Oleh: Nasrudin Joha
Pengamat Politik dan Aktivis Islam
Kamis, 26 Januari 2023, Wahyu Rahmansyah, Abu Hafidz, Ustadz Wahyu Abu Fawwaz, Zakariya dan Ahmad Khozinudin. Membuat acara diskusi dengan topik "Pemilu 2024 dan Masa Depan Politik Islam: Demokrasi atau KHILAFAH?"
Ahmad Khozinudin mendapatkan kesempatan pertama. Pada kesempatan tersebut, Ahmad Khozinudin menawarkan beberapa analisis konstelasi politik dan rekomendasi gerakan politik Islam untuk Pilpres 2024, kira-kira sebagai berikut:
Pertama, tidak ada jaminan bahwa pemilihan umum atau pemilihan presiden tahun 2024 akan berlangsung sesuai jadwal. Dibandingkan dengan Pilpres 2019 sebelumnya, suasana menjelang Pilpres 2024 justru sarat dengan “konsolidasi diskursif” untuk membuat petahana mempertahankan atau setidaknya memperpanjang usia kekuasaannya.
Pada akhirnya, rapat kepala desa dan kader desa untuk menuntut pemilihan presiden kembali bukanlah kegiatan biasa yang tidak terkoordinasi. Ada upaya terstruktur, sistematis, dan berskala besar, dilanjutkan dengan beberapa manuver kampanye sebelumnya seperti mengumpulkan APDESI (Asoasi Pemerintahan Daerah Seluruh Indonesia), untuk menyiapkan prasyarat memperpanjang usia Jokowi dalam kekuasaan.
Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan mengamandemen konstitusi untuk tiga masa jabatan presiden, mengamandemen konstitusi untuk mengesahkan atau mengeluarkan keputusan. Ketetapan tersebut bisa berupa penundaan pilkada untuk memperkuat kekuasaan Jokowi, atau mengembalikan UUD 1945 agar parlemen bisa sepenuhnya menyelenggarakan pilpres.
Semua cara konstitusional dapat dibatasi oleh amandemen atau keputusan presiden. Semua dukungan terhadap lembaga peradilan (MK), elit politik, partai politik, legislator bisa dikondisikan.
Hambatan untuk melaksanakan rencana tersebut hanyalah masalah persepsi publik dan kehendak masyarakat. Sedangkan untuk APDESI, menggunakan model suap untuk mengumpulkan kepala desa dan kader desa adalah langkah awal untuk meningkatkan dukungan opini publik untuk mendukung mekanisme perpanjangan masa jabatan Jokowi.
Karena itu, bagi Anda yang masih sibuk copras-capres, sibuk membentuk relawan ini dan itu untuk mendukung calon presiden, penulis mengingatkan. Mungkin tidak ada pemilihan presiden pada tahun 2024, jadi jangan sia-siakan energi Anda untuk memperjuangkan copras-capres.
Kedua, banyak gerakan Islam yang tidak memiliki tujuan yang jelas. Kalaupun punya visi Islami, itu sebatas menginginkan umat Islam memiliki jabatan.
Tidak ada kesadaran kolektif akan pentingnya Islam berkuasa, bukan sekedar menjadikan si fulan sebagai penguasa, memegang kekuasaan (menjadi presiden, anggota DPR, bupati, anggota DPRD), tetapi mampu menjadikan aturan Islam sebagai hukum yang dilaksanakan dan di sahkan pada tingkat negara, pada tingkat pelaksana kekuasaan.
Karena itu, gerakan umat Islam tampak terkotak-kotak dan terpecah-pecah daripada bersatu, karena Impian mereka belum memiliki pandangan yang sama. Politisinya juga tidak berorientasi pada diterapkannya hukum syariah, tetapi masing-masing sibuk menyiapkan kadernya untuk memerintah melalui mesin politik pemilu 2024.
Ketiga, Ummat Islam perlu menggunakan visi qona'ah (keyakinan) dan parameter (ukuran) yang sama tentang apa yang menjadi visi perubahan dan kebangkitan Islam. Perubahan dan kebangkitan yang diperjuangkan adalah usaha dan upaya terbaik untuk mentransformasikan demokrasi sekuler dari sistem sekuler menjadi sistem Islami, yang ditandai dengan penerapan penuh hukum Syariah di tingkat nasional.
Umat Islam harus memiliki parameter yang efektif untuk perubahan dan kebangkitan, yakni melalui pembentukan lembaga penegak hukum Islam, di bawah naungan daulah Khilafah. Singkatnya, parameter perubahan dan kebangkitan Islam ditandai dengan berdirinya Daulah Islam yaitu Khilafah.
Kemudian pada saat itu, barulah umat Islam dapat mengerahkan seluruh tenaga, waktu, pikiran, dan uangnya untuk kehidupan mereka guna mencapai tujuan kebangkitan Islam. Semua investasi perjuangan harus diarahkan pada visi ini bukan malah copras-capres, agar umat Islam bisa merasakan qona'ah dalam perjuangan tanpa takut dikhianati oleh calon presiden sebagaimana yang mereka rasakan di Pilpres 2019.
Inilah visi bersama umat Islam, visi yang lebih realistis daripada visi copras-capres. Sebuah visi yang tidak dapat ditembus oleh kepentingan dunia dan yang dapat menghilanati. Visi ini menjadikan tujuan izzul Islam wal Muslimin sebagai prioritas gerakan amal.
Harus diakui, tidak semua umat Islam memahami atau setuju dengan visi ini. Dakwah sangat terkait dengan penguatan agar umat Islam faham akan pentingnya Khilafah ala minhajin Nubuwah yang berasaskan keimanan dan cita-cita yang dijiwai dengan semangat menegakkan syariat Islam secara tegas dan menyeluruh.
Pesan yang disampaikan pada diskusi ini adalah ketika menginginkan transformasi radikal di kalangan umat Islam, maka visi dan misi harus bergeser dari hanya ingin mengangkat umat Islam ke tampuk kekuasaan menjadi mengangkat Islam agar berkuasa di negeri ini.
MasyaAllah, jika negeri ini menjadi Madinah kedua, indah sekali. Ketika menjadi titik tolak kebangkitan Islam dengan berdirinya Khilafah di tanah air. Umat Islam kemudian kembali memimpin dunia, menyebarkan Islam rahmatan lil alamin ke seluruh pelosok dunia, sebagaimana Khilafah Islam memperolehnya di masa lalu. Karena itu dapat disimpulkan masa depan umat Islam adalah Khilafah, bukan demokrasi.
0 Komentar