Oleh: Shalsha Baharrizqi
Muslimah Peduli Umat
Lagi dan lagi utang luar negeri Indonesia semakin membubung tinggi. Indonesia terus mengandalkan bantuan dari luar negeri untuk mendanai pembangunan, melalui pinjaman (Utang Luar Negeri/ULN) dan berupa hibah luar negeri. Pemerintah sepertinya tidak memiliki komitmen yang kuat dalam melunasi utang luar negeri. Pasalnya, Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah sampai dengan akhir Desember 2022 mencapai Rp 7.733,99 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 39,57%.
Seolah tidak ada keinginan untuk segera melunasi, namun pemerintah justru terus menambah utang baru tanpa memperhatikan kestabilan neraca pembayarannya, apakah seimbang atau tidak. Yang dilakukan selama ini adalah “gali lubang tutup lubang”.
Wibawa Indonesia dianggap semakin turun di mata dunia internasional karena utang semakin tak terbendung. Bahkan, utang Indonesia yang semakin besar dianggap sebagai salah satu kriteria kegagalan pemerintah dalam mengelola negara.
"Terkait utang Indonesia yang semakin besar, maka ini bisa merupakan salah satu kriteria kegagalan pemerintah mengelola negara," ujar Direktur Pusat Riset Politik, Hukum dan Kebijakan Indonesia (PRPHKI), Saiful Anam kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (20/1/2023).
Besarnya hutang menunjukan salah kelola negara, apalagi jika dikaitkan dengan kekayaan alam yang sangat melimpah di Indonesia. Hal ini menunjukan adanya kesalahan dalam mengelola negara termasuk dalam mengelola sumber daya alamnya. Padahal utang dapat menjadikan negara bunuh diri secara politik karena tergadaikanya kedaulatannya.
Pembengkakan utang ini akan sangat memberikan efek negatif bagi rakyat, karena pada akhirnya yang akan menanggung ini semua adalah rakyat melalui pajak yang harus dibayar oleh mereka. Bahkan secara tidak langsung utang luar negeri yang makin menumpuk bisa membawa negeri kehilangan kedaulatan dan menjadi alat penjajahan ekonomi, dan Negara berpotensi makin jauh dari pemenuhan kemaslahatan rakyat karena dikendalikan oleh kepentingan asing.
Ketidakjelasan nasib rakyat untuk menyambung hidup, serta tak jelasnya penanganan bahkan upaya preventif yang diambil pemangku kekuasaan, ternyata masih ada saja orang-orang bodoh yang tergiur dengan utang berkedok "bantuan" luar negeri. Padahal Indonesia semestinya mampu tanpa adanya hutang dengan segala nikmat yang Allah ﷻ limpahkan. Hal ini menunjukkan kelemahan negeri ini di mata negeri kapitalis sekuler yang sesungguhnya mereka adalah penjajah.
Beginilah bila sistem kapitalisme yang menjadi acuan, materiil dianggap "Tuhan" yang mampu menjamin kesenangan duniawi. Sejatinya ULN tidak terpisahkan dari bunga (riba), riba adalah dosa besar yang wajib dijauhi oleh kaum muslimin dengan sejauh-jauhnya.
Sebagaimana Allah ﷻ berfirman:
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ
Artinya: "Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS. Al-Baqarah 2:275)
Tidak akan ada harapan perbaikan kondisi ekonomi menjadi lebih baik jika sistem kapitalis yang digunakan. Berbeda dengan Islam yang segala sesuatunya adalah mengacu pada aturan yang telah Allah ﷻ tetapkan dan Rasulullah ﷺ contohkan.
Di sinilah mengapa Islam mengharuskan sebuah negara mengelola negaranya sendiri dan tidak menyerahkannya kepada negara lain, karena utang luar negeri dan investasi sesungguhnya merupakan bagian dari bentuk penjajahan gaya baru yang dilancarkan oleh negara kafir terhadap negeri-negeri muslim.
Islam hadir tentu tidak hanya sebagai agama ritual dan moral belaka. Islam juga merupakan sistem kehidupan yang mampu memecahkan seluruh problem kehidupan, termasuk dalam pengelolaan kekayaan alam.
Islam mengandung ajaran yang lengkap dan sempurna, mengatur seluruh aspek kehidupan, bukan saja ibadah, tetapi juga muammalah. Ekonomi Syariah adalah salah satu bagian dari muammalah.
Demikianlah, untuk pengelolaan sumberdaya alam untuk kesejahteraaan rakyat mau tak mau kita harus kembali pada ketentuan syariah Islam.
Sebagai konsekuensi keimanan kepada Allah ﷻ dan Rasul-Nya, setiap Muslim, termasuk para penguasanya, wajib terikat dengan seluruh aturan syariah Islam. Karena itu semua perkara dan persoalan kehidupan, termasuk masalah pengelolaan sumberdaya alam, harus dikembalikan pada al-Qur'an dan as-Sunnah. Allah ﷻ berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلً
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". (QS. An-Nisa 4:59)
Selama pengelolaan sumberdaya alam didasarkan pada aturan-aturan sekular kapitalis dan tidak diatur dengan syariah Islam, semua itu tidak akan banyak manfaatnya bagi rakyat dan pastinya akan kehilangan berkahnya. Utang luar negeri hanya akan mengokohkan para penjajah asing untuk menguasai negeri ini. Maka dari itu, sistem yang ada saat ini tidak akan membawa perubahan yang haqiqi. Sudah saatnya beralih dengan menerapkan sistem Islam yang mampu mengatur seluruh aspek kehidupan hingga menjadikan rakyat sejahtera dengan syariat Islam yang di terapkan oleh Daulah Islamiyah.
Wallahu a'lam bish-shawab.
0 Komentar