RAZIA MIRAS BUKAN SOLUSI TUNTAS


Oleh: Titin Surtini
Muslimah Islam kaffah

Sudah menjadi kebiasaan setiap jelang Ramadan sejumlah daerah melakukan razia miras. Seperti yang dilakukan Satuan Samapta Kepolisian Resor Situbondo, Jawa Timur yang merazia warung-warung yang menjual minuman keras. Operasi tersebut dilakukan berdasarkan pengaduan masyarakat yang merasa resah dengan adanya warung-warung tersebut.

Aparat bukan hanya menyita semua miras, tetapi juga memberikan sanksi tindak pidana ringan kepada pemilik dan penjual minuman haram tersebut. Polisi juga mengimbau masyarakat agar tidak lagi memperjualbelikan atau mengonsumsi miras sebab dapat membahayakan kesehatan dan mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat.

Sementara itu, Polresta Kendari, Sulawesi Tenggara pun menemukan 95 liter miras tradisional dan 30 botol miras impor. Di Sulawesi Utara, Polres Minahasa berhasil menyita 1.000 liter miras. Begitu pun di beberapa tempat lainnya.

Razia miras ini membuktikan bahwa sekularisme masih melekat dalam kehidupan negeri ini. Hal tersebut karena bukan bulan puasa saja miras itu haram, tetapi setiap bulan kaum muslim berdosa jika menjual dan mengonsumsi miras.

Pemerintah daerah melakukan razia di warung-warung warga yang dianggap sebagai tempat yang tidak mendapatkan izin untuk menjual miras. Sedangkan, di tempat milik pengusaha besar, seperti bar dan diskotik, tidak ada razia. Padahal, di sana sudah pasti ada miras. Bahkan, biasanya disertai dengan perjudian, narkoba, dan pelacuran.

Jika pemerintah benar-benar serius memberantas miras, bukan saja warung-warung yang digerebek, tetapi pabrik miras atau keran impor miras juga harus ditutup.

Apalagi, jika menengok UU Minol yang menyebutkan bahwa miras masih boleh dijual di tempat-tempat tertentu seperti tempat pariwisata, bukankah ini menegaskan bahwa kebijakannya kian sekuler? Ini karena peredaran miras pada akhirnya diperbolehkan jika bermanfaat, misalnya di area wisata yang itu menjadi daya tarik wisatawan mancanegara.

Kemudaratan miras telah sangat jelas dipaparkan banyak peneliti dan pakar, baik itu dari sisi kesehatan maupun sosial masyarakat. Telah banyak kejahatan dan kriminalitas terjadi karena berawal dari barang haram ini. Akibat miras, pelaku yang mabuk-mabukan tidak sadarkan diri, sehingga menimbulkan banyak kriminalitas, penganiayaan hingga pembunuhan.

Tetapi nyatanya pemerintah masih saja membolehkan peredaran miras di tempat-tempat tertentu seperti kelab malam dan tempat pariwisata dengan alasan adanya manfaat ekonomi.

Dengan legalisasi miras tersebut, menjadi wajar jika produksinya terus dilegalkan demi mendapatkan keuntungan yang melimpah.

Kebijakan demikian menjadi bertolak belakang dengan pelarangan miras. Di satu sisi, pemerintah menginginkan kehidupan masyarakat menjadi aman dengan diberlakukannya pelarangan miras. Tetapi di sisi lain, pemerintah pun ingin mendapatkan keuntungan dari penjualan miras yang bisa menyumbang pendapatan negara yang sangat besar.

Faktanya inilah yang terjadi ketika sistem ekonomi kapitalisme menjadi asas dalam pengelolaan negara. Dan juga sistem Liberalisasi serta kehidupan sekuler yang melahirkan masyarakat liberal, yang memiliki pemahaman kebebasan tingkah laku. Budaya Barat yang terus masuk tanpa filter, menjadikan mabuk sebagai gaya hidup yang jauh dari Islam.

Aktivitas permintaan terhadap miras sekaligus akan menaikkan angka penawarannya. Ini berarti peredaran miras akan makin besar seiring dengan infiltrasi budaya Barat yang sekuler-liberal. Dengan demikian, jangan pernah berharap peredaran miras hilang di tengah umat selama sistem kehidupan sekuler kapitalistik masih menjadi ukuran utama.

Islam menganggap miras adalah induk dari kejahatan sehingga untuk menciptakan kehidupan yang aman, salah satu yang harus ditegakkan adalah pelarangan miras, baik pelarangan produksinya, konsumsinya, juga distribusinya.

Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra., Nabi ï·º bersabda, “Minuman keras itu induk dari hal-hal yang buruk, siapa yang meminumnya, maka salatnya tidak diterima selama empat puluh hari, jika ia meninggal sedangkan minuman keras berada di dalam perutnya, maka ia akan meninggal dunia dalam keadaan jahiliah.” (HR Thabrani)

Allah telah jelas melarang peredaran miras hingga yang terkena dosa bukan peminumnya saja, tetapi juga penjualnya dan orang-orang yang terlibat di dalam peredarannya, seperti sopir pengangkut miras, orang yang mengambil untung dari penjualan miras, kuli angkutnya, yang mengoplosnya, dan lain-lain.

Allah melaknat khamar (minuman keras), peminumnya, penuangnya, yang mengoplos, yang minta dioploskan, penjualnya, pembelinya, pengangkutnya, yang minta diangkut, serta orang yang memakan keuntungannya.” (HR Ahmad)

Untuk menciptakan masyarakat yang bebas dari miras, bukan hanya diberlakukan larangan secara mutlak, tetapi juga harus dibangun pemahaman pada diri umat bahwa miras adalah benda yang haram karena zatnya. Sehingga umat akan menjauhkan dirinya dari hal tersebut sekalipun seolah-olah mendatangkan manfaat bagi dirinya.

Begitupun sistem sanksi dalam Islam, akan sangat menjerakan pelaku. Ali ra. berkata, “Rasulullah ï·º mencambuk peminum khamar sebanyak 40 kali. Abu bakar juga 40 kali. Sedangkan Utsman 80 kali. Kesemuanya adalah sunah. Namun, yang ini (80 kali) lebih aku sukai.” (HR Muslim)

Adapun pihak selain peminum khamar dikenai sanksi takzir, yaitu sanksi yang hukumannya diserahkan kepada khalifah atau kadi yang akan memberikan hukuman yang menjerakan dan sesuai dengan ketentuan syariat.

Adapun cara yang ampuh untuk menjauhkan miras dari umat adalah dengan membuang sistem ini dan menggantinya dengan sistem Islam, yaitu dengan menerapkan aturan Islam secara kaffah. Di bawah naungan Daulah Khilafah yang akan menjaga kesehatan manusia dari kerusakan akibat miras. Menjamin keamanan di tengah masyarakat sehingga akan tercipta kehidupan umat yang penuh dengan keberkahan dan penuh martabat yang luhur.

Wallahu alam bissowab.

Posting Komentar

0 Komentar