Oleh: Nasrudin Joha
Pengamat Politik dan Aktivis Perubahan
Menteri Agama Yaqut telah mengusulkan kenaikan biaya haji pada saat otoritas Saudi menurunkan biaya haji sebesar 30%. Kenaikannya bukan satu atau dua juta, melainkan melonjak dari harga sebelumnya rata-rata Rp. 40 juta rupiah menjadi Rp. 69 juta rupiah.
Alasannya, harga tiket pesawat, akomodasi, hotel naik dan Dolar juga naik. Seenaknya saja, tanpa menunjukkan hasil audit keuangan dana haji, langsung menambah biaya haji.
Padahal, menurut Anggito Abimanyu, Kepala Badan Pelaksana Otoritas Keuangan Haji (BPKH), per Mei 2021, pembiayaan haji sudah mencapai Rp. 150 triliun.
Dia mengatakan jumlah itu seharusnya tetap aman, tanpa hutang akomodasi Arab Saudi dan tidak ada konfigurasi infrastruktur yang menimbulkan risiko tinggi terhadap dana haji. Anggito juga menambahkan, dalam laporan keuangan BPKH tahun buku 2020 yang terakhir, tidak ada utang yang tercatat dalam kewajiban BPKH kepada penyelenggara layanan haji Arab Saudi.
Anggito mengatakan pada tahun 2020, BPKH memiliki surplus keuangan lebih dari Rp. 5 triliun dan dana yang di kelolaan tumbuh lebih dari 15%. Hal tersebut tertuang dalam laporan keuangan tahun 2020 dengan status unaudited.
Yang jadi pertanyaan, apakah dana haji likuid (aset yang bisa diubah menjadi uang tunai tanpa mengurangi nilainya secara drastis)? Atau hanya klaim semata?
Sebelumnya, Anguito sudah lantang meyakinkan bahwa persoalan uang tak jadi masalah karena haji 2020 sudah usai. Jemaah haji tidak berangkat, sehingga tidak diperlukan arus kas untuk memberangkatkan jemaah.
Tahun ini ada kesepakatan yang ditandatangani oleh Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Agama (Menag) Republik Indonesia, dan Tawfiq F Al Rabiah, Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi, menyepakati kuota haji Indonesia sebesar 221.000 jamaah untuk tahun 2023.
Karena itu, uang tunai yang harus tersedia untuk memberangkatkan jamaah sejumlah 221 ribu orang di total dengan nominal Rp. 40 juta, seharusnya sudah ada sekitar Rp. 8,85 triliun. Apakah BPKH punya dana itu?
Yang dikhawatirkan uang BPKH hanya berupa catatan, sedangkan dana aslinya mengalir ke proyek infrastruktur, ke bandara Kertajati yang mangkrak. Jadi takutnya mereka tidak punya uang tunai untuk mengirim jemaah yang sudah masuk daftar tunggu.
Untuk mendapatkan uang tunai, ya harus mengambil uang dari jemaah baru yang ingin mendaftar haji. Karena kebutuhan uang tunai yang besar, biaya haji meningkat menjadi Rp. 69 juta, dan anggaran kumulatif memungkinkan untuk memberangkatkan 221.000 jemaah sesuai kuota.
Jaminan keberangkatan jemaah haji ke Tanah Suci tidak berasal dari uang yang mereka bayarkan. Tapi itu tergantung penggalangan dana untuk calon jemaah haji baru.
Ini seperti skema Ponzi. Keuntungan yang dibagikan kepada investor bukan dari keuntungan perusahaan, melainkan dari dana investor itu sendiri yang diambil dari dana investor baru. Selama ada investor baru yang tertipu, margin akan dibagi. Begitu investor baru berhenti, pola penipuan terungkap, dimulai dengan tidak ada pembagian keuntungan hingga dana hilang.
Masa alur untuk ibadah haji seperti skema Ponzi? Karena itu agar tidak jadi fitnah bahwa dana haji menggunakan skema Ponzi, segera audit dana haji! Biaya haji tidak boleh naik sampai BPK mengaudit dana haji. Sungguh terlalu, main-main dengan ummat dengan menaikkan biaya Haji.
0 Komentar