PENGESAHAN REVISI KUHP DAPAT MENCEDERAI HAK RAKYAT?


Oleh: Siti Aminah

RKUHP sudah disahkan dalam rapat paripurna DPR, Selasa (6/12), meskipun masih ada penolakan dari kelompok masyarakat sipil atas beberapa 'pasal kontroversial'.

Salah satu pasal kontraversi yang akan mencederai demokrasi adalah pasal demonstrasi. Seperti yang tertulis di pasal 256: Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan unjuk rasa atau demonstrasi di jalan umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum atau keonaran bisa dipidana paling lama enam bulan dan denda 10 juta rupiah.

Menurut aktivis demokrasi, Muhammad Isnur, pasal itu memperlihatkan adanya kemunduran dalam berdemokrasi dan "menempatkan kebebasan berpendapat pada posisi berisiko karena dianggap sebagai kejahatan". Padahal menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak yang dijamin Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998.

Banyak pihak menentang penerapan pasal ini karena rawan kriminalisasi dan berpotensi jadi pasal karet. Tapi tim sosialisasi RKUHP, Albert Aries, beralasan publik tak perlu khawatir dikriminalisasi selama mereka memberitahu unjuk rasa tersebut.

Dia juga mengeklaim, meski pasal demonstrasi dimasukkan tapi pemerintah tetap menghargai kebebasan berpendapat sebagai hak yang diatur dalam konstitusi.

Selain itu, ada pasal terkait tindak pidana yang menyerang diri Presiden dan/atau Wakil Presiden hingga pemerintah atau lembaga negara tercantum di pasal 217-240. Pasal 217 menyebutkan: Setiap orang yang menyerang diri Presiden dan/atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana penjara paling lama lima tahun. Kemudian pasal 218: Setiap orang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden dipidana penjara paling lama tiga tahun atau denda 200 juta rupiah.

Tindakan penyerangan itu secara lebih rinci dijelaskan pada pasal 219 yang isinya: Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi dapat dipidana penjara paling lama empat tahun atau denda 200 juta rupiah.

Adapun penghinaan terhadap pemerintah atau lambang negara seperti yang termuat di pasal 240 ayat 1, bakal kena pidana penjara paling lama 1,6 tahun dan denda 10 juta rupiah.

Dalam hal tindak pidana berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat, bisa dipidana penjara selama tiga tahun dan denda 200 juta rupiah.

Tindak pidana tersebut hanya bisa dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina (BBC News Indonesia, 06/12/2022)

Pengesahan Revisi KUHP di tengah banyaknya pasal bermasalah terkait dengan kebebasan berpendapat dan lainnya, menunjukkan otoriternya pemerintah, pengesahan revisi KUHP ini di anggap sebagai anomali demokrasi karena mencederai kebebasan menyampaikan pendapat dan mengkritik kebijakan yang menyengsarakan rakyat, UU ini membuat rakyat tidak bisa mengkritik kebijakan pemerintah dan presiden apabila pemerintah melakukan kebijakan yang menyengsarakan.

Rakyat tidak akan mengkritik kebijakan kalau pemerintah memutuskan kebijakan sesuai dengan keinginan rakyat dan untuk kemaslahatan rakyat.

Apalagi dengan abainya pemerintah terhadap aspirasi rakyat. Hal ini menunjukkan adanya kontradiksi dengan prinsip demokrasi yang dianut. Adanya standar ganda menunjukkan demokrasi tak layak dijadikan sebagai sistem kehidupan.


Hanya dalam Islam, Sistem Hukum Yang Adil Dapat Tegak

Seperti saat kepemimpinan khalifah Umar bin khatab yang menerima kritikan seorang wanita terkait pernyataan Umar yang melarang memahalkan mahar. Umar membatasi mahar tidak boleh lebih dari 12 uqiyah atau setara 50 dirham. Wanita tersebut membacakan firman Allah ﷻ :

وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا ۚ أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
"Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?" (QS. An-Nisa’ [4]:20).

Khalifah Umar pun menyadari kekhilafannya, kemudian dengan tanpa merasa malu, ia membenarkan ucapan wanita itu dan mengakui kesalahannya. “Wanita ini benar dan Umar salah,” ucapnya di depan banyak orang.

Dalam demokrasi, kedaulatan di tangan rakyat. Tapi saat ini demokrasi dikhianati, kedaulatan itu tidak lagi di tangan rakyat tapi di tangan penguasa. Inilah gambaran sistem buatan manusia bisa berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan penguasa.

Berbeda dengan sistem Islam yang menjadikan kedaulatan berada di tangan syara’. Kekuasaan penguasa juga harus tunduk kepada hukum syara’ tersebut. Meskipun seakan-akan kekuasaan pemimpin dalam Islam begitu besar, namun semuanya dibatasi oleh syariah. Bahkan agar kekuasaan tersebut tidak merusak, maka syarat menjadi pemimpin di dalam Islam harus memenuhi ketentuan syariah pula yakni muslim, adil (tidak fasik), laki-laki, baligh, berakal, merdeka dan mampu. Ketujuh syarat inilah yang harus dimiliki penguasa di dalam Islam. Penguasa di dalam Islam dapat diberhentikan jika keluar dari syarat-syarat tersebut.

Pemimpin di dalam Islam juga bisa diadili, tidak kebal hukum dan senang bila di kritik. Hal ini untuk menjaga bahwa pemimpin tersebut harus menerapkan hukum Islam dan menjadi pengayom rakyat. Jadi kritikan kepada penguasa di dalam Islam sebenarnya merupakan bentuk muhasabah, untuk mengingatkan penguasa akan tugas dan tanggung jawabnya yang harus sesuai dengan ketentuan syara’.

Kritikan juga merupakan aktivitas amar makruf nahi munkar dan akan mendapatkan pahala di sisi Allah ﷻ selama kritikan itu bersandarkan pada ketentuan syariah. Yaitu meluruskan penguasa akan kewajibannya berdasarkan syara’. Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Dalam hadits ini telah diperintahkan kepada siapapun untuk memberikan nasihat dan mengajak pada kebaikan serta melarang dari kemungkaran dengan cara mengatakan kebenaran. Maka dari itu menasehati pemimpin yang zalim termasuk perkara amar makruf nahi munkar. Dan menasehati itu bukan sembarang nasihat, melainkan nasihat dengan landasan agama Islam atau syariah.

Adanya kalimat jihad pada hadist tersebut telah menunjukkan indikasi pujian atas perbuatan mengoreksi penguasa, dalam bentuk kritikan yang merupakan suatu keutamaan.

Dalam sistem Islam mengkritik penguasa adalah suatu kewajiban mulia agar penguasa tidak bisa berbuat semena-mena dan membuat keputusan sesuai dengan hawa nafsu saja tapi harus sesuai dengan hukum syariat.

Posting Komentar

0 Komentar