Oleh: Nasrudin Joha
Pengamat Sejarah dan Peradaban Islam
Pada 3 Maret 1924, Khilafah Islam secara resmi dihapuskan. Hilangnya sistem Khilafah berarti hilangnya sistem peradaban Islam yang mempersatukan dunia Islam di bawah kepemimpinan yang berdasarkan syariat Islam. Lenyapnya sistem Khilafah menandakan pula lenyapnya Negara Islam yang menurut Dr. Yusuf Qardhawi merupakan perwujudan ideologi Islam.
Para sejarawan telah membagi sejarah kekhalifahan Islam menjadi empat periode:
- Khulafaur Rasyidin (632-661 M);
- Khilafah Bani Umayah (661-750 M);
- Khilafah Bani Abbasiyah (750-1517 M);
- Khilafah Utsmaniyah (1517-1924 M).
Dalam sejarahnya kekhalifahan Islam bertahan sekitar 13 abad. Waktu yang sangat lama untuk sebuah negara ideologis besar dan wilayahnya pernah mencakup hampir 2/3 dunia, termasuk seluruh Timur Tengah, sebagian Afrika dan Asia Tengah, ke arah timur hingga China, ke barat hingga Andalusia (Spanyol), Prancis selatan, dan Eropa Timur (termasuk Hongaria, Beograd, Albania, Yunani, Rumania, Serbia, Bulgaria, dan semua pulau di Mediterania).
Penyebab Keruntuhan Khilafah
Sejarawan sepakat bahwa zaman Khalifah Suleiman al-Khannuni (926-974 H/1520-1566 M) merupakan masa kejayaan dan masa keemasan Kekhalifahan Utsmaniyah. Namun sayang, sepeninggal Suleiman Kannuni, Khilafah mulai mengalami penurunan terus-menerus dari negara-negara Eropa dalam bidang militer, sains, dan politik. Secara internal, dua faktor utama yang berkontribusi pada kemunduran Khilafah Utsmaniyah, yaitu:
Pertama: Kurangnya pemahaman tentang Islam.
Kedua: Kesalahan penerapan Islam.
Misalnya, pada masa itu banyak kejanggalan dalam metode pengangkatan khalifah yang tidak sesuai dengan tuntunan syariah. Alhasil, setelah berakhirnya masa pemerintahan Suleiman Kannuni para khalifah sesudahnya tidak mampu atau lemah serta tidak memiliki kapasitas sebagai khalifah.
Sedangkan di luar negeri, sejak penaklukan Konstantinopel oleh para khalifah pada abad ke-15, orang-orang Kristen Eropa melihat penaklukan itu sebagai awal dari kehancuran mereka di Timur. Pertanyaan ketimuran inilah yang mendorong Paus Paulus V (1566-1572 M) untuk menyatukan negara-negara Eropa yang sebelumnya terlibat konflik antar agama: Protestan dan Katolik. Konflik tersebut tidak berakhir hingga Konsili Westervalia pada tahun 1667 M.
Sementara itu, penaklukan Kekhalifahan Utsmaniyah pada tahun-tahun itu telah berhenti. Kelemahan Kekhalifahan Utsmaniyah pada abad ke-17 M dimanfaatkan oleh Austria dan Venesia untuk mengalahkan Kekhalifahan. Dengan Perjanjian Karlovitz (1699 M), wilayah Hongaria, Slovenia, Kroasia, Khmenitz, Padolia, Ukraina, Moria, dan sebagian Dalmatia dibagi; di tangan dinasti Habsburg.
Bahkan Kesultanan Utsmaniyah terpaksa kehilangan wilayahnya di Eropa setelah kalah dari Rusia dalam Perang Krimea pada abad ke-18 Masehi. Setelah Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887), yang menjadikan nasib Kesultanan Utsmaniyah semakin tragis.
Di sisi lain, karena pengetahuan Islam yang lemah, para penguasa saat itu mulai terbuka pada demokrasi dan didukung oleh fatwa ulama suu yang kontroversial. Bahkan, dengan berdirinya Dewan Tanzimat pada tahun 1839 M, peraturan dan undang-undang hukum barat di dunia Islam semakin kuat, termasuk setelah memberlakukannya undang-undang seperti Hukum Acara Pidana (1840 M) dan Hukum Dagang (1850 tahun M).
Situasi ini diperburuk oleh konstitusi tahun 1876 yang dirumuskan oleh kaum Turki Muda, yang berupaya membatasi fungsi dan kekuasaan Khalifah. Dapat dikatakan bahwa pada saat itu sekularisasi Khilafah Islam telah terjadi sedikit demi sedikit.
Di dalam negeri, para ahlul dzimmah yang diistimewakan di bawah Sulaiman al-Qanuni 'khususnya umat Kristen' akhirnya menuntut persamaan hak dengan umat Islam. Namun, hak istimewa ini pada akhirnya digunakan untuk melindungi provokator dan mata-mata asing yang dijamin dengan perjanjian Khilafah Utsmaniyah dengan Bizantium (1521 M), Prancis (1535 M) dan Inggris (1580 M).
Dengan hak istimewa ini, populasi Kristen dan Yahudi di dalam negara meningkat. Sejak abad ke-16 M, para misionaris memanfaatkan kondisi ini untuk memusatkan kampanye mereka di dunia Islam dan memilih Malta sebagai pusat kampanye mereka. Dari sanalah mereka menyusup ke wilayah Sharm pada tahun 1620 M dan tinggal di sana hingga tahun 1773 M.
Ketika dunia Islam menghadapi kemunduran intelektual, kaum misionaris mendirikan berbagai pusat penelitian sebagai kedok gerakan mereka. Sebagian besar pusat penelitian ini berbasis di Inggris, Prancis, dan AS. Kampanye ini digunakan oleh Barat untuk mempromosikan ide-ide mereka di dunia Islam dan menyerang pemikiran Islam. Para orientalis Barat telah mempersiapkan serangan ini sejak lama, dan mereka telah mendirikan Pusat Studi Ketimuran (Pusat Kajian Timur) sejak abad ke-14 Masehi.
Oleh karena itu, gerakan misionaris dan gerakan orientalis jelas merupakan bagian tak terpisahkan dari imperialisme Barat di dunia Islam. Untuk menguasai dunia Islam, Islam sebagai ideologi harus dihancurkan, dan Khilafah Islam sebagai penjaganya harus dihilangkan. Untuk tujuan ini, mereka menyerang ideologi Islam dengan sengaja menyebarkan nasionalisme di dunia Islam dan menciptakan stigma terhadap Khilafah Utsmaniyah sebagai The Sick Man.
Untuk melemahkan kekuatan kekhalifahan Utsmaniyah agar mudah digulingkan, mereka terus gencar memprovokasi gerakan-gerakan patriotik dan nasionalis di dunia Islam untuk melepaskan diri dari kesatuan khilafah Islam. Mereka bahkan mengeksploitasi gerakan keagamaan seperti gerakan Wahhabi di Hijaz. Sejak pertengahan abad ke-18 M, Inggris melalui wakilnya Ibn Saud menggunakan gerakan ini untuk mengobarkan pemberontakan di beberapa wilayah kekhalifahan, yakni di Hijaz dan sekitarnya.
Sementara itu di Eropa, dari abad ke-19 hingga abad ke-20 M, wilayah-wilayah yang dikuasai Khilafah terus-menerus diprovokasi untuk memberontak. Dengan demikian Kesultanan Utsmaniyah akhirnya kehilangan sebagian besar wilayahnya hingga hanya tersisa Turki.
Yahudi Barat Berkonspirasi untuk Menghancurkan Kekhalifahan
Pada tahun 1855 negara-negara Eropa khususnya Britania Raya memaksa Kesultanan Utsmaniyah untuk mengubah konstitusinya dan mengumumkan Hema Yunwen pada 11 Februari 1855.
Pada tahun 1908 kaum Turki Muda, yang berbasis di Thessaloniki, sebuah pusat komunitas Yahudi di Dunama, melancarkan pemberontakan.
Pada tanggal 18 Juni 1913, para pemuda Arab mengadakan konferensi di Paris dan mendeklarasikan nasionalisme Arab. Dokumen yang ditemukan di konsulat Prancis di Damaskus mengungkap konspirasi dan pengkhianatan terhadap Khilafah Utsmaniyah yang didukung oleh Inggris dan Prancis.
Pada Perang Dunia I tahun 1914, Inggris mengambil kesempatan untuk menyerang Istanbul dan menduduki Gallipoli. Pertempuran Dardanella yang terkenal dimulai di sini. Pendudukan Inggris di daerah itu juga digunakan untuk mendongkrak popularitas Mustafa Kamal Pasha, yang sengaja tampil sebagai pahlawan dalam Perang Annaforta tahun 1915 Masehi. Agenda Inggris akhirnya dapat terlaksana karena dukungan agennya Mustafa Kamal Pasha dan Revolusi kekufuran untuk menghancurkan kekhalifahan Islam dapat berjalan.
Pada 21 November 1923, Inggris Raya dan Turki mencapai kesepakatan. Dalam perjanjian tersebut, Inggris menetapkan syarat agar mereka menarik pasukannya dari wilayah Turki, yang dikenal sebagai 'Kesepakatan Curzon'. Isinya: Turki harus menghapus kekhalifahan Islam, mengusir khalifah dan menyita semua asetnya; Turki harus mencegah gerakan apa pun untuk membela kekhalifahan; Turki harus memutuskan hubungan dengan dunia Islam dan harus menerapkan hukum perdata barat untuk menggantikan syariah Islam.
Kondisi tersebut diterima oleh Mustafa Kamal dan perjanjian ditandatangani pada 24 Juli 1923. Delapan bulan kemudian, pada 3 Maret 1924, Kamal Pasha mengumumkan pembubaran kekhalifahan, penghilangan sistem Islam, pengusiran khalifah dan menjauhkan Islam dari aktivitas bernegara. Inilah puncak revolusi kufur oleh Kamal Ataturk la’natu-Llâh ‘alayh.
Akibatnya sejak saat itu umat Islam tidak lagi memiliki Khilafah, padahal sebelumnya Khilafah Islamiyyah membersamai umat selama 13 abad sejak zaman Khulafaur Rasyidin. Pertanyaannya, bukankah umat Islam mendambakan kembalinya Khilafah Islam untuk meraih keagungan dan kejayaannya seperti dahulu?!
0 Komentar