MINYAK GORENG KEMBALI LANGKA, SEBUAH IRONI DI NEGERI SURGA SAWIT


Oleh: Soelijah Winarni

Sangat tidak wajar kondisi langka dan harga tinggi justru terjadi pada minyak goreng, minyakita, yang diproduksi untuk menyokong ketersediaan minyak goreng di masyarakat karena Indonesia dikenal sebagai produsen cpo terbesar di dunia. Ada 3 kebijakan Mendag, Zulkifli Hasan dalam mengatasi hal tersebut, yaitu pertama, wajib pakai ktp bagi pembeli minyakita dibatasi maksimal 5 kg hanya untuk konsumsi pribadi bukan untuk diperjualbelikan lagi (liputan6.com, 4/2/2023). Kedua, bagi pedagang tak boleh menjual di atas 14 ribu/kg yang jika melanggar akan ditindak tegas oleh satgas pangan (trenasia.com, 4/2/2923). Ketiga, Kemendag siap supply 450 ribu ton minyakita ke pasar tradisional (zonabanten.pikiran_rakyat, 3/2/2023). Namun dengan kebijakan-kebijakan tersebut harga minyak goreng masih tinggi dan langka di masyarakat.

Hal ini membuktikan adanya praktek kartel yaitu kerjasama antara pengusaha dan produsen minyak kelapa sawit. Keberadaan kartel yang hanya menguntungkan segelintir orang tentu saja menyusahkan rakyat dan sejatinya sudah diketahui banyak pihak, namun sanksi hukum yang tidak tegas dalam menindak membuat para cukong minyak goreng susah untuk ditangkap.

Syekh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab Nidzomul Islam bab Qiyadah Fikriyah menjelaskan sistem kapitalisme membuat para pemilik modal menjadi penguasa sesungguhnya dalam suatu negara. Dapat dilihat dalam hal kelangkaan minyak goreng ini bagaimana negara tidak bisa menindak tegas pada pemilik modal yang berperan sebagai kartel penyebab kelangkaan minyak goreng. Solusi yang diambil melalui semua kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut bersifat pragmatis serta berakibat menyengsarakan rakyat. Fungsi negara yang seharusnya mengurus rakyatnya justru hanya sebagai regulator kebijakan yang tunduk pada perintah pemilik modal.

Dalam sistem Islam yang secara fiqih disebut khilafah, negara melaksanakan tugasnya sebagai khadimatul ummah / pelayan ummat, sebagaimana perintah Rasulullah ï·º yang termaktub dalam hadits: "Imam/khalifah adalah ra'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya". (HR. Al Bukhari).

Maka urusan minyak goreng yang termasuk kebutuhan pokok rakyat akan jadi perhatian ketersediaannya oleh Khalifah. Hal tersebut terjadi karena:

1. Terkait pasokan dan permintaan, maka ada 5 mekanisme yang akan dilakukan:
  • Khalifah tidak akan intervensi harga sebagaimana kebijakan penguasa kapitalisme saat ini, karena pematokan harga dilarang dalam Islam, Rasulullah ï·º bersabda: "Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum muslimin untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah ï·» untuk mendudukannya dengan tempat duduk dari api pada kiamat kelak".(HR. Ahmad, Al-Hakim, Al-Baihaqi).
  • Harga jual akan diserahkan berdasar mekanisme harga pasar. Konsep ini akan membuat seluruh lapisan masyarakat bisa menjangkau harganya.
  • Khalifah diperbolehkan mengintervensi barang yang didatangkan dari luar wilayah sehingga ketersediaanya menjadi normal. Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khatab ra., saat kepemimpinan beliau pernah memerintahkan Gubernur yang berada di sekeliling Hijaz agar mengirimkan barang yang dibutuhkan ke wilayah yang diserang wabah yang membuat pasokan berkurang.
  • Khilafah boleh mengambil sejumlah hutan milik umum untuk ditanami sawit kemudian mengolahnya dan hasilnya diberikan kepada rakyat.
  • Khilafah juga bisa menanggung biaya operasionalnya sehingga harga menjadi murah.

2. Terkait penimbunan, jika hal ini yang terjadi hingga menyebabkan kelangkaan, maka Khalifah menerapkan sanksi ta'zir kepada pelaku karena perbuatan mereka membuat masyarakat tidak tenang. Sanksi dalam Islam memiliki ciri khas yakni ketika diterapkan akan memberi efek jawabir sebagai penghapus dosa dan zawajir sebagai pencegah kejahatan.

Dengan konsep ini Khilafah dapat menjamin ketersediaan minyak goreng di kalangan masyarakat dan meminimalisir polemik minyak goreng hingga tak berlarut-larut.

Wallahu'alam bishshawwab.

Posting Komentar

0 Komentar