Oleh: Dewi Purnasari
Aktivis Dakwah Politik
Majelis Nasional Agung Turki secara resmi menyatakan bahwa Turki telah menjadi negara republik pada Oktober 1923. Kemudian kekuasaan yang semula berada di tangan khalifah Abdul Majid II secara resmi diserahkan kepada Mustafa Kemal sebagai presiden dan Ismet Pasha sebagai Perdan Menteri. Pada situasi itu, Agha Khan, seorang penganut Syiah Ismailiyah memanfaatkan kesempatan untuk mencari muka dalam kekuasaan Mustafa Kemal yang baru berdiri.
Dalam sebuah suratnya yang disebar luaskan di kalangan pejabat Turki, Khan mengklaim, bahwa Islam sebagai kekuatan moral dan pemersatu global telah kehilangan pengaruhnya di kalangan penganut Sunni, karena menurunnya martabat dan wibawa khalifah, termasuk pengaruh dan kekuatannya. Kemudian dengan mengklaim dirinya sebagai juru bicara Islam Sunni, Khan berpendapat bahwa hilangnya kekuasaan duniawi tidaklah relevan, karena selama ini khalifah hanya bertugas menobatkan gelar pada para pemuka agama untuk dapat memimpin wilayah dan ritual ibadah semata. Menurutnya itu tidak berbeda dengan otoritas sekuler.
Khan juga menyarankan, bahwa jika khalifah ingin mempertahankan posisi Islam sebagai kekuatan moral yang besar di dunia, maka posisi dan martabat khalifah tidak boleh lebih rendah dari posisi Paus di Roma.
Kicauan Agha Khan ini kemudian segera direspon oleh Mustafa Kemal dan pendukungnya dengan menyatakan bahwa intervensi para pelaku ‘bidah’ tersebut merupakan upaya untuk meruntuhkan republik yang baru saja terbentuk. Selanjutnya Mustafa Kemal juga menyatakan, bahwa khilafah memang harus dihapuskan agar institusi itu tidak dimanfaatkan sebagai instrumen politik yang dimainkan.
Upaya men-sekularisasi-kan posisi khalifah yang dilakukan Kemal dan antek-anteknya sejak 1922 tidak menimbulkan reaksi yang signifikan. Umat Islam saat itu tidak merespon upaya Kemal dan pendukungnya ini dengan reaksi seperti yang mereka harapkan. Namun, penghapusan simbol persatuan Umat Islam yang dilakukan Kemal pada 3 Maret 1924, tidak bisa dipungkiri membuat marah para pendukung khilafah di Turki. Pengusiran Khalifah Abdul Majid II ini juga memicu reaksi internasional berupa ketidakpercayaan dan kemarahan pihak-pihak yang semula meragukan kekuatan gerakan Kemalis.
Di Turki kemudian terjadi pergolakan rakyat yang dilakukan secara masif di Istambul dan Anatolia bagian Barat Laut, Selatan, dan Tenggara. Mereka serempak menentang penghapusan kekhilafahan, namun semua para pemrotes ditindak dengan hukuman mati, sesuai pasal dalam Hukum Penghianatan yang diamandemen.
Pada periode itu, penduduk Kurdi yang pernah merespon seruan jihad dari Khilafah Utsmani dalam Perang Dunia I, melakukan pemberontakan di bawah kepemimpinan Syekh Said. Bahkan Kepala pengadilan militer juga turut membela khilafah.
Kekecewaan atas penghapusan khilafah juga menggema dari Albania hingga Libya. Para ulama di Tripoli, Libya, menulis surat terbuka kepada Mustafa Kemal untuk mengungkapkan penentangan mereka, dan menyampaikan bahwa khilafah adalah esensi kehidupan Islam, sebagaimana jiwa bagi tubuh. Dari mimbar masjid Umayyah di Damaskus, Syekh Abdul Qadir Al-Muzaffar menyampaikan khutbah, bahwa Khilafah Utsmani adalah pembela kehormatan umat Islam di dunia, dan merupakan jawaban atas harapan kaum Muslimin akan pembebasan.
Dalam sebuah pesan kepada Republik Turki yang diterbitkan di Pioneer Mail pada tanggal 14 Maret 1924, Komite Khilafat mendesak Mustafa Kemal untuk menegakkan kembali khilafah dan Islam. Dalam pesan tersebut juga dinyatakan, bahwa penghapusan secara tiba-tiba kekhilafahan Islam merupakan tindakan menentang agama Islam.
Mustafa Kemal menjawab pesan tersebut dengan menyatakan bahwa, khilafah telah dilengserkan. Sementara, karena makna khilafah itu telah tercakup dalam makna pemerintah dan republik, maka jabatan khalifah tidak lagi diperlukan. Ia juga menekankan bahwa jabatan khalifah di Republik Turki terbukti mengganggu kesatuan politik di dalam dan di luar Turki.
Bersambung ke: [Part 2]
0 Komentar