Oleh: Titin Surtini
Muslimah Peduli Umat
Untuk mencegah ancaman krisis pangan, Presiden Joko Widodo mengusulkan ide program Food Estate di berbagai wilayah, termasuk di Kalimantan Tengah. Setelah dicoba selama dua tahun ternyata hasilnya gagal. Perkebunan singkong seluas 600 hektare mangkrak dan 17.000 hektare sawah baru tak kunjung panen.
Pengamat pertanian Khudori meragukan konsep food estate ini dapat menjadi solusi ketahanan pangan, karena melihat sejumlah kegagalan konsep food estate sebelumnya.
Khudori mengatakan, program 1 juta hektare (ha) lahan gambut pada 1995 terbukti gagal. Program tersebut dilakukan dengan luas 1.457.100 ha dibagi lima daerah kerja. Dua tahun anggaran, 31.000 ha telah dibuka dan ditempati 13.000 keluarga transmigran. Sementara itu, 17.000 ha sudah dibuka tetapi belum ditempati sehingga masih sisa 1.409.150 ha.
Food estate Ketapang pada 2013 juga dinyatakan gagal. Tercatat ada potensi 886.959 ha lahan, tetapi Pemerintah Daerah Ketapang hanya sanggup menargetkan penyediaan 100.000 ha. “Dua tahun berjalan, hanya 104 ha dari target 100.000 hektare yang bisa ditanami dengan hasil beragam yakni 2,77 – 4,69 ton GKP per ha,” ujar Khudori.
Pada 2012 juga terdapat program food estate Bulungan dengan rencana lahan seluas 298.221 ha. Namun, luas lahan yang dicetak sesuai laporan pemerintah hanya 1.024 ha dan yang berhasil ditanami hanya 5 ha. Khudori menyebut penyebab kegagalan food estate salah satunya berkaitan dengan pola kemitraan korporasi-petani. Hal itu selalu diwarnai konflik kuasa atas tanah.
Hal itu juga terjadi pada program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang digadang-gadang akan mengelola 1,23 juta ha tanah. Saat ini hanya bertahan 400 ha, yang dikelola oleh PT Parama Pangan Papua bermitra dengan petani lokal. “Penyebabnya adalah transmigran yang menjadi tenaga kerjanya hanya menjadi penopang ekspansi agribisnis, hidup tak membaik, hak tanah tak jelas dan rawan pangan”.
Menurut World Resources Institute beberapa alasan food estate bukanlah solusi tepat untuk mencapai ketahanan pangan,
Pertama, masalah utama di Indonesia adalah soal distribusi ketersediaan pangan.
Kedua, adanya keterbatasan akses terhadap pangan yang sehat, karena daya beli yang lemah, kurangnya ketersediaan pangan.
Dan food estate juga tidak akan mampu mendukung kedaulatan pangan.
Sementara itu, food estate hanya menghasilkan komoditas strategis yang bisa diekspor, seperti padi, singkong, dan jagung, sehingga menghilangkan keanekaragaman pangan lokal, ini juga bisa mendiskreditkan praktik pertanian berbasis kearifan lokal yang selama ini sudah diterapkan oleh petani dan masyarakat .
Proyek food estate bisa menjadi bencana bagi lingkungan dan masyarakat. Karena proyek ini mengakibatkan krisis iklim global terkait hutan dan lahan gambut yang mengalami kerusakan akibat dijadikan lahan pertanian atau persawahan, yang sejatinya lahan gambut dan hutan memiliki peran yang sangat penting untuk mencegah bahaya banjir.
Parahnya lagi Masyarakat juga tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan food estate. Ruang hidup mereka terampas oleh tentara dan perusahaan yang ditugaskan untuk mengamankan lahan proyek.
Jika melihat dari fakta yang ada, setiap program dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah hanyalah solusi tambal sulam semata. Bukan solusi hakiki dalam menuntaskan problematik masyarakat. Bahkan, lebih bernilai pencitraan daripada memberikan solusi.
Hal ini terbukti dari gagalnya berbagai proyek food estate ini. Alih-alih memberikan solusi pasti, pemerintah justru terus menerus membangun pencitraan di atas derita rakyat. Inilah watak asli rezim kapitalis-neoliberal. Seluruh kebijakan yang lahir dari rezim neolib hanyalah berorientasi pencitraan demi mempertahankan kursi kekuasaan.
Berbeda dengan sistem Islam yang tidak memiliki ambisi pencitraan dalam menjalankan pemerintahannya. Sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah, hanya memiliki motif untuk melayani umat secara optimal. Berbagai proyek dan kebijakan yang diwujudkan secara real menuntaskan problematik umat.
Dalam Islam negara berkewajiban memenuhi semua kebutuhan pokok bagi rakyatnya, termasuk pangan. Pemerintah dalam Islam jauh dari pencitraan karena memahami bahwa pelaksanaan pemerintahannya akan dipertanggung jawab di hadapan Allah kelak sebagai wujud pelaksanaan amanah.
Begitu pentingnya sektor tersebut sehingga negara Islam akan menjamin persediaan pangan ini dalam kondisi apa pun. Islam memandang bahwa sektor pertanian merupakan salah satu sumber primer ekonomi di samping perindustrian, perdagangan, dan tenaga manusia (jasa).
Jadi jelaslah bahwa hanya sistem Islam yang benar-benar dapat menyelesaikan berbagai masalah umat, dengan penertiban aturan Islam secara kaffah dibawah naungan Daulah Khilafah Islamiyyah.
Wallahualam bissowab.
0 Komentar