskan dirinya, termasuk rekan-rekan lainnya (baca: badut Senayan), hanya galak di depan umum tapi takut pada pimpinan partai masing-masing.
Hal itu disampaikan Bambang Pacul menanggapi permintaan Mahfud MD agar DPR segera mengesahkan RUU Perampasan Aset. Bambang justru mendorong Mahfud MD untuk melobi pimpinan partai karena pada dasarnya anggota DPR Senayan semuanya adalah wakil partai.
Tanpa sepengetahuan Bambang Pacul, publik sebenarnya sudah paham bahwa politisi DPR hanyalah wakil rakyat saat kampanye pemilu. Selama kampanye masyarakat benar-benar dimanjakan oleh politisi.
Ada yang datang berkunjung, membagikan kaos, amplop merah berisi uang dan tulisan "Harta Zakat" di sampulnya. Rakyat selalu menjadi subjek dan tema dalam setiap pidato kampanye politik.
Namun, ketika seorang politikus mendapatkan suara dan menjadi anggota DPR, DPR menjadi bagian dari partai, kepanjangan tangan partai. Meminjam istilah yang dipopulerkan PDIP, semua anggota DPR pada hakekatnya adalah anggota partai.
Bukan rakyat yang memiliki kedaulatan atas DPR tetapi partai. Maka wajar jika UU Cipta Kerja yang ditolak rakyat malah disahkan oleh DPR mengapa demikian? Pasalnya, UU Cipta Kerja disahkan atas perintah pimpinan partai.
Jika demikian, apakah masuk akal bagi kita untuk ikut pemilu? Ikut memilih wakil rakyat, lalu mereka menjadi pengurus partai?
Mungkinkah masih ada harapan untuk berubah jika wakil rakyatnya seperti yang dikatakan Bambang Pacul?
Padahal, kedaulatan rakyat di bawah sistem demokrasi sebenarnya hanya mitos, utopia. Kedaulatan sebenarnya adalah para pemilik modal. Partai politik dapat dikuasai dengan modal, maka anggota DPR hanya dapat dikuasai melalui partai politik.
Bambang Susatio (Ketua MPR RI) mengatakan selama ada dana 1 triliun rupiah yang dikeluarkan investor, itu cukup untuk menguasai partai politik di Indonesia. Menurut Bamsoet, Nominal itu didasarkan pada pengalamannya berpolitik di Indonesia.
Kalau ada 11 partai, berarti hanya butuh Rp. 11 trilyun yang digunakan untuk mengontrol APBN Indonesia senilai 3.000 trilyun rupiah per tahun. Jika dapat 10% dari nilai APBN yang dikeluarkan, oligarki berkekuatan kapital bisa meraup Rp 300 triliun setahun. Padahal, modalnya hanya 11 triliun rupiah.
Jika 11 triliun rupiah ini bisa menguasai partai selama 5 tahun, maka para oligarki akan memerintahkan anggota DPR untuk mengelola APBN demi kepentingan para oligarki melalui partai politik, sehingga total keuntungan mencapai 1.500 triliun rupiah.
Misalnya, mengerjakan proyek biodiesel yang menguntungkan oligarki. Mambuat proyek IKN yang berpihak pada oligarki. Membuat kebijakan hilirisasi yang dimainkan oleh perusahaan oligarki, dan sebagainya.
Sistem politik demokratis seperti itu yang rakyat inginkan? Apakah masih betah menikmatinya?
0 Komentar