Oleh: Titin Surtini
Muslimah Peduli Umat
Peristiwa kemacetan panjang yang terjadi di Jambi selama 22 jam berakibat kerugian bukan saja bagi pengusaha truk, tetapi juga mengakibatkan seorang pasien dalam ambulans meninggal dunia.
Kerugian lain yang dialami pengusaha adalah kerusakan dan risiko keterlambatan barang. Apalagi jika barang yang diangkut adalah produk pertanian, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan, risikonya makin besar.
Penyebab kemacetan parah tersebut adalah adanya ribuan truk pengangkut batu bara yang beroperasi saat itu. Dan pemerintah setempat kurang Pengawasan terhadap pengoperasian truk tambang tersebut. Salah satu hal yang dikritisi pengusaha truk adalah AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan hidup) perusahaan tambang. Seharusnya, jika memenuhi AMDAL, perusahaan tambang tidak boleh mengganggu lingkungan. Jika tidak memenuhi AMDAL, izin perusahaan tambang bisa dicabut.
Tetapi pemerintah seakan saling lempar tanggung jawab. Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Irjen Pol Hendro Sugiatno mengatakan, masalah angkutan batu bara bukan berada di wilayah kewenangannya, melainkan ada di kementerian atau lembaga lain.
Sementara itu, menurut Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara Irwandy Arif, sesuai aturan, truk pengangkut batu bara diperbolehkan melewati jalan nasional mulai pukul 18.00 WIB hingga 06.00 WIB. Namun, karena jumlah truk terlalu banyak, terjadilah kemacetan. Irwandy Arif juga mengatakan bahwa ada opsi agar perusahaan tambang membuat jalan sendiri.
Selain di Jambi, kemacetan parah juga terjadi di Kalimantan Timur (Kaltim), Kemacetan terjadi karena adanya kerusakan jalan di jalan poros Kecamatan Sangatta Utara menuju Kecamatan Bengalon yang merupakan jalan nasional.
Mirisnya, sebenarnya sudah ada alokasi dana perbaikan jalan nasional di wilayah Kaltim sebesar Rp1,8 triliun. Namun, anggaran tersebut belum cukup untuk memantapkan jalan-jalan secara keseluruhan.
Jika kita teliti dua kasus kemacetan di Jambi dan Kaltim, tampak bahwa kemacetan tersebut terjadi karena ada salah pengurusan. Jalan nasional yang seharusnya tidak untuk truk tambang, justru didominasi oleh truk tambang sehingga mengganggu pengguna jalan yang lain.
Tambang yang sudah beroperasi sejak lama seharusnya sudah memiliki jalur sendiri sehingga tidak berdampak buruk pada lingkungan sekitar. Namun, hal ini tidak dipenuhi sehingga masyarakat yang menjadi korban. Sikap para pejabat yang saling lempar tanggung jawab juga menunjukkan abainya mereka terhadap urusan rakyat. Padahal, mereka hakikatnya adalah pelayan rakyat.
Aspek lain yang menunjukkan abainya penguasa terhadap pengurusan jalan adalah minimnya anggaran perbaikan jalan. Padahal, keberadaan jalan merupakan hal vital bagi rakyat.
Karena pentingnya jalan, maka negara harus mengurusi jalan dengan serius. Namun, pada era sekarang, jalan tidak terurus dengan baik sehingga berujung nyawa rakyat melayang. Dana perbaikan jalan justru dikorupsi, sedangkan rakyat banyak menjadi korban.
Kondisi ini tidak lepas dari asas sekularisme yang menjadi dasar setiap aktivitas pemerintahan, termasuk dalam pengurusan jalan. Urusan jalan dijauhkan dari aspek ketakwaan sehingga tidak berdasarkan syariat Islam.
Kekuasaan yang seharusnya terfokus justru terbagi pada aktivitas lain, sehingga berakibat pada pembagian jalan menjadi jalan nasional, provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa. Sebenarnya, pembagian jalan tidak masalah jika tanggung jawab tetap terpusat pada penguasa.
Jalan nasional hanya urusan pihak tertentu, sedangkan jalan provinsi urusan pihak yang lain, dan seterusnya. Walhasil, masing-masing lepas tanggung jawab ketika ada masalah dengan berbagai alasan.
Inilah faktanya pemerintahan dalam sistem kapitalisme sekuler. Para penguasa dan aparat tidak berkhidmat melayani rakyat, melainkan sibuk mencari keuntungan sendiri, termasuk dengan menjadi “pelayan” para konglomerat.
Realitas jalan di dalam sistem Islam sungguh berbeda dengan kondisi hari ini. Dalam Islam, jalan dipandang sebagai kepemilikan umum. Setiap orang berhak menikmati fasilitas jalan yang aman dan nyaman sehingga memudahkan mobilitas masyarakat.
Para khalifah di dalam sistem Islam memandang rakyat sebagai tanggung jawabnya. Penguasa bertanggung jawab terhadap seluruh urusan rakyat, termasuk urusan jalan. Penguasa tidak akan mencari keuntungan dari proyek-proyek yang menyangkut kemaslahatan rakyat.
Selain itu, kekuasaan dalam Islam terpusat sehingga seluruh jalan adalah tanggung jawab khalifah, sedangkan terkait teknis perbaikan jalan bisa didelegasikan pada pejabat di wilayah tersebut. Namun, tanggung jawab utama tetap ada pada khalifah.
Begitu perhatiannya Khilafah terhadap urusan jalan sehingga tidak membiarkan ada lubang sekecil apa pun yang bisa membuat pengguna jalan terperosok. Khalifah Umar bin Khaththab berkata, “Seandainya seekor keledai terperosok ke sungai di kota Bagdad, niscaya Umar akan dimintai pertanggungjawabannya dan ditanya, ‘Mengapa engkau tidak meratakan jalan untuknya?’ ”
Inilah profil penguasa dalam sistem Islam, siap bertanggung jawab atas pengurusannya terhadap rakyat, bukan malah lempar tanggung jawab seperti penguasa hari ini.
Adalah Islam yang benar-benar dapat mengatur seluruh kehidupan umat dalam segala lini kehidupan termasuk dalam hal tata kelola jalan. Dengan penerapan aturan Islam secara kaffah dibawah naungan Daulah Khilafah Islamiyyah.
Wallahu alam bissowab.
0 Komentar