Oleh: Betty Widya
Pengamat Politik
Politik identitas, menjadi isu seksi yang dijajakan menjelang tahun politik 2024. Mulai dari jajaran pemerintah, politisi partai, maupun tokoh ormas seolah berhimpun membuat ‘koor’ akan bahaya politik identitas. Mereka mewanti-wanti masyarakat untuk tidak terjebak dalam politik identitas. Pasalnya, politik identitas dianggap sesuatu yang berbahaya karena dapat mengantarkan pada intoleransi dan perpecahan.
Elit politik terutama yang bakal berkompetisi pada Pilpres 2024 diingatkan oleh sejumlah pihak, untuk memiliki komitmen anti politik identitas, bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar Pemilu tahun 2024 berjalan lancar tanpa adanya politik identitas. Hal ini agar tidak ada lagi polarisasi masyarakat saat Pemilu.
Jokowi mengatakan, pemerintah mendukung sepenuhnya tahapan Pemilu yang sedang dipersiapkan KPU, Ia meminta demokrasi Indonesia harus semakin dewasa dan konsolidasi nasional harus diperkuat. Mereka juga menolak gerakan politik yang mengatasnamakan agama, untuk membuat diskursus hubungan Islam dan politik menguat.
Bukan hanya pejabat, dan politisi, Dewan Pers pun turut menyemarakkannya isu ini, dengan mengeluarkan pedoman pemberitaan tentang keberagaman sebagai bentuk pencegahan menguatnya politik identitas di media massa jelang Pemilu 2024. Pedoman pemberitaan perspektif keberagaman ini juga digunakan penegak hukum terhadap jurnalis yang melanggar kode etik keberagaman, serta menjadi bagian dari materi uji kompetensi wartawan yang dilakukan Dewan Pers. (Antaranews, 18-1-2023).
Dikutip dari Antaranews.com (7/11/2022), Peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor mengatakan penyampaian edukasi politik sejak dini dapat menjadi salah satu langkah yang dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk mencegah politik identitas.
Sebelumnya, aksi umat Islam pada 4 November 2022 kemarin juga mendapat kritik oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), supaya PA 212 menghentiksn aksi yang dapat memicu terjadinya politik identitas. Dikutip dari CNNIndonesia.com (6/11/2022), Wasekjen PBNU Rahmat Hidayat Pulungan mengkritisi aksi PA 212 dan mengimbau seluruh pihak menghentikan upaya memperalat agama untuk kepentingan politik sesaat.
Pilpres (Pemilihan Presiden) 2024 memang masih jauh. Namun demikian, kekhawatiran bahkan ketakutan kelompok radikal-sekuler anti Islam terhadap kemenangan kelompok Islam di Pilpres 2024 tampak nyata. Trauma kekalahan Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 benar-benar membekas di hati mereka. Mereka khawatir jagoan mereka berikutnya yang diduga kuat merupakan boneka oligarki selanjutnya bakal kalah di Pilpres 2024.
Karena itu segala cara mereka lakukan untuk membendung kekuatan politik Islam. Salah satunya dengan terus-menerus menuding kelompok Islam memainkan politik identitas. Sehingga mereka memunculkan istilah "bapak politik identitas". Tudingan ini sebetulnya tidak berbeda dengan tudingan-tudingan sebelumnya, bahwa kelompok Islam sering memainkan isu agama, melakukan politisasi agama, jualan ayat dll. Tujuan dari berbagai tudingan tersebut tentu saja agar kaum Muslim tidak memilih Capres/Cawapres Muslim yang dianggap kental warna keislamannya atau dianggap berpihak pada Islam dan umat Islam.
Dikutip dari Wikipedia, politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut. Identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, Tujuannya untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa ‘sama’, baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya. Di Indonesia politik identitas sering didasarkan pada kepercayaan, agama dan suku bangsa, yang digunakan untuk meraih tujuan politik, termasuk untuk menjegal lawan politik.
Politik identitas dianggap tidak fair karena tidak mengunggulkan kualitas calon, melainkan dengan memanfaatkan sentimen agama. Realitasnya, nyaris semua parpol dan politisi peserta pemilu, baik 'agamis' maupun 'nasionalis', memanfaatkan sentimen keislaman untuk mendulang suara umat Islam. Mereka mencari atensi umat dengan tampil 'islami' yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa 'sama', baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya.
Politik identitas berbasis agama yang digunakan dalam kampanye politik juga akan menciptakan jurang pemisah antar kelompok umat beragama di Indonesia. Kuatnya tekanan dari kelompok agama radikal di Indonesia secara tidak langsung akan memberikan dampak buruk bagi pemeluk agama yang lain. Pemeluk agama minoritas akan merasa di diskriminasi, sehingga akan memunculkan perpecahan antar umat beragama. Namun demikian, ibarat maling teriak maling, mulai dari pejabat, politisi, hingga insan media yang berkoar-koar menentang politik identitas, nyatanya merekalah yang paling getol mempolitisasi agama. Lihat saja para politisi yang mendadak berkerudung saat kampanye, atau mendadak intens berkunjung ke pesantren menjelang pemilihan.
Dalam konteks Indonesia pada masa penjajahan, doktrin agama tentang jihad misalnya, dipergunakan sebagai alat legitimasi perjuangan melawan penjajah. Demikian pula, di masa-masa awal kemerdekaan, dibentuk partai politik yang berdasarkan agama, yakni Partai Masyumi (Islam), Partai Kristen Indonesia, dan Partai Katolik. Pada masa Orde Baru partai agama memang tidak diperbolehkan, sejalan dengan kebijakan pemerintah 'de-ideologisasi politik' dan 'de-politisasi agama'. Namun demikian, agama tetap dipergunakan untuk melegitimasi program-progran pembangunan yang digalakkan oleh pemerintah. Di era reformasi ini partai politik berdasarkan agama diperbolehkan kembali, sejalan dengan pembangunan sistem demokrasi yang substantif dan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi.
Pelibatan agama dalam politik oleh penganutnya dimaksudkan untuk: (1) mengawal agar politik sesuai dengan etika dan ajaran agama, (2) melegitimasi aspirasi dan prilaku politik dengan ajaran agama, dan (3) membangun identitas dan solidaritas sosial. Karena di sebagian besar negara di dunia, agama tidak bisa dipisahkan sepenuhnya dari negara, maka agama pun tidak bisa dipisahkan sepenuhnya dari politik dan sebaliknya. Pelibatan agama dalam politik tidak bertentangan dengan demokrasi, dan hal ini pun terjadi di negara-negara Barat yang notebene sekuler.
Hampir semua negara mayoritas berpenduduk Kristen terdapat partai-partai Kristen, seperti di Argentina, Australia, Belgia, Belanda, Brazil, Inggris, Italia, Jerman, Norwegia, dan sebagainya. Bahkan partai Kristen juga terdapat di Perancis dan Amerika Serikat, meski di kedua negara ini partai agama tidak berkembang, yakni Christian Democratic Party (Parti chrétien-démocrate, PCD) yang didirikan pada 2001, dan American Solidarity Party (ASP) yang didirikan pada 2011. Di sejumlah negara berpenduduk mayoritas Islam juga terdapat partai-partai agama, seperti di Aljazair, Indonesia, Malaysia, Mesir, Pakistan, Tunisia, dan sebagainya. Di negara-negara mayoritas Hindu juga terdapat partai Hindu, dan di sebagian besar negara mayoritas Buddha juga terdapat partai Buddha.
Keterlibatan agama dalam politik dapat dibedakan antara, legitimasi keagamaan, dan politisasi agama. Legitimasi keagamaan adalah penggunaan agama sebagai alat untuk memperkuat pemikiran dan tindakan seseorang atau suatu kelompok, baik dalam bentuk aspirasi politik, keputusan politik, atau gerakan politik melawan kezaliman. Sedangkan politisasi agama adalah penggunaan agama atau simbol-simbol agama sebagai alat untuk mendapatkan tujuan-tujuan politik atau untuk memobilisasi massa dalam memenangkan calon tertentu dalam pemilihan jabatan publik.
Namun hari ini, yang membawa Islam sebagai identitas diri dianggap menjadikan alat politik identitas. Berdasarkan penjelasan yang dijelaskan Wikipedia, siapa saja yang membawa Islam ke ranah politik, seolah-olah sedang menjadikan identitas keislamannya sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan secara ekstrem. Oleh karena itu, politik identitas Islam ditolak secara serempak. Tetapi, mereka yang membawa identitas sekuler, liberal, dan hedonisme dibiarkan melenggang dalam kontestasi politik. Berbeda dengan politik transaksional yang sering nampak dalam demokrasi kapitalisme, malah tidak digembar-gemborkan.
Islam sebagai satu-satunya agama yang mempunyai konsep dan cara yang jelas tentang bagaimana mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, mengatur kepemimpinan dan menentukan kriteria calon pemimpin yang layak memimpin negara. Sedangkan, konstitusi menjamin bagi setiap warga negara untuk menjalankan kebebasan individu dalam melaksanakan agamanya, sebagaimana tersebut dalam pasal 29 UUD 1945. Selain itu, Islam sebagai identitas seorang muslim yang tercermin dalam sikap dan perilaku seseorang atau kelompok, termasuk dalam berpolitik juga merupakan hal yang wajar.
Dalam hal ini, urusan politik dan Islam merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, sebab Islam bukanlah agama yang hanya mengatur persoalan ibadah individu saja namun juga segala urusan hidup manusia. Salah satunya persoalan politik kenegaraan sebagai alat untuk mengontrol agar para penguasa tidak melakukan hal-hal yang merugikan rakyat, serta mencegah adanya kezaliman.
Politik adalah mengurusi urusan umat di dalam dan luar negeri. Hal itu dilakukan oleh negara dan umat. Negaralah yang melaksanakan pengurusan ini secara langsung, sedangkan umatlah mengoreksi negara (An-Nabhani, Mafâhim Siyâsiyyah, hlm. 5).
Mengurusi umat di dalam negeri itu dilakukan oleh negara dengan cara menerapkan ideologi Islam (akidah dan syariah) secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan. Tugas umat adalah mengoreksi jalannya penerapan ideologi Islam ini jika terjadi penyimpangan. Adapun mengurusi umat di luar negeri adalah dengan mengemban dan menyebarkan ideologi Islam ke seluruh dunia.
Karena itu haram hukumnya meninggalkan identitas Islam dalam hal apapun. Sebaliknya, identitas Islam harus dipegang teguh oleh setiap Muslim dalam seluruh aspek kehidupannya. Tidak hanya saat beribadah, tetapi juga dalam melakukan kegiatan lain seperti ekonomi, sosial, pendidikan, politik, pemerintahan dan sebagainya.
Sehingga jelas, Islam dan politik tidak bisa dipisahkan. Islam adalah ajaran yang sempurna (QS al-Maidah [5]: 3). Sebagai agama yang sempurna, Islam mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk politik. Dalam al-Quran, Allah ﷻ juga berfirman tentang kewajiban menaati ulilamri (QS an-Nisa’ [4]: 59). Menurut para ulama, ulil amri adalah penguasa. Penguasa dan kekuasaan tentu perkara yang tidak bisa dilepaskan dari politik.
Barat dan antek-anteknya menyadari bahwa ideologi kapitalisme sekularisme yang diembannya sudah di ujung tanduk. Tanda-tanda kehancurannya pun makin terlihat. Mereka juga memahami betul bahwa ideologi yang akan sanggup menggantikan posisi mereka sebagai pemimpin dunia hanyalah Islam yang diemban institusi Khilafah. Oleh sebab itulah mereka berupaya keras menghalang-halangi tampilnya Islam politik yang akan mengungkap semua kezaliman dan kerusakan ideologinya.
Setidaknya ada dua kepentingan di balik tudingan politik identitas: Pertama, pengokohan ideologi kapitalisme-sekuler. Mengapa? Karena para elite politik ini mendapat keuntungan dengan beroperasinya sistem bobrok ini. Mereka mendapatkan keuntungan dari sistem sekuler seperti pungutan pajak yang mencekik rakyat, kenaikan BBM, rente (bunga) dari hutang luar negeri, legalisasi impor dan bisnis miras, penghalalan riba (bunga, interest), hingga penguasaan sumber daya alam. Karena itu setiap upaya serius dari pejuang Islam melalui dakwah, kritik, dan amar makruf nahi mungkar untuk menghentikan beroperasinya sistem sekuler-kapitalistik yang bobrok ini pasti akan dihalangi, di antaranya melalui isu politik identitas, sekaligus dilumpuhkan dengan berbagai cara. Berbagai kebijakan yang berpotensi menyengsarakan dan merugikan rakyat pun tetap dijalankan. Di antaranya seperti UU Omnibus Law Cipta Kerja, UU Minerba, UU IKN, UU TP-KS, dll.
Kedua, narasi politik identitas yang sejatinya dilontarkan pada Islam sebenarnya sedang meneruskan propaganda islamofobia, yakni agar tidak membawa-bawa agama dalam politik dan tidak menjadikan Islam sebagai jalan hidup. Islamofobia tidak hanya terjadi di negeri minoritas muslim. Di negeri mayoritas muslim ini pun tidak lepas dari islamofobia. Banyak bukti yang bisa dihadirkan bahwa rezim saat ini sedang dihinggapi penyakit islamofobia.
Kampanye radikalisme, intoleransi, dan terorisme terus digaungkan berbagai pihak di negeri ini, bahkan sering kali ditujukan pada Islam dan kaum muslim yang memperjuangkan ideologinya. Tempat ibadah yang sering dihubungkan dengan terorisme adalah masjid. Klaim adanya ancaman penceramah radikal sehingga perlu upaya penyaringan melalui sertifikasi ternyata dialamatkan pada para ustaz dan dai yang menyampaikan Islam. Bukankah ini bukti bahwa rezim saat ini terserang islamofobia, serta takut pada ajaran Islam dan para pejuangnya?
Tentu semua ini demi menghadang kebangkitan Islam. Mereka (Barat, ed.) sangat paham jika Islam diemban secara kaffah oleh umatnya, semua itu akan mengantarkan pada kebangkitan Islam sekaligus keruntuhan peradaban Barat.
Jadi, tidak mungkin islamofobia akan hilang selama pabrik yang memproduksinya masih ada. Mustahil islamofobia musnah jika kita masih mempertahankan hegemoni kapitalisme sekularisme, yang merupakan senjata barat untuk melanggengkan penjajahannya di muka bumi.
Satu-satunya cara untuk menghentikan kekejian mereka adalah dengan menghadirkan institusi Islam yang akan menerapkan syariat Islam kaffah. Ketika negara menerapkan syariat Islam, kemuliaannya akan tampak. Umat pun akan mendapatkan keadilan dan merasakan kesejahteraan. Tuduhan buruk terhadap Islam dengan sendirinya akan terbantahkan. Jika ada yang masih nekat menyebarkan tuduhan buruk terhadap Islam, Khilafah tidak akan membiarkannya. Sanksi tegas menjadi balasannya.
Allah ﷻ telah mengabarkan kemenangan Islam atas para pendusta,
يُرِيدُونَ لِيُطْفِـُٔوا۟ نُورَ ٱللَّهِ بِأَفْوَٰهِهِمْ وَٱللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِۦ وَلَوْ كَرِهَ ٱلْكَٰفِرُونَ
Arab-Latin: Yurīdụna liyuṭfi`ụ nụrallāhi bi`afwāhihim, wallāhu mutimmu nụrihī walau karihal-kāfirụn
Artinya: Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya". (QS. Ash-Shaff [61]: 8). Wallahualam.
Dengan demikian, politik umat Islam haruslah beridentitas Islam, yakni menjadikan Islam sebagai asas, tujuan dan pedoman politik. Politik Islam ini akan mewujudkan rahmatan lil ‘alamin, bukan perpecahan sebagaimana dituduhkan selama ini.
Padahal, praktik politik umat Islam memang harus beridentitas Islam.
Politik dengan makna pengaturan urusan umat merupakan bagian dari syariat Islam yang mengatur hubungan manusia satu dengan yang lainnya.
Oleh karenanya, menjadi suatu hal yang mendesak untuk membangun kesadaran politik di tengah umat. "Yakni dengan menjadikan akidah Islam sebagai sudut pandang mereka dalam memandang dunia secara keseluruhan. Akidah Islam menjadi tolok ukur dalam mengindra setiap pergolakan politik yang terjadi."
Karena buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik.
Dengan terbangunnya kesadaran politik, akan memunculkan kepekaan yang tinggi. "Umat akan mampu menyibak kabut penjajahan yang dikemas dalam bentuk modernisasi maupun berbagai proyek pembangunan kapitalistik di tengah kehidupan mereka. Mereka tidak akan lagi mudah ‘dicekoki’ oleh berbagai narasi dusta yang dikemas dengan kata-kata yang bombastis dan berbagai branding politik yang dibangun."
Seiring waktu, identitas politik Islam akan semakin menguat di negeri-negeri Muslim. Itulah identitas yang berupa kesadaran untuk menegakkan kembali syariah Islam secara kâffah dalam naungan Khilafah. Jika kesadaran tersebut terus menguat dan meluas maka tentu itu akan menjadi mimpi buruk bagi negara-negara Barat penjajah. Tidak hanya menjadi pertanda berakhirnya imperialisme mereka di negeri Muslim, namun juga menjadi pertanda runtuhnya peradaban kapitalisme-liberalisme di dunia.
Wallahu alam bishawab
0 Komentar