IMPOR GULA YANG MERAJALELA


Oleh: Titin Surtini
Muslimah Peduli Umat

Kembali menyoroti masalah pangan, kali ini gula yang menjadi sasaran.

Badan Pangan Nasional (NFA) menugaskan kepada BUMN Pangan untuk mengimpor gula konsumsi. Total impor gula tahun ini adalah 215.000 ton. Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan selama Ramadan, akan masuk gula kristal putih (GKP) sebanyak 99.000 ton dari Thailand, India, dan Australia. (finance detik, Sabtu, 25 Maret 2023). Dan kini Indonesia menjadi importir gula terbesar di dunia.

Menurut Kepala Badan Pangan Arif Prasetyo Adi keputusan impor gula ini merupakan hasil perhitungan Prognosa Neraca Pangan yang disusun Badan Pangan Nasional. Terdata stok gula nasional pada Januari 2023 sebesar 1,1 juta ton, sedangkan kebutuhan gula nasional per bulan tercatat sebesar 283 ribu ton atau sekitar 3,4 juta ton setahun.

Produksi gula tahun ini diperkirakan hanya mampu menghasilkan 2,6 juta ton. Artinya, stok gula nasional kurang. Kekurangan ini harus ditutup oleh pasokan luar negeri, karena akan sulit jika mengandalkan produksi dalam negeri. Langkah ini pun dianggap sudah sesuai arahan Presiden Jokowi demi menjaga stabilitas pasokan dan harga pangan 2023.

Kebijakan pemerintah tentang impor gula secara besar-besaran ini sebenarnya menunjukkan pada rakyat atas ketakmampuan negara dalam mewujudkan kedaulatan pangan dalam negeri. Padahal, Indonesia memiliki tanah yang luas dan subur untuk ditanami tebu sebagai bahan baku gula. Terlebih, dahulu Indonesia merupakan negara penghasil gula terbesar di dunia. Tetapi saat ini justru menjadi negara pengimpor gula.

Banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi antara lain:

Pertama, Faktor alat dan sarana produksi pertanian yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah.

Kedua, Adanya pengurangan bantuan modal pertanian, dengan pencabutan subsidi, mulai dari subsidi bibit hingga pupuk.

Ketiga, Lahan pertanian yang semakin sempit. Ini merupakan persoalan utama menurunnya produksi gula. Para petani tebu yang merugi beralih kepada komoditas yang lain, dan itupun merugi. Akhirnya petani menjual lahan pertaniannya kepada pemilik modal, maka terjadilah alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan.

Keempat, Sewa lahan yang mahal. Kemiskinan yang dialami oleh para petani tebu memaksa mereka menjual lahannya pada tuan tanah. Mirisnya, mereka tidak memiliki keahlian lain selain bertani. Jadilah mereka menyewa lahan pertanian atau sekadar menjadi buruh tani untuk bertahan hidup.

Ketidakmampuan pemerintah dalam memproduksi gula berpangkal pada penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini menjadikan kebutuhan rakyat dipenuhi oleh swasta. Faktanya pabrik-pabrik gula, sebagian besarnya milik swasta asing, distribusi akan tidak merata. Hanya orang yang memiliki uang saja yang bisa memenuhi kebutuhannya, sedangkan tidak bagi rakyat miskin.

Kapitalisme menjadikan hubungan dagang antarnegara sebagai alat untuk menjaga kepentingan negara besar. Negara berkembang seperti Indonesia harus tunduk pada perusahaan asing. Indonesia tidak berdaya atas kedaulatan pangannya sendiri. RI tidak sanggup menghentikan keran impor karena terikat perjanjian dagang internasional.

Sistem kapitalis ini membebaskan penguasaan lahan. Setiap individu bebas untuk mengembangkan dan memperbesar kepemilikan lahan pertaniannya, tanpa syarat. Akibatnya terjadi ketimpangan penguasaan lahan, dan negara tidak akan bisa mengontrol kebutuhan pangannya sebab lahan dikuasai swasta.

Masalah lainya yang terjadi adalah bencana alam, seperti banjir, sebab swasta bebas mengubah tanah subur menjadi perumahan sehingga daerah resapan air hilang.

Kelangkaan komoditas pangan memang menjadi persoalan rumit dalam sistem ekonomi kapitalisme. Berbeda dengan tata kelola sistem ekonomi Islam yang terintegrasi dengan aturan Islam. Seluruh kebutuhan masyarakat akan terpenuhi.

Islam memandang bahwa negara harus menjamin kebutuhan pokok setiap warganya, termasuk gula. Negara akan berkonsentrasi penuh terhadap ketersediaannya sehingga kebijakannya akan fokus pada produksi dan distribusi.

Indonesia sebagai negara agraris, yang lahannya subur dan sumber daya manusia yang banyak sangat pantas jika tercipta swasembada pangan.

Sistem ekonomi Islam memandang bahwa harus ada penyatuan kepemilikan lahan pertanian dengan produksinya.

Islam juga melarang penelantaran lahan pertanian lebih dari tiga tahun. Jika telantar, negara akan mengambil alih dan memberikannya pada siapa saja yang sanggup menghidupkannya.

Oleh karenanya, ketahanan pangan (termasuk gula) hanya akan bisa terwujud jika swasembada pangan bisa dilaksanakan negara, serta produksi dan distribusi ada dalam kontrol negara. Sementara itu, impor hanya akan makin menguatkan cengkeraman penjajahan ekonomi asing di negeri ini.

Negara yang berdaulat penuh termasuk atas pangannya, hanya bisa terealisasi dalam pemerintahan yang mandiri dan menerapkan Islam kafah dalam setiap urusan.

Dengan sistem pemerintahan Islam dibawah naungan Daulah Khilafah Islamiyyah yang Insya Alloh akan segera tegak kembali.

Allohu Akbar.

Wallahu alam bissowab.

Posting Komentar

0 Komentar