Oleh: Honriani Nst
Masih segar dalam ingatan tentang rekomendasi edan yang dihasilkan pada muktamar internasional fikih peradaban I, pada bagian akhir rekomendasi disebutkan: “Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berikut piagamnya memanglah tidak sempurna dan harus diakui masih mengandung masalah hingga saat ini. Namun demikian piagam PBB itu dimaksudkan sejak awal sebagai upaya untuk mengakhiri perang yang amat merusak dan praktik-praktik biadab yang mencirikan hubungan internasional sepanjang sejarah manusia. Karena itu, Piagam PBB dan PBB itu sendiri bisa menjadi dasar yang paling kokoh dan yang tersedia untuk mengembangkan fikih baru guna menegakkan masa depan peradaban manusia yang damai dan harmonis”.
Penulis memahami ada beberapa maksud yang hendak disampaikan para penggagas rekomendasi ini:
Pertama, Adanya pengakuan dari para ulama yang hadir dalam forum tersebut bahwa Piagam PBB tidak sempurna dan mengandung banyak masalah.
Anehnya, para ulama sudah mengakui ketidaksempurnaan piagam PBB namun tetap lebih memilih Piagam PBB daripada ajaran Islam yang sudah terjamin kesempurnaanya dari Sang Pemilik Kehidupan ini. Bahkan hingga saat ini PBB tak mampu menepis fakta bahwa atas restunya Yahudi semakin leluasa membangun pemukiman di bumi Palestina. Berbagai resolusi menolak pemukiman itu hanya sebuah himbauan di atas kertas yang mudah dilanggar oleh Israel. Bahkan usaha sebagian negara yang mengajukan resolusi penolakan pemukiman itu pun selalu dihalang-halangi seperti apa yang sedang diupayakan UEA saat ini. (internasional.republika.co.id)
Pertanyaannya, pantaskah para ulama ini dikatakan sebagai pewaris para Nabi? Jika mereka pewaris para Nabi, tentu mereka akan memperjuangkan hingga titik darah penghabisan agar Islam yang digunakan untuk mengatur urusan umat manusia di dunia, bukan menjadikan Piagam PBB yang dirancang oleh orang-orang kafir!
Kedua, Adanya pengakuan para ulama yang hadir dalam muktamar ini bahwa Piagam PBB masih mengandung masalah hingga saat ini. Jika sudah difahami bahwa suatu perkara masih mengandung masalah namun tetap menjadikan perkara tersebut sebagai landasan membangun perubahan sudah bisa dipastikan bahwa perubahan yang dihasilkan merupakan perubahan ke arah yang lebih buruk dari kondisi saat ini. Jika saat ini PBB tak mampu menyelesaikan masalah Palestina dan memang tak mampu, maka bisa diprediksi bahwa di masa yang akan datang makin banyak masalah kekacaauan yang akan dihasilkan dari piagam PBB yang fasad ini. Bukankah orang yang bersikap seperti ini lebih bodoh dari keledai bodoh yang masih mau masuk ke dalam lubang yang lebih dalam?
Ketiga, adanya pembelaan para ulama yang hadir dalam muktamar terhadap piagam PBB hanya karena terhipnotis dengan tujuan awal PBB sebagai upaya untuk mengakhiri perang yang amat merusak dan praktik-praktik biadab yang mencirikan hubungan internasional sepanjang sejarah manusia. Pembelaan ini jelas merupakan pembelaan yang didasari atas kebodohan tentang hakekat berdirinya PBB itu sendiri. Jika kita meneliti sejarah berdirinya PBB maka akan diperoleh sebuah fakta bahwa keberadaan PBB merupakan perkumpulan para pemimpin negara-negara yang telah menyebabkan terjadinya perang dunia I dan perang dunia II.
Tidak ada satu pun dari negara pendiri PBB itu yang mewakili umat Islam, karena sejatinya PBB didirikan bertujuan untuk mencegah munculnya kembali peradaban Islam di bawah naungan khilafah Islamiyyah yang sudah mereka runtuhkan menjelang Perang Dunia I. Sejak itulah muncul nation state di Kawasan Asia Afrika, dan menjadikan agen-agen mereka sebagai pemimpin pada negara-negara yang terbentuk.
Artinya nation state itu tak lain merupakan negara boneka perpanjangan tangan penjajah, dengan penjajahan gaya baru yaitu penjajahan ekonomi dan budaya. Buktinya, para pemimpin di nation state menjadikan ekonomi ribawi 'ekonomi yang diharamkan Allah' untuk menjalankan roda perekonomian di negara nation state dan memandang budaya Barat sebagai budaya yang maju. Aneh saja jika akhirnya, muktamar itu menghasilkan rekomendasi yang mendukung nation state dan menolak khilafah. Bukankakh ini laksana seorang anak yang membela pembunuh ibunya?
Keempat, Adanya kerusakan iman di kalangan mereka dengan pengakuan mereka bahwa “Piagam PBB dan PBB itu sendiri bisa menjadi dasar yang paling kokoh dan yang tersedia untuk mengembangkan fikih baru guna menegakkan masa depan peradaban manusia yang damai dan harmonis”. Hal ini jelas menunjukkan bahwa mereka lebih meyakini kemampuan Piagam PBB dari pada ajaran Islam untuk mewujudkan kehidupan yang damai dan harmonis. Sungguh pernyataan mereka ini secara tidak langsung sudah mengeluarkan mereka dari posisi ulama sebagai pewaris para nabi dan menjadi ulama suu’ yang menjuall ayat-ayat Allah demi meraih kemewahan dunia.
Sebagai penutup, melihat isi rekomendasi edan dan kondisi perpolitikan dunia saat ini membuat Penulis teringat pada ayat cinta dari Allah ﷻ berikut:
فَأَيْنَ تَذْهَبُونَ (26)
Fa aina taż-habụn
Maka ke manakah kalian akan pergi? (TQS At-Takwir: 26)
Ayat ini ditafsirkan oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya yakni dipergunakan untuk apa akal kamu bila kamu mendustakan Al-Qur'an ini, padahal Al-Qur'an begitu jelas, terang, dan gamblang bahwa ia benar dari sisi Allah ﷻ. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakar As-Siddiq r.a. kepada delegasi Bani Hanifah, ketika mereka datang dalam keadaan telah masuk Islam. Lalu Abu Bakar r.a. memerintahkan kepada mereka untuk membacakan sesuatu dari bacaan Musailamah Al-Kazzab yang sangat kacau lagi melindur itu. Setelah hal itu dibacakan kepada Abu Bakar r.a., maka Abu Bakar r.a. berkata, "Celakalah kalian, ditaruh dimanakah akal sehat kalian? Demi Allah, sesungguhnya ucapan itu bukanlah datang dari Tuhan."
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Maka ke manakah kalian akan pergi?” (At-Takwir: 26) setelah meninggalkan Kitabullah dan ketaatannya kepada-Nya?
0 Komentar