CERMIN ABAINYA NEGARA MENYIAPKAN ORANG TUA DALAM MENDIDIK ANAK


Oleh: Nurhayati
Muslimah Peduli Umat

Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Rohika Kurniadi Sari mengatakan bahwa saat ini masih banyak anak Indonesia yang mendapatkan pola pengasuhan tidak layak. Padahal, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 telah mengamanatkan bahwa setiap anak berhak mendapatkan pengasuhan yang layak dari orangtuanya.

Polisi telah menetapkan Mario Dandy Satriyo (20), anak mantan pejabat Ditjen Pajak (DjP) Kemenkeu, sebagai tersangka atas kasus penganiayaan terhadap D (17). Mario dijerat Pasal 76c juncto Pasal 80 UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak subsider Pasal 351 ayat 2 KUHP. Sementara itu, Shane (provokator dan perekam tindakan brutal Mario terhadap D) dijerat Pasal 76c juncto Pasal 80 UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak subsider Pasal 351 KUHP.

Sungguh, publik baru saja sedikit lega setelah kasus Brigadir J tuntas dengan jatuhnya vonis kepada Sambo c.s., tetapi tidak sedikit pula warganet yang menganggap kasus Mario mirip Sambo, bahkan menyebut Mario sebagai Sambo U-20. Apa pun itu, yang jelas kasus Mario ini bikin gaduh bagai genderang ditabuh.

Berdasarkan semua itu, publik pun setuju bahwa Mario adalah wujud anak salah asuh. Hal ini juga tampak dari dugaan pakar kriminologi dan kepolisian Adrianus Meliala bahwa kemungkinan Mario memiliki trauma masa kecil. Menurut Adrianus, beberapa anak yang sudah dewasa yang tidak terkontrol emosinya, bisa jadi pernah mengalami trauma pada masa balita.

Ini sejalan dengan informasi dari Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Rohika Kurniadi Sari pada tahun 2022 bahwa masih banyak anak Indonesia yang mendapatkan pola pengasuhan tidak layak. Menurut Rohika, berdasarkan data Susenas 2020, terdapat 3,73% balita yang pernah mendapatkan pola pengasuhan tidak layak. Selain itu, ada 15 provinsi dari 24 provinsi yang memiliki pola pengasuhan di bawah rata-rata Indonesia.

Di samping itu, terdapat UU 23/2002 yang mengamanatkan bahwa setiap anak berhak mendapatkan pengasuhan yang layak dari orang tuanya. Rohika juga menegaskan bahwa pengasuhan anak merupakan salah satu agenda nasional untuk memberikan yang terbaik bagi anak. Pengasuhan yang tidak layak mengakibatkan berbagai dampak negatif bagi perkembangan anak karena pemenuhan hak-hak anak tidak terpenuhi dengan baik, seperti hak kesehatan dan hak perlindungan.

Pengasuhan yang tidak layak, lanjut Rohika, akan menimbulkan perasaan mudah tersinggung dan mudah putus asa bagi anak. Kondisi ini bahkan dapat mengakibatkan anak memiliki daya juang yang lemah. Dalam hal ini, imbuh Rohika, orang tua memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk memberikan pengasuhan yang baik, termasuk memberi semangat, pujian, menghargai waktu, dan lain sebagainya.

Islam menekankan pentingnya kesiapan mental bagi seorang muslim menyambut masa balig yang pada saat itu dirinya akan menjadi mukalaf (seseorang yang telah terbebani pelaksanaan hukum syarak di dunia dan dirinya harus sadar akan pertanggungjawaban di akhirat kelak).

Islam juga memiliki khazanah keilmuan dan tsaqafah tentang pernikahan, hukum seputar keluarga, peran penting menjadi orang tua, serta sistem pola asuh anak sejak masih dalam kandungan, bayi, balita, anak-anak, prabalig, hingga balig.

Proses pengasuhan kepada anak ternyata tidak melulu soal kehadiran orang tua secara fisik, alih-alih sekadar kucuran materi dan fasilitas hidup. Akan tetapi, juga perihal ketakwaan sehingga menghasilkan pemikiran pada anak, bahwa hanya dengan Islam sajalah yang layak menjadi cara pandang terhadap kehidupan. Di samping itu, mutlak bagi seorang ayah memberikan nafkah yang berasal dari rezeki yang halal.

Selanjutnya, anak-anak kita membutuhkan lingkungan sosial yang kondusif yang akan membantu menciptakan atmosfer sehat bagi pendidikan dan pemikiran mereka. Masyarakat tersebut adalah masyarakat Islam yang juga menjadikan Islam sebagai standar kehidupan.

Tidak lupa, kita membutuhkan suatu negara dengan tata aturan kehidupan berdasarkan Islam kafah sebagaimana Khilafah sejak masa Rasulullah ﷺ, khulafaurasyidin, dan khalifah setelah mereka. Ini sebagai langkah mempersiapkan generasi muda muslim yang teguh memegang ajaran Islam, yang lahir dari keluarga-keluarga muslim miniatur peradaban Islam.

Khilafah juga akan menerapkan sejumlah sistem penunjang bagi fondasi akidah yang sudah tertanam dari keluarga. Khilafah akan menerapkan sistem pendidikan Islam dalam rangka menghasilkan generasi berkepribadian Islam sekaligus calon pemimpin peradaban.

Sungguh, jangan biarkan lahir Mario-Mario lainnya, yang meski berkecukupan, tetapi memiliki cara pandang yang salah terhadap kehidupan. Allah Taala berfirman,

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Ar-Ruum [30]: 30).

Wallahualam bissawab

Posting Komentar

0 Komentar