PERNIKAHAN MEWAH DI TENGAH RAKYAT HIDUP SUSAH


Oleh: Soelijah Winarni

Perhelatan prosesi pernikahan begitu mewah selama 3 hari dari 9 - 11 Desember 2022 dari seorang anak pejabat tertinggi di Indonesia telah usai. Aparat keamanan berjumlah 11.800 personil gabungan yang terdiri dari 9.600 pasukan TNI dan selebihnya dari Kepolisian disiagakan dengan alasan keamanan (Kompas.id, 8/12/2022).

Tak hanya itu, pelibatan K9 dengan 11 ekor anjing ras untuk deteksi bahan peledak, ratusan cctv terpasang di/berbagai titik strategis saat puncak acara dan turun langsung Panglima TNI pantau pengamanan (Nasional.okezone.com, 10/12/2022).

Sebelumnya tak kurang 5 menteri yaitu Menko Marinvest, Mensesneg, Menteri BUMN, Menhub dan Meninvest pun ikut sibuk urus pernikahan tersebut sehingga Mardani Ali Sera, ketua DPP PKS mengkritik bahwa tugas utama menteri membantu pemerintah untuk mengurus negara bukan urusi hajat pribadi (Tribunnews.com, 6/12/2022).

Seorang wartawan menyampaikan enggan meliput acara tersebut karena menurutnya keluarga pejabat tertinggi ini dinilai tak memiliki empati kepada rakyat yang sedang susah (Suara.com, 9/12/2022). Tepat sekali apa yang disampaikan oleh wartawan tersebut ditengah kesedihan korban gempa dan bencana yang melanda beberapa daerah, angka stunting tinggi dan pemutusan hubungan kerja/phk dimana-mana, penyelenggaraan pernikahan mewah tersebut membuktikan penguasa tak memiliki kepekaan dan empati tinggi terhadap kondisi rakyat.

Sistem kepemimpinan Demokrasi Sekuler membuat sifat peka dan empati penguasa terkikis karena sistem tersebut berprinsip memisahkan agama dari seluruh aspek kehidupan termasuk tanggung jawab kepemimpinan. Jika agama dijauhkan dari kepemimpinan negara maka akan lahir penguasa yang tak punya rasa sungkan atau rasa bersalah saat memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi.

Akan sangat berbeda dengan sistem kepemimpinan Islam yang disebut Khilafah. Dalam Khilafah, aqidah menjadi asas dan syariat Islam menetapkan bahwa penguasa haruslah menjadi ra'in (pengurus dan pemelihara) serta menjadi junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Maka akan mewujudkan sosok penguasa yang sangat takut melalaikan tanggung jawab mereka kepada rakyat karena kesadaran bahwa kepemimpinannya akan berkonsekuensi pada kehidupan akhiratnya.

Rasulullah ï·º bersabda: "Siapapun yang mengepalai salah satu urusan kaum muslimin dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat" (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim).

Maka hanya dalam sistem Islam akan lahir pemimpin bersifat wara' dalam mensikapi fasilitas negara yang hanya digunakan untuk kepentingan mengurus rakyat dan tidak akan memanfaatkan untuk kepentingan pribadi walaupun sedikit.

Seperti keelokan teladan kepemimpinan yang dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang bahkan mematikan lampu penerangan dari minyak yang dibeli dari uang rakyat hanya karena yang dibicarakan putranya adalah urusan pribadi.

Wallahu'alam bishshawwab.

Posting Komentar

0 Komentar