Oleh: Siti Aminah
Ibu adalah madrasatul ula. Al-Ummu madrasatul ula memiliki arti ibu adalah madrasah (Sekolah) pertama bagi anaknya, hal itu terjadi pada zaman ketika sistem Islam masih di terapkan, ibu zaman now tidak seperti itu!! Ibu zaman now hanya sebagian kecil saja yang masih meneladani ibu zaman old.
Ibu zaman now sibuk dengan skincare dan konten di sosmednya, dalam sebuah penelitian menyebutkan wanita sekarang 25 persen dari penghasilannya digunakan untuk membeli skincare (kalau tidak percaya tanya mbah google), maka menjamur lah beragam bentuk skincare yang menawarkan khasiat agar menjadi cantik, putih, glowing, kinclong, good looking.
Setelah glowing, good looking, Selfi di pamerkan dari wajah burik menjadi kinclong, maka banjirlah akunya dengan pujian dan sanjungan, lalu datanglah para produsen skincare untuk endorse (kok gak sekalian di dor).
Ibu-ibu ini melupakan kewajiban utamanya menjadikan anak-anaknya Soleh/Solehah, mereka tidak peduli yang penting happy, wajah glowing, fulus mengalir tiada henti.
Berbeda dengan ibu zaman old, yang tidak menganggap kecantikan itu harus di perjuangkan tapi yang harus di perjuangkan adalah masa depan anak-anaknya di akhirat kelak sehingga ibu-ibu zaman old berlomba-lomba untuk menjadikan anak-anaknya Soleh-Solehan.
Salah satu contohnya adalah ibunda dari Imam Syafii yang membawa putranya dari Gaza, mengarungi perjalanan jauh ke Makkah untuk berguru kepada Ibn Uyainah. Ketika itu, usianya baru dua tahun. Umur 7 tahun Imam Syafii sudah hapal al-Qur’an. Beliau mendalami bahasa Arab, syair dan kaidah bahasa Arab dengan baik.
Usia 10 tahun beliau hapal kitab al-Muwatha', karya Imam Malik hanya dalam waktu 7 hari. Setelah menghabiskan ilmu ulama Makkah, beliau dibawa ibundanya menghadap kepada Imam Malik di Madinah. Ketika Imam Malik menyimak dan menyaksikan Imam Syafii mentasmi'kan hapalannya di hadapan Imam Malik, beliau tergakum-kagum dengan kecerdasan, kefasihan dan ketepatan Imam Syafii.
Meski hidup miskin, bahkan konon tidak sanggup membeli kertas dan pena, Imam Syafii tetap dimotivasi ibundanya untuk tetap bersabar dan mengikuti Majlis Imam Malik dengan mengandalkan kekuatan hapalannya. Subhanallah, ketika dites oleh Imam Malik, tak ada satupun kata yang disampaikan gurunya yang lepas atau hilang. Beliau pun menjadi Mufti saat usia baru 14 tahun.
Akhirnya Imam Syafii menjadi jembatan dari dua Mazhab besar pada zamannya, Mazhab Ahli Ra'yi, di Iraq, Imam Abu Hanifah dan muridnya al-Hasan as-Syaibani, dan Mazhab Ahli Hadits di Madinah, Imam Malik, dll. Maka, di tangan Imam Syafii, kedua Mazhab ini berhasil dipadukan. Karena Imam Syafii berguru kepada keduanya.
Maka, lahirlah Mazhab Syafii yang luar biasa. Karena itu, ushul fikih yang dirumuskan oleh Imam Syafii bisa dikatakan murni, dan menjadi jembatan bagi semua mazhab-mazhab tersebut, dan dari sana akhirnya ushul fikih yang lain berkembang.
Lalu siapa yang berjasa besar kepada imam besar ini? Pertama, tentu ibunya. Kedua, guru-guru yang mendidiknya. Itulah yang juga terjadi pada Imam Ahmad.
Maka, di balik kehebatan mereka ada ibu, yang menjadi madrasah pertama bagi mereka. Kegagalan ibu menjadi madrasah bagi mereka juga menyumbang kegagalan bagi putra-putrinya, sehebat apapun guru dan madrasahnya.
Ketika anak-anak sudah mulai dewasa, kita akan merindukan pola tingkah mereka ketika kecil, selalu saja bikin ulah dan bikin super lelah, tapi juga selalu membuat bahagia.
0 Komentar