Oleh: Desi
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah ﷺ pernah bersabda, "Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang-orang kafir." (HR. Ahmad).
Dunia memang menyilaukan banyak mata yang terkesima dengan keindahannya. Menarik hasrat bagi siapapun untuk menikmatinya. Menuruti nafsu brutal yang menuntut berbagai kepuasan.
Dalam pandangan orang kafir, dunia bagaikan surga. Mereka bisa melakukan apapun yang mereka inginkan. Makanan dan minuman yang haram bisa menjadi santapan sehari-hari. Perbuatan nista pun bisa menjadi perburuannya.
Pada perkembangannya, yang menjadikan dunia sebagai surga bukan hanya dari orang-orang kafir saja, tetapi banyak dari umat Islam yang tergerus oleh budaya barat yang berorientasi pada kesenangan dunia.
Wajar, jika orang kafir berbuat mengikuti hawa nafsunya karena mereka tidak mengenal aturan dari Allah. Mereka tidak tahu mana perintah mana larangan. Halal haram, benar atau salah, mereka tak peduli.
رُبَمَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ كَانُوا مُسْلِمِينَ
ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الْأَمَلُ ۖ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ
"Orang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan, sekiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang Muslim. Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong) mereka, kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatannya)." (QS. Al-Hijr: 2-3)
Tidak seharusnya umat Islam tergiur oleh perilaku-perilaku semacam itu. Umat Islam perlu jeli dalam menyikapi. Harus terus melangkah pada jalan petunjuk aturan agama. Tundukan nafsu yang merongrong dengan terus berfikir ke depan tentang akibat-akibat apa yang akan menimpa jika mengikuti langkah mereka.
Itulah mengapa hadist di atas mengatakan bahwa dunia adalah penjara bagi orang beriman. Orang-orang yang beriman akan mengikatkan diri pada perintah dan larangan Allah. Mereka tidak akan membiarkan setiap nafsunya lepas tak terkontrol dan keluar dari jalur syari'at.
Faktanya, berjalan di atas koridor syar'i sangat sulit dilakukan. Sebab, hari ini, tentang akhlak menjadi tanggung jawab masing-masing individu dan keluarga saja. Lihatlah tontonan hari ini yang jauh dari kata mendidik. Sarat akan pornografi, porno aksi, kekerasan, dan hiburan unfaedah pun tersaji bebas di media. Konten-konten bermuatan serupa pun berseliweran meracuni mata yang melihatnya.
Bukankah tontonan semacam itu merusak umat? Jelas hal ini menjadi pengaruh besar tergesernya nilai-nilai Islam pada diri umat. Tetapi pemerintah hanya akan menghimbau agar setiap individu dan keluarga lebih bijak dalam bermedsos. Mengapa tidak dihentikan saja? Padahal negara pasti punya wewenang untuk menghentikan penyebarannya.
Hal itu tidak mungkin terjadi jika di dalamnya bisa meraup keuntungan yang besar. Itu lah watak kapitalisme yang bertumpu pada keuntungan materi. Sebuah sistem buatan manusia yang sekarang sedang bercokol di negeri ini.
Demi eksistensinya, kapitalisme terus melancarkan pemisahan agama dari kehidupan atau sekuler yang menjadi asas dari sistem ini. Dengan berbagai istilah-istilah keren, umat dipaksa menerima setiap ide yang diemban Barat. Pemikiran umat diplintir agar ide itu dipandang sebagai solusi.
Hedonisme, liberalisme, pluralisme menjadi senjata mereka untuk melalaikan umat Islam. Tak kalah masif sebuah istilah yang sedang di gencarkan adalah moderasi beragama yang berlanjut pada islamophobia, menjadikan umat Islam mengabaikan kewajiban yang Allah perintahkan. Mereka akan terus berupaya agar umat rela menggadaikan kewajiban demi kesenangan dunia.
Umat dikaburkan dari ajaran Islam yang sebenarnya dan dibuat lupa bahwa ada syariat Allah yang harus ditegakkan, bahwa ada sistem warisan Rasulullah yang harus diemban dan dijalankan. Yaitu Khilafah yang sudah terbukti dalam sejarah peradaban Islam. Selama lebih dari 1300 tahun lamanya memegang teguh ajaran Rasulullah, menjadikan wahyu Allah yaitu Al-Qur'an dan As-sunah sebagai sumber untuk mengatur kehidupan manusia dan alam semesta.
Dalam pengurusannya, kholifah akan menjaga akhlak rakyat yang melibatkan peran masyarakat. Hingga pada tiap-tiap anak dalam bersosialisasi telah tertanam aqidah Islam dari masing-masing keluarganya.
Segala kebutuhan umat pun akan diurus dengan penuh tanggung jawab. Seorang pemimpin dalam Islam akan menjauhkan diri dari hal-hal yang akan merugikan dirinya juga rakyatnya. Segala apa yang diurusnya dilandasi oleh ketakwaan terhadap Allah.
Sehingga tidak mungkin mengambil sebuah kebijakan dari sisi keuntungan materi semata dan tegas menolak segala ide yang bertentangan dengan syari'at. Tetapi mengaitkan segala tindakannya pada rida Allah. Juga menyadari hubungannya dengan Allah, bahwa apa-apa yang ada dalam pengurusannya akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Bukankah kepemimpinan seperti inilah yang rakyat mau? Jangan pernah mimpi mendapatkannya dalam sistem hari ini karena karakter seperti ini tidak ada dalam kapitalisme.
0 Komentar