Oleh: Nasrudin Joha
Pengamat Politik dan Perubahan
Air mata buaya istri Ferdy Sambo (Putri Candrawathi) ternyata mampu menipu jaksa sehingga Putri hanya dijerat delapan tahun penjara saja. Sungguh sebuah hasil yang menyakiti hati keluarga Yoshua.
Selain itu, atas permintaan RR dan KM, JPU menyebut ada motif perselingkuhan antara Putri Candrawathi dengan Briptu Novriansyah Yosua Hutabarat. Jaksa penuntut menumpahkan tuduhan kotor pada Yoshua, mempermalukan keluarga Yoshua dan Yoshua harus meninggal dengan status berselingkuh dengan istri komandan.
Pengacara Brigadir N Yosua Hutabarat, Martin Lukas Simanjuntak, kecewa dengan tuntutan jaksa yang memutuskan Putri Candrawathi divonis delapan tahun penjara. Menurut Martin, permintaan seperti itu tidak mencerminkan rasa keadilan.
“Jujur, saya tidak berbicara atas nama korban atau keluarganya. Sebagai warga negara, saya mendengar putusan dan saya kecewa, apalagi jika saya harus berbicara atas nama klien kami, yang dalam hal ini adalah keluarga korban. Sekalipun di hukum seumur hidup keluarga Yosua tidak setuju, apalagi hanya delapan tahun. Ini sangat tidak mencerminkan rasa keadilan korban,” kata Martin di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (18/1/2023).
Masyarakat menjadi antiklimaks. Persidangan yang menghadirkan banyak saksi dan ahli ini akhirnya menghasilkan tuntutan hanya selama delapan tahun kepada penebar tuduhan perselingkuhan, padahal kasus tersebut merupakan pembunuhan berencana yang disertai baku tembak antara Brigadir Jenderal J dan Bharada E. Yang lebih keji dan tragis adalah pembunuhan berencana ini direncanakan oleh polisi, terjadi di rumah polisi, dieksekusi oleh polisi, dan korbannya juga seorang polisi.
Andai saja hukum syariah berlaku. Jika hukum Syariah digunakan, maka semua yang terlibat dalam pembunuhan harus dihukum dengan qisos (hukuman mati). Ini adalah keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat. Masyarakat harus melenyapkan para pembunuh yang merusak tatanan kehidupan.
Dalam Islam, membunuh atau ikut membunuh (delneming) atau ikut serta dalam persekongkolan (persekutuan) pembunuhan juga dipidana dengan qisos yaitu dibunuh, sebagai ganti rugi karena membunuh atau membantu atau ikut membunuh. Jika hukum Islam yang digunakan maka Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Richard Eliezer, Ma'ruf Tegar hingga Ricky Rizal semuanya dihukum mati. Tidak ada perbedaan jenis sanksi karena semua terlibat dan bersekutu dengan pembunuhan Yosua Hutabarat.
Dalam pembunuhan yang menewaskan tujuh warga Sana'a, Khalifah Umar bin Khattab menegaskan,
“Kalau seluruh penduduk Kota Sana’a bersama-sama membunuh orang ini maka saya akan mengqisas mereka semua.” ungkapnya.
Jadi dalam Islam tidak ada perbedaan hukuman bagi orang yang melakukan kejahatan, orang yang memerintahkan untuk melakukan kejahatan, atau orang yang ikut membunuh. Semua orang yang terlibat dan bersekutu dengan kegiatan pembunuhan harus dibunuh, terlepas dari peran dan tingkat partisipasi mereka.
Penulis berpendapat bahwa keluarga Yosua Hutabarat akan menyetujui hukum Syariah yang memberlakukan sanksi Qisos kepada semua peserta yang terlibat dalam aliansi (persekongkolan) untuk membunuh Yosua Hutabarat.
Hukum syariah jelas memuaskan rasa keadilan masyarakat dan memenuhi (memuaskan) harapan keluarga korban. Alih-alih KUHP, hanya membebankan Putri Candrawathi dengan delapan tahun penjara.
Jadi, jangan ragu untuk menerapkan hukum Syariah. Hukum Islam pasti adil karena berasal dari Allah ï·», Tuhan yang maha adil.
0 Komentar