Oleh: Nasrudin Joha
Aktivis Islam dan Perubahan
Pancasila itu suci. Pancasila itu sakti. Pancasila itu sakral. Pancasila adalah harga mati. Pancasila adalah asas, dasar dari segala asas.
Karena sakral, Pancasila tidak bisa dianggap enteng. Kesannya, di negeri ini orang boleh menghina Islam dan membuang Al-Quran, termasuk menghina Nabi Muhammad. Beberapa melihatnya sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang dijamin oleh demokrasi. Namun berbeda dengan Pancasila. Meremehkan dan menghina Pancasila adalah kejahatan yang tak terampuni dan benar-benar anti demokrasi.
Karena keramat, Pancasila tidak bisa diganggu dan di kritik. Kesannya, Islam bisa diganggu dalam demokrasi ini, Al-Quran dan As-Sunnah bisa dikritik. Namun berbeda dengan Pancasila. Karena bagi sebagian orang Pancasila lebih tinggi dari Al-Qur'an dan Hadits. Pancasila ditambang dari nilai-nilai luhur para leluhur bangsa Indonesia. Adapun Al-Qur'an dan Hadis, mereka hanya berasal dari kata-kata Allah. Oleh karena itu, semua peraturan perundang-undangan yang ada di negara ini boleh menyinggung atau bahkan bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah tapi jangan bertentangan dengan Pancasila.
Karena harga mati Pancasila tidak bisa ditawar. Tawar-menawar Pancasila itu tindakan tidak benar bahkan merupakan kejahatan, berbeda jika itu hukum Syariah. Dalam demokrasi ini, hukum syariah hanyalah pilihan yang bisa di adopsi atau dibuang.
Di sisi lain sebagai asas, Pancasila tidak bisa hanya menjadi pilihan. Prinsip negara boleh saja tidak berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah, tetapi jika bukan berdasarkan Pancasila maka itu dilarang. Oleh karena itu menurut pengusung Pancasila sejati, jika negara itu sendiri harus berdasarkan Pancasila, maka tentunya organisasi-organisasi yang lebih kecil seperti partai politik dan ormas juga harus berdasarkan Pancasila.
Pancasila adalah “saudara” dari UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika yang semuanya adalah pilar bangsa dan tanpa cela. Para pancasilais sejati adalah para penegak UUD 1945, para pembela NKRI dan para pembela Bhinneka Tunggal Ika.
Tapi tunggu dulu! Semua ini tergantung pada interpretasi penguasa. Misalnya, penguasa bisa saja menyerahkan kekayaan alam negara kepada pihak asing, padahal hal itu melanggar asas keadilan Pancasila dan amanat UUD 1945. Pihak berwenang dapat mengeluarkan undang-undang minyak dan gas, undang-undang ketenagalistrikan, undang-undang investasi, undang-undang pertambangan, dll. Yang memungkinkan kelompok asing menjajah dan menjarah sumber daya alam milik rakyat negara tersebut. Tidak masalah jika semua hukum itu berdampak buruk bagi rakyat. Selama pihak asing tidak dirugikan, hal tersebut tidak dapat dianggap bertentangan dengan semangat pembukaan UUD 1945 yaitu 'Segala bentuk penjajahan harus dihapuskan di muka bumi'.
Karena Pancasila harga mati penguasa dapat menyerahkan Timor Timur pada mereka pelaku manipulasi dan penjajah, meskipun hal itu bertentangan dengan prinsip menjaga keutuhan NKRI. Penguasa pun tidak perlu merasa bersalah membiarkan Papua Merdeka atau Republik Maluku Selatan melanjutkan kegiatan makar dan separatisnya. Karena dukungan pasukan asing, semua ini tidak dapat disebut sebagai kelompok anti-NKRI bahkan label Teroris tidak bisa disematkan pada mereka.
Karena Pancasila harga mati penguasa tidak perlu merasa bersalah ketika jutaan anak putus sekolah, anak yatim piatu terlantar di jalanan dan banyak orang miskin mati kelaparan. Para penguasa tak perlu berkecil hati ketika kemiskinan membelenggu puluhan juta rakyat di negeri ini dan pengangguran menggerogoti jutaan pekerja di segala penjuru. Tidak perlu aparat merasa tidak enak ketika harus menaikkan harga BBM, gas, listrik dan membuat rakyat semakin miskin bahkan meninggal dunia.
Ada kesan bahwa kebijakan menghapus subsidi tidak bisa dilihat melanggar semangat ketentuan konstitusional yang sudah berusia 45 tahun, asalkan memuaskan kapitalis domestik atau kapitalis asing. Kebijakan ini juga tidak bisa disebut tidak adil dan anti pancasila. Ada kesan bahwa yang disebut ketidakadilan adalah ketika rakyat biasa menikmati subsidi, tetapi orang asing tidak bisa leluasa menikmati keuntungan yang tinggi.
Ada pula kesan bahwa yang disebut anti-Pancasila dan UUD 1945 adalah pihak-pihak yang mencoba menerapkan hukum Syariah secara formal di dalam negeri, padahal tujuannya untuk menyelamatkan negara yang sedang dalam keterpurukan. Disebut anti-NKRI kepada orang yang berjuang untuk membangun kembali Khilafah, sekalipun untuk mempersatukan negara dan membebaskannya dari segala bentuk penjajahan dalam segala aspek. Mereka yang menentang pluralisme adalah mereka yang mendukung peraturan daerah yang sesuai dengan Syariah dan menolak pendirian gereja ilegal di komunitas Muslim, inilah mereka kaum anti Pancasila. Itulah citra yang berusaha mereka gambarkan.
Kalau begitu, jangan salahkan siapa pun yang menganggap bahwa Pancasila sebenarnya hanya stempel dan label. Mereka yang korup, menyuap, atau rutin menerima tip, termasuk yang menerima gratifikasi seks, tidak pernah dicap menyimpang dari Pancasila. Mereka yang menggadaikan kekayaan alam, mengekploitasi rakyat, menjual negara dan kebanggaan bangsanya kepada orang asing juga tidak pernah dicap anti-Pancasila. Mereka yang terus mempraktikkan dan mempromosikan sekularisme, pluralisme, dan liberalisme, yang semuanya jelas-jelas membahayakan negara, tidak pernah dituduh anti-Pancasila.
Sebaliknya, jika Anda tidak pernah korupsi, menolak hadiah dalam bentuk apa pun, tidak mau membayar suap, dan menentang maksiat, bukan berarti Anda kebal terhadap label anti-Pancasila. Jika Anda seorang Muslim yang taat, seseorang yang ingin sepenuhnya mendukung Islam di semua bidang kehidupan, siapa yang mau menerapkan hukum Syariah secara kaffah, apalagi mencoba membangun kembali Khilafah 'ala Minhaj an-Nubuwwah, siap-siap dicap sebagai anti-Pancasila, dicap sebagai anti-UUD 1945 dan dituduh anti-NKRI dan anti-kebhinekaan.
Namun Anda tentunya tidak perlu berkecil hati. Pasalnya, sepertinya tidak ada Panchasilais sejati di negeri ini. Sebaliknya, banyak pihak yang sengaja atau tidak sengaja menggunakan Pancasila untuk kepentingan pribadi, partai bahkan pihak asing yang telah banyak merugikan negara ini. Maka tetaplah istiqamah dalam perjuangan menegakkan khilafah yang akan sepenuhnya menerapkan syariat.
0 Komentar