Oleh: Shalsha Baharrizqi
Sungguh miris, rakyat negeri ini tak henti-hentinya dipertontonkan media dengan kasus korupsi yang seolah tiada berujung. Pemerintah pun telah berupaya membentuk lembaga yang khusus menangani korupsi. Namun, kasus korupsi di negeri ini tak kunjung mereda bahkan selalu naik peringkatnya. Korupsi nampaknya sudah menjadi lingkaran setan mulai dari birokrasi bawah sampai atas.
Ironi hakordia korupsi kian marak di kalangan politisi, kasus suap Bupati Bangkalan adalah bukti nyata dari tindakan korupsi.
Penetapan R. Abdul Latif Amin Imron sebagai tersangka kasus korupsi menambah daftar panjang kepala daerah yang menjadi pesakitan komisi antirasuah. Bupati Bangkalan itu terseret kasus pemberian dan penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara atau yang mewakili terkait lelang jabatan.
Korupsi sangat dekat dengan kekuasaan. Orang yang berkuasa punya kecenderungan sangat besar untuk korup. Ditambah sistem kapitalis yang memberikan peluang besar dalam praktek korupsi. Dengan pemahaman seperti itu, pemberantasan korupsi tidak bisa bersifat top down (dari atas ke bawah), ataupun bottom up (dari bawah ke atas). Artinya, pemberantasan korupsi sampai ke akar-akarnya harus melibatkan peran serta langsung dari negara secara penuh dan diawasi oleh umat, tentunya menggunakan sistem yang benar-benar menerapkan hukum yang tegas serta membuat jera para pelakunya.
Namun Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) 2022 menjadi catatan penting bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasalnya, kepercayaan publik terhadap institusi ini anjlok, tahun ini layak disikapi dengan rasa berkabung atas runtuhnya komitmen negara dan robohnya harapan masyarakat. Sejumlah aspek yang dinilai turut berkontribusi dalam meruntuhkan komitmen negara terkait pemberantasan korupsi. Salah satu aspek yang turut disorot ICW adalah tingginya angka korupsi di kalangan politisi.
Karena, "Berdasarkan data penindakan KPK, sepertiga pelaku korupsi yang diungkap selama 18 tahun terakhir berasal dari lingkup politik, baik legislatif (DPRD maupun DPR RI) dan kepala daerah dengan jumlah 496 orang," ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dikutip dari keterangan tertulisnya di laman resmi ICW, Minggu, 11 Desember 2022.
Mengakarnya korupsi di negara ini tentu bukan tanpa sebab, tetapi karena penerapan sistem yang selalu mengutamakan keuntungan (kapitalisme). Juga dalam sistem ini aturan agama tidak dihadirkan. Sebab sistem saat ini memiliki akidah yang sekuler, sehingga ketakwaan individu ditiadakan. Korupsi tidak lagi menjadi kejahatan serius, terlebih lagi ketika pengesahan RKUHP yang justru malah mengurangi hukuman bagi koruptor di tengah maraknya korupsi ini.
Sistem yang di terapkan saat ini, hanya memberikan sanksi yang tidak mendatangkan efek jera bagi pelaku. Ketika politisi terbukti melakukan korupsi, sanksi yang diberikan adalah me-non job-kan pelaku, sanksi pemecatan dari jabatan yang mereka miliki. Jika hanya sekadar pemecatan, tidak akan memberikan efek jera bagi yang lain. Jika dilaporkan untuk diproses lebih lanjut, bisa saja hukuman yang diberikan sangat sedikit karena ada grasi atau saat ditahan ia berkelakuan baik.
Ada pula yang menyuap agar hukuman yang diberikan dikurangi. Jika seperti itu, pemberantasan korupsi hanya sebuah mimpi.
Karena apabila ditelusuri, korupsi ini adalah masalah yang sistemik. Oleh karena itu, korupsi ini akan hilang jika sistem yang diterapkan saat ini diganti. Sebab korupsi tidak bisa hanya menyalahkan oknum yang melakukan tetapi pada sistem juga. Sistem memberikan peluang kepada mereka yang berani untuk menyuap atau korupsi. Jika solusi yang diberikan hanya solusi parsial, misalnya pemecatan atau me-non job-kan tadi, pasti tidak ada efek jera.
Penguasa juga harus menerima saran dan kritik dari pihak-pihak yang menginginkan negara ini bebas dari korupsi, yaitu dengan mengganti sistemnya. Dari sistem buatan manusia kepada sistem buatan Allah ﷻ yakni sistem Islam. Sebab jika berharap pada sistem sekarang ini, hanya kekecewaan yang didapat, karena para penguasa hanya beretorika saja tentang pembasmian koruptor.
Islam ini hadir bukan sekadar agama yang hanya mengatur tata cara ibadah, tetapi Islam ini adalah sistem yang mampu mengatur seluruh aspek kehidupan. Salah satunya tentang korupsi.
Dalam Islam, sangat melarang umatnya untuk mencari nafkah dengan cara yang tidak halal misalnya korupsi atau suap tadi. Sebagaimana dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 188, Allah ﷻ berfirman,
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.”
Selain itu, penguasa Islam juga akan mengatasi korupsi sedini mungkin, dengan cara-cara sebagai berikut :
Pertama, dalam Islam terdapat larangan keras untuk menerima harta ghulul yaitu harta yang diperoleh para pejabat atau pemimpin dengan cara yang tidak syar’i, baik diperoleh dari harta milik negara atau milik masyarakat. Dikarenakan diperoleh dengan cara yang haram, maka korupsi termasuk ghulul. Untuk mencegah adanya ghulul atau korupsi, maka negara khilafah harus memberikan gaji yang memadai kepada para aparatnya, dengan begitu kebutuhannya tercukupi.
Kedua, dalam pengangkatan aparaturnya, khilafah menetapkan syarat adil dan takwa sebagai ketentuan selain syarat profesionalitas.
Ketiga, untuk mengetahui apakah mereka melakukan korupsi atau tidak, khilafah juga menetapkan kebijakan perhitungan kekayaan mereka sebelum dan setalah menjabat, jika ada selisih yang tidak masuk akal, maka Khilafah mengambilnya.
Keempat, khilafah menetapkan hukuman yang keras, bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.
Inilah mekanisme Islam dalam mencegah dan mengatasi tindak pidana korupsi. Penerapan Islam yang Kaffah akan membentuk ketaqwaan dalam diri masyarakat termasuk para pejabat pemerintah, mereka akan memahami bahwa jabatan adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban. Penerapan sanksi yang tegas bagi para pelaku kemaksiatan, akan mencegah terjadinya tindakan korupsi.
Karena itu sudah saatnya negeri ini meninggalkan sistem kapitalis demokrasi yang jelas-jelas menjadi sebab utama segala permasalahan yang mendera bangsa ini termasuk maraknya tindakan korupsi, dan menerapkan Islam secara Kaffah dalam bingkai Khilafah.
Wallahu a'lam bish-shawab
0 Komentar