Oleh: Nasrudin Joha
Pengamat Politik dan Aktivis Islam
Anies Baswedan disebut berutang pada Sandiaga Salahudin Uno yang jumlahnya mencapai Rp. 50 miliar. Kabarnya Sandiga telah menganggap lunas utang tersebut, yang berarti Anies tidak perlu membayar biaya apapun lagi kepada Sandiga.
Tentu kita perlu mengetahui motivasi pengungkapan utang ini. Karena sebelumnya masalah utang ini tidak pernah dipublikasikan. Namun saat ini masalah utang ini "dibocorkan" ke publik setelah tiga parpol berkomitmen untuk mencalonkan Anies.
Anies tidak membantah, dan melalui Hendri Satrio Anies mengaku berutang pada Sandiaga sebesar Rp. 50 miliar. Utang tersebut memiliki 3 esensi yaitu:
- Utang untuk kampanye Pilgub DKI, bukan untuk Anies pribadi.
- Jika Anies kalah dalam Pilkada, utang harus dilunasi oleh Anies secara pribadi.
- Jika Anies menang Pilkada, utangnya "dianggap lunas".
Tak lama kemudian, foto dokumen konfirmasi utang yang ditandatangani Anies Baswedan pada 9 Maret 2017 beredar di media sosial.
Isinya benar, Anies berutang pada Sandiaga sebesar Rp. 50 miliar rupiah dengan total dana kampanye yang dibutuhkan Anies saat itu adalah sebesar Rp. 92 miliar rupiah. Namun, jika Anies menang, utangnya "dianggap lunas".
Akan tetapi dokumen yang beredar ini tidak memberikan kepastian dan ketenangan bagi masyarakat, karena dokumen tersebut justru menegaskan beberapa hal, antara lain:
Pertama, sistem politik demokrasi itu sangat mahal, sehingga mengharuskan kandidat merogoh kocek, mencari utang atau mencari investor politik (oligarki). Jelas, sistem mahal seperti ini pada akhirnya memaksa para pemenang untuk melayani para oligarki yang mendanai mereka untuk menjadi penguasa.
Apa yang dialami Anis yaitu dipaksa berhutang untuk mencalonkan diri di Pilkada juga diduga dilakukan oleh calon lain saat itu dan jika kita bandingkan biaya politiknya Ahok tentu saja jauh lebih besar.
Kedua, sistem politik mahal ini yang membuat para pemimpin masa depan menjadi beringas untuk mencari pendanaan politik dengan cara apa pun dari mana pun.
Seperti diketahui, menurut LHKPN, kekayaan Anies Baswedan hanya Rp. 10,9 miliar sedangkan utangnya Rp. 7,6 miliar. Ini adalah perilaku "gila" dan super nekat yang bisa juga dikatakan "judi". Meski harta Anis hanya Rp. 10,9 miliar rupiah, ia berani berutang pada Sandiaga sebesar Rp. 50 miliar rupiah.
Penulis masih berpikir, jika pemilihan kemarin Anies kalah, apakah Anies masih bisa melunasi utangnya? Apakah utang Anies ke Sandiaga bisa lunas tanpa 'menang Pilkada'?
Benarkah Sandiaga mengiklaskan begitu saja Rp. 50 miliar saat Anies menang? Atau ada kompensasi berupa proyek dari APBD DKI Jakarta?
Ketiga, politik demokrasi faktanya tidak memiliki teman sejati, hanya teman kepentingan. Katanya Sandiaga sudah mengiklaskan Rp. 50 miliar, kenapa diungkit lagi? Kenapa tidak dikubur saja cerita utang Rp. 50 miliar ini karena bukan hanya memalukan Anies tapi juga Sandiaga sendiri.
Bisa kita baca bahwa tindakan tersebut dilakukan mempunyai motif untuk menurunkan elektabilitas Anies Baswedan. Karena jika Prabowo dari Gerindra mencalonkan diri sebagai capres pada Pilpres 2024, popularitasnya akan kalah dari Anies.
Jadi, persahabatan Anies dan Sandiaga ataupun Anies dan Gerindra yang dulu berteman dekat di Pilkada DKI Jakarta kini menjadi musuh. Ini menegaskan bahwa memang tidak pernah ada kawan sejati dalam demokrasi.
Keempat, masalah utang ini terkesan memberatkan Anies, namun utang Prabowo kepada para pendukungnya yang lebih besar, entah itu utang waktu, ide, tenaga atau donasi tidak dipermasalahkan. Karena itu, kita bisa memaklumi bahwa masalah utang Anies ini diserang sebagai komoditas politik.
Kelima, yang paling memprihatinkan adalah pertanyaan yang menggantung di benak publik, berapa utang yang dipikul Anies untuk kampanye presiden 2024? Selama Pilkada DKI 2017 saja Anies berhutang kepada Sandiaga sebesar Rp. 50 miliar. Berapa hutang Anies untuk pemilihan presiden? Rp. 100 miliar rupiah? Rp. 500 miliar rupiah? Rp. 1 triliun rupiah? Kepada siapa? Apakah nanti juga dianggap lunas ketika Anies menang pilpres?
Tentu saja pinjaman atau investasi politik oleh oligarki tidak memiliki tujuan sukarela ataupun untuk beramal. Tidak ada yang namanya makan siang gratis. Apalagi di alam kapitalis seperti saat ini, semua investasi memiliki pamrih.
Sistem politik yang demokratis sepenuhnya dikendalikan oleh uang. Kedaulatan uanglah yang berbicara dan memegang kekuasaan, bukan kedaulatan rakyat. Hal itu dipertegas dengan utang Anies sebesar Rp. 50 miliar kepada Sandiaga. Lantas setelah Pilpres 2024, apakah rakyat akan sejahtera?
0 Komentar