PELANGGARAN-PELANGGARAN HAM BERAT, BUKTI DEMOKRASI SISTEM BEJAT


Oleh: Lathifa Rohmani
Muslimah Peduli Umat

Hak asasi manusia (HAM) adalah salah satu pilar bagi penegakan demokrasi. Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi juga telah menjadikan HAM sebagai hal yang penting. Bahkan, definisi HAM termuat dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia Pasal (1) yang memiliki konteks bahwa melindungi, menghormati dan menjunjung tinggi HAM mampu menjaga harkat martabat manusia sehingga menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antarindividu, pemerintah, dan negara.

Meskipun demikian, dari awal berdirinya negara Indonesia banyak sekali pelanggaran-pelanggaran HAM, bahkan sampai termasuk kategori pelanggaran HAM berat. Sejarah mencatat bahwa pelanggaran-pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia dilakukan dari pihak pemerintahan. Padahal pemerintah adalah salah satu elemen yang seharusnya paling menghormati, melindungi dan menjunjung tinggi HAM masyarakatnya.

Hal ini menjadi salah satu alasan presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan upaya penyelesaian pelanggaran-pelanggaran HAM tersebut. Presiden Jokowi menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) nomor 4 tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat (TPPHAM) yang terdiri dari 14 pasal.

Kemudian, Keputusan Presiden (Keppres) ini disusul oleh ditandatanganinya Intruksi Presiden (Inpres) nomor 2 tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Inpres ini memerintahkan 16 menteri, jaksa agung, panglima TNI dan Kapolri untuk melaksanakan belasan rekomendasi TPPHAM yang sebagian besar merinci bentuk-bentuk pemulihan kepada korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Namun menurut, Wahyu Djafar, selaku pegiyat Hak Asasi Manusia, menilai Inpres ini hanyalah menempatkan korban sebagai penerima bantuan sosial (bansos), bukan korban pelanggaran HAM yang patut diberikan pemulihan.

Upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia yang dilakukan Presiden Jokowi, dinilai lebih banyak menunjukkan adanya pencitraan, mengingat hal ini dilakukan pada akhir masa jabatannya. Komitmen Jokowi terkait upaya penyelesaian permasalahan HAM masa lalu sudah digembar-gemborkannya jauh sebelum ia menjabat sebagai presiden. Pada saat kampanye Pemilu Presiden 2014, Jokowi menyatakan akan membuat komite untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Pada tahun 2015, ia menjanjikan kembali bahwa pelanggaran HAM masa lalu akan diselesaikan pada 2016. Kemudian, di tahun-tahun berikutnya pun yang terjadi hanyalah janji-janji kosong yang terus terulang. Barulah di tahun 2023, ketika masa jabatannya sudah tinggal sebentar, Jokowi mengeluarkan Keppres dan Inpres terkait ini.

Meskipun, pada masa lalu awal kemunculan sistem demokrasi bertujuan untuk memunculkan kesadaran yang tinggi terhadap hak-hak asasi manusia serta menghapuskan sikap totaliter pemerintah yang menginjak-injak hak asasi manusia. Namun, di masa sekarang justru demokrasi yang sudah menciderai HAM itu sendiri. Demokrasi yang dilahirkan oleh sistem kapitalisme telah menunjukkan pada kita semua bahwa ia sangat menyalahi fitrah manusia, bahkan menginjak-injak hak-hak manusia. Demokrasi malah menunjukkan betapa jahatnya sistem tersebut karena telah membiarkan pelanggaran-pelanggaran HAM terjadi tanpa ada penyelidikan dan penyelesaian agar para korban mendapatkan keadilan.

Penerapan kapitalisme justru malah menjadi penyebab utama terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Pasalnya, sistem kapitalisme ini merupakan sistem buatan manusia, yang berasal dari akal dan pemikiran makhluk yang sangat lemah serta terbatas. Sesuai dengan namanya, sistem kapitalisme tidak bisa dilepaskan dari kepentingan para kapitalis yang hanya mempedulikan uang dan modal semata. Akan sangat mustahil pada sistem ini memiliki keberpihakan kepada masyarakat tanpa memikirkan keuntungan berupa uang dan tidak mungkin juga adanya ketulusan dalam mengurusi persoalan kemanusiaan. Malah sebaliknya, sistem ini adalah sumber dari segala kerusakan dan kedzaliman di muka bumi ini.

Maka dari itu, perlulah suatu sistem yang sejak awal sudah menjaga fitrah-fitrah manusia yaitu sistem Islam. Islam merupakan suatu ideologi yang berasal dari Sang Pencipta, Yang Maha Sempurna. Melalui sistem pemerintahannya, Islam akan mengurusi umat manusia, baik muslim ataupun non-muslim, dalam berbagai aspek kehidupan. Seorang pemimpin dalam Islam, yaitu Khalifah, wajib memberikan hal-hal yang menjadi hak-hak setiap warganya. Demikian pula, khalifah pun wajib mengawasi setiap warganya agar senantiasa melaksanakan hal-hal yang menjadi kewajiban-kewajibannya.

Islam sebagai sistem yang sempurna, telah mengatur dan menjamin berbagai kebutuhan dan hak-hak hidup seluruh umat. Berbagai kebutuhan dan hak-hak tersebut berupa jaminan hak hidup (nyawa), harta, keamanan, maupun berbagai hak-hak umum, seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan lain-lain. Sebagaimana sabda Rasulullah ï·º,

Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Namun, jika terjadi pelanggaran-pelanggaran berupa hak-hak publik, Islam pun telah menyediakan sistem sanksi yang tegas dan adil tanpa pandang bulu yang harus ditegakkan oleh penguasa. Penghormatan Islam atas nyawa manusia juga nampak pada hukum qishas yang merupakan bentuk perlindungan hak hidup. Dari sini, sudah jelas bahwa Islam merupakan sistem yang tidak akan menimbulkan kezaliman-kedzaliman seperti yang dilakukan oleh sistem kapitalisme. Islam yang langsung bersumber dari Sang Khalik mampu menyelesaikan berbagai masalah kehidupan dan mampu mencegah pelanggaran-pelanggaran hak-hak publik di dalam masyarakat.

Wallahu'alam bish-shawwaab.

Posting Komentar

0 Komentar